jpnn.com, JAKARTA - Pengalaman Filipina menghadapi gray zone China di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia, yang juga menghadapi situasi sama di perairan Natuna.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Ph.D dalam webinar bertajuk 'China’s Gray Zone Operation in South East Asia: the Case of the Phillippines', Senin (27/2).
BACA JUGA: Refleksi Maritim 2022: Eskalasi ZEE hingga Konservasi Laut Perlu Perhatian Serius
Pemerhati China dari UPH ini menilai pengalaman Filipina menghadapi operasi gray zone China membawa implikasi yang penting bagi Indonesia.
Pertama, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menjadi target operasi gray zone China. Kedua, hubungan baik antara Filipina dan China, tidak menghentikan operasi gray zone.
BACA JUGA: Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar, Pemerintah Harus Bertindak Tegas!
Menurut Johanes, hikmah dari pengalaman Filipina itu adalah bersikap santai dan tidak menganggap serius insiden dengan China bukanlah sikap yang tepat. "Sebab, hal itu justru menambah semangat China meningkatkan sikap agresifnya," kata Johanes Herlijanto.
Berkaca dari hal tersebut, Indonesia perlu melanjutkan sikap serius untuk menjaga kedaulatan dan hak berdaulat di perairan Natuna. Upa meningkatkan kekuatan militer dan kehadiran Tentara Nasional Indonesia Angkata Laut (TNI AL) di wilayah ZEE perlu terus dilakukan.
BACA JUGA: Pakar China Beberkan Arti Penting Indonesia Bagi Megaproyek Xi Jinping
"Indonesia perlu berdiskusi dan berbicara dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk mencari solusi terkait operasi gray zone China di wilayah Asia Tenggara," ujar Johanes.
Pernyataan Johanes, diamini oleh Profesor Renato Cruz DeCastro, Ph.D, seorang ahli Hubungan Internasional terkemuka dari Universitas De La Salle University, Filipina.
Profesor Renato memberi penekanan pada kerja sama antara negara-negara maritim Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Dia mengungkapkan bahwa China telah melakukan operasi “gray zone” terhadap Filipina berkali-kali sejak 1995. Hal tersebut dinilainya sebagai perang politik tanpak pengerahan kekuatan militer secara masif.
“Operasi gray zone yang diterapkan China, agar agresi militer mereka tetap berada di bawah tingkat operasi laut yang sesungguhnya dan dapat disembunyikan melalui bantahan-bantahan,” jelas Renato.
Menurutnya strategi ini merupakan pengejawantahan dari strategi perang Sun Zi, yang antara lain mengajarkan cara menang dalam peperangan tanpa harus berperang.
China berupaya menekankan kliamnya di Laut China Selatan, antara lain dengan membangun dan melakukan militerisasi pada pulau-pulau buatan di wilayah-wilayah yang masih berada dalam sengketa dengan Vietnam da Filipina.
"China mengirimkan kapal-kapal nelayannya ke wilayah Laut Cina Selatan, serta menugaskan kapal-kapal unit lautnya untuk melakukan berbagai maneuver seperti yang terjadi pada awal bulan Februari ini di wilayah ZEE Filipina," jelas Renato.
Pada 6 Februari 2023, sebuah kapal milik penjaga pantai China telah menembakkan laser berstandar militer kepada kapal penjaga pantai Filipina di wilayah yng disengketakan di Laut China Selatan. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh