Refleksi Maritim 2022: Eskalasi ZEE hingga Konservasi Laut Perlu Perhatian Serius

Jumat, 30 Desember 2022 – 14:50 WIB
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan beberapa hal di sektor maritim perlu dicermati. Foto: Source for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Maritim adalah salah satu sektor yang menjadi andalan Indonesia. Namun, ada beberapa hal di sektor maritim perlu dicermati setelah hantaman pandemi Covid 19.

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M.Mar, mengatakan pada kurun waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode, sektor maritim mendapatkan "kado istimewa" dengan terpilihnya Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI. 

BACA JUGA: Pengamat Maritim Minta Indonesia Setop Berikan Konsesi ZEE kepada Vietnam

"Menjadi angin segar bagi sektor maritim. Boleh jadi pilihan Presiden Jokowi juga memenuhi harapan dari para penggiat maritim. Saya menyatakan langkah Presiden Jokowi memilih Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI sudah tepat," kata Capt. Hakeng di Jakarta, Jumat (30/12).

Menurutnya, latar belakang Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dari TNI Angkatan Laut diharapkan mampu membawa TNI menjaga wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari  Miangas hingga Rote.

BACA JUGA: Maritime Awards 2022 Ditunda Tahun Depan, 2 Tokoh Nasional Ini akan Sampaikan Orasi Kebangsaan

Total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2). Dimana 5.80 km2 adalah lautan atau 67 persen wilayah Indonesia adalah perairan, 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan.

"Kami harapkan TNI dapat ikut mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia seperti yang dicita-citakan Presiden Jokowi," katanya.

BACA JUGA: Sultan Optimistis Laksamana Yudo Mampu Kembalikan Kejayaan Maritim Nusantara

Dia juga berharap Panglima TNI  dapat ikut mendukung Kebijakan Kelautan Indonesia yang  terdiri atas 7 (tujuh) pilar, yaitu: pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut.

Tata kelola dan kelembagaan laut, ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, budaya bahari; dan diplomasi maritim.

Capt. Hakeng mengatakan terlebih saat ini persoalan kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berada di perairan Natuna yang kaya akan sumber daya perikanan kerapkali menjadi incaran kapal-kapal ikan asing seperti dari China dan Vietnam. D

Kemudian, pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun TNI AL.

"Eskalasi di wilayah perairan Natuna akan terjadi mengingat potensi perikanan tangkap cukup besar. Karena itu perlu pengawasan dari pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada nelayan Indonesia," ujar Capt Hakeng.

Selain itu, saat ini peralihan aktivitas dan perhatian dunia dari wilayah Mediterania dan Atlantik ke kawasan Indopasifik.

Peralihan tersebut tentu saja mengakibatkan wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Samudera Hindia menjadi perlintasan strategis dan Indonesia yang sangat dekat.

"Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis. Disini sangat dibutuhkan kekuatan matra TNI AL dengan dukungan dari matra TNI lainnya," beber Capt. Hakeng.

Luasnya wilayah laut Indonesia harus dimanfaatkan dengan kerja sama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah.

Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia. 

"Berdasarkan laporan, ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan para nelayan mengenai persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi," ucap Capt. Hakeng.

Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) itu pun menyoroti perdebatan terkait penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2021. 

Peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen. Padahal Aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif satu persen.

Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.

"Hal tersebut patut diduga telah membuat para Nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat," ungkap Capt Hakeng.

Capt. Hakeng menyoroti pula rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Perhatian dan perlindungan hukum bagi para penyumbang devisa negara yakni Pelaut Kapal Niaga ataupun Pelaut Perikanan masih dirasakan kurang.

Hal itu dapat dilihat dengan masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima oleh Pekerja Migran Indonesia terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas kapal penangkap ikan berbendera asing.

Dari laporan studi bertajuk "Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan" yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022 lalu,  PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia. 

"Saya berharap dari temuan tersebut pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia. Sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan," tegas Capt. Hakeng. 

Dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Oleh karena itu Capt. Hakeng sebagai Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini, merekomendasikan untuk memperketat pengawasan guna meminimalisasi kecelakaan yang melibatkan kapal penyeberangan (Kapal Ferry) – ASDP. 

Capt. Hakeng mengingatkan Presiden Joko Widodo saat berpidato secara virtual pada One Ocean Summit menegaskan Indonesia berkomitmen mencapai target kawasan konservasi perairan laut seluas 32,5 juta hektare pada 2030.

Bahkan Presiden Jokowi juga mengatakan untuk mengurangi 70 persen sampah plastik laut pada 2025.

"Dengan bersihnya Perairan laut Indonesia dari sampah juga akan menguntungkan jalur pelayaran Indonesia. Perjalanan kapal tidak akan terganggu oleh banyaknya tumpukan sampah yang dapat tersedot oleh kapal sehingga dapat mengganggu kondisi mesin kapal," pungkas Capt. Hakeng. (mcr10/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
maritim   ZEE   laut   Jokowi   TNI   nelayan   Ekonomi  

Terpopuler