jpnn.com - ‘’Saya telah membunuh Firaun’’, kalimat itu diteriakkan oleh Letnan Khalid Islambouli, anggota militer Mesir yang membunuh Presiden Anwar Sadat pada 1981 dalam sebuah parade militer di Kairo.
Islambouli ialah angota organisasi Jihad Islam yang sangat menentang perjanjian damai Mesir-Israel yang ditandangani Anwar Sadat pada 1979. Atas keputusan damai itu, Sadat dianggap berkhianat dan kemudian dibunuh.
BACA JUGA: Saat Gelap dan Hujan, Firaun Pengin Kencing, Dor! Polisi Menembak
Firaun menjadi simbolisasi penguasa diktator dan otoriter sekaligus zalim. Membunuh Firaun berarti peruwujudan jihad melawan kezaliman.
Gerakan Islam militan di Mesir mempunyai sejarah panjang dan berdarah sejak Hasan Albanna ditembak mati di pinggir jalan ketika menunggu angkutan umum pada 1949.
BACA JUGA: Munarman FPI: Kita Seperti di Zaman Firaun
Albanna, pendiri Ikhwanul Muslimin, persaudaraan muslim, menjadi syahid dan mengilhami gerakan Islam militan di seluruh Timur Tengah dan mengembang sampai ke seluruh pelosok dunia.
Perdamaian negara-negara Timur Tengah dengan Israel dianggap sebagai kunci perdamaian dan stabilitas di wilayah itu.
BACA JUGA: Sebut Jokowi Seperti Firaun, Ida Fitri Langsung Ditahan Polisi
Ketika Timur Tengah damai dan stabil, dunia akan ikut aman dan stabil.
Begitu pandangan yang berlaku di Barat selama ini.
Karena itu, pemulihan hubungan diplomatik antarnegara-negara yang bermusuhan dengan Israel selalu menjadi prioritas pemimpin Barat, terutama Amerika.
Jimmy Carter mencatat sejarah karena berhasil menjadi mak comblang yang membawa Israel dan Mesir ke perdamaian.
Dua pemimpin negara yang berseteru itu dibawa oleh Carter ke tempat peristirahatan di Camp David untuk berdamai.
Anwar Sadat mewaliki Mesir dan Israel diwakili oleh Perdana Menteri Menachem Begin.
Kedua pemimpin itu berada di Camp David selama 12 hari penuh dan berunding dengan dimediasi oleh Carter.
Hasilnya, pakta perdamaian Camp David ditandatangani pada September 1979, dan dua negara yang berperang itu pun berdamai.
Akan tetapi, harga yang dibayar oleh Sadat sangat mahal.
Kalangan Islam garis keras tidak bisa menerima perjanjian damai itu.
Perdamaian dengan Israel dianggap sebagai pengkhiatan terhadap Islam.
Karena itu, organisasi Islam garis keras menyusun perlawanan terhadap Sadat.
Sisa-sia perlawanan Ikhwanul Muslimin yang sudah dihabiskan secara represif oleh rezim Sadat ternyata bisa menyusup ke kalangan tentara, dan membawa akibat fatal bagi Sadat.
Pada 6 Oktober 1981, pemerintah Mesir menggelar parade militer di Kairo untuk memperingati keberhasilan pasukan negara itu dalam menyeberangi Terusan Suez di Operasi Badr.
Operasi yang dilakukan pada 1973 itu kemudian berdampak pada kemenangan atas Israel di Perang Yom Kippur.
Anwar Sadat duduk di tribun khusus dengan dikawal empat lapis pengamanan plus delapan pengawal pribadi—kondisi yang seharusnya cukup aman untuk sang presiden.
Ketika jet-jet Mirage milik Angkatan Udara Mesir terbang di atas kepala peserta dan penonton, tentara angkatan darat dan truk-truk pengangkut artileri mulai melewati jalur parade.
Tanpa disadari oleh Sadat, di dalam regu itu juga terdapat Letnan Khalid Islambouli, anggota organisasi militan Jihad Islam Mesir yang menyusup di tubuh militer dan punya rencana untuk membunuh Sadat.
Tepat di depan tribun tempat Sadat, Islambouli meloncat ke arah tribun kehormatan. Islambouli mendekati Sadat sambil membawa tiga buah granat tangan. Ia kemudian memberi salam ala militer. Sadat, yang tak menaruh kecurigaan berdiri dan membalas hormat.
Secepat kilat Islambouli melempar tiga granatnya ke arah Sadat. Hanya satu yang meledak. Pasukan Islambouli menembaki tribun dengan senapan otomatis AK-47 sampai amunisinya habis. Beberapa peluiru menembus tubuh Sadat.
Pengawal Sadat melempar kursi-kursi ke sekeliling Sadat untuk melindunginya dari hujan peluru susulan.
Serangan berlangsung selama dua menit.
Pasukan keamanan yang tertegun dengan serangan tak terduga Islambouli kemudian melancarkan serangan balasan dan berhasil menangkap Islambouli.
Selain Sadat, ada sekitar sepuluh orang lain yang menderita luka parah, antara lain duta besar Kuba untuk Mesir, Jederal Oman, dan Uskup Ortodoks Koptik.
Dua puluh lainnya luka-luka ringan, termasuk Wakil Presiden Hosni Mubarak, Menteri Pertahanan Irlandia James Tully, dan empat perwira militer Amerika Serikat. Sadat kemudian diterbangkan ke sebuah rumah sakit militer dan menjalani operasi oleh 11 dokter.
Nyawanya tak dapat diselamatkan karena mengalami pendarahan parah di internal rongga dada dan perobekan paru-paru sebelah kiri serta pembuluh darah di bawahnya. Dua jam berselang, Sadat meninggal di usia 62.
Perjanjian damai dengan Israel selalu membawa ongkos mahal. Meski demikian Amerika tidak pernah lelah mencobanya dengan segala risiko. Para pemimpin Arab pun berusaha mencoba meskipun tahu risikonya sangat besar.
Presiden Donald Trump mencoba peruntungannya untuk mendamaikan Israel dengan negara-negara sekitarnya. Ia mengutus menantunya, Jared Kushner yang keturunan Yahudi, untuk menjadi mediator dan negosiator. Kushner berhasil myakinkan Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk berdamai dengan Israel.
Trump mendapat kredit besar dari perdamaian ini. Perdamaian ini disebut sebagai ‘’Abraham Accord’’ atau ‘’Perdamaian Ibrahim’’. Nama ini dipilih untuk merujuk pada Nabi Ibrahim yang menjadi ‘’Bapak Para Nabi’’ dan ‘’Bapak Monoteisme’’ yang menjadi cikal bakal agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Nama itu terlihat bagus dan indah, tetapi menyimpan berbagai risiko sebagaimana perjanjian Camp David yang diprakarsai oleh Carter. Bagi negara barat perjanjian damai dianggap sebagai kemajuan, tetapi bagi kalangan Islam militan di Timur Tengah hal itu dianggap kemunduran dan kekalahan.
Kali ini, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mencoba peruntungan dalam upaya mendamaikan Timur Tengah.
Biden mengunjungi Israel dan kemudian Arab Saudi.
Biden dikecam karena dianggap menjilat ludah ketika harus mengalah dan bertemu dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), yang sekarang menjadi penguasa de facto Arab Saudi.
Di mata Barat, MBS punya dua wajah yang bertentangan.
Satu wajah menunjukkan seorang pembaru yang memperkenalkan transformasi Arab Saudi melalui ‘’Visi 2030’’ yang bakal membawa Arab Saudi ke jalan modernitas.
Di sisi lain, MBS dianggap sebagai seorang despot yang otoriter yang menjalankan kebijakan tangan besi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Dosa terbesar MBS adalah pembunuhan terhadap Jamal Khassoghi, wartawan The Washington Post kelahiran Arab Saudi. Khassoghi membelot ke Amerika dan menjadi pengritik paling keras MBS. Khasssoghi dibunuh ketika mengurus surat administratif ke Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, Oktober 2018.
Biden tahu bahwa MBS sangat berkuasa di Arab Saudi meskipun Pangeran Salman, ayah MBS, secara resmi masih berkuasa. MBS sekarang memegang kendali dan sedang menyusun masa depan Arab Saudi modern sesuai dengan keinginannya.
MBS ingin melepaskan Saudi dari masa lampau yang berhubungan dengan Wahabisme yang dianggap sebagai sumber konservatifme yang menghalangi modernitas Arab Saudi. MBS sudah membuat banyak keputusan yang semakin mendekatkan negaranya untuk berdamai dengan Israel.
Dari hasil kunjungan Biden ini Israel sudah mendapat izin untuk mempergunakan wilayah udara Arab Saudi untuk penerbangan komersial. Ini merupakan langkah maju yang disebut-sebut akan membawa normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel maju beberapa langkah.
Biden tidak mau kalah dengan Donald Trump maupun Jimmy Carter. Ia ingin mencatat sejarah yang lebih besar dengan memulihkan hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Israel. Jika langkah ini tercapai maka Biden akan menjadi pahlawan yang sudah hampir pasti memenangkan hadiah Nobel Perdamaian.
Akan tetapi, langkah ini akan membawa konsekuensi besar bagi pemimpin Arab Saudi, terutama MBS. Ia pasti akan menjadi sasaran kemarahan kalangan Islam militan. Tidak tertutup kemungkinan MBS akan ‘’di-firaun-kan’’ seperti Anwar Sadat. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror