jpnn.com - JEMBER - Polda Metro Jaya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Rabu (22/11) malam.
Pengamat yang juga pakar hukum pidana Universitas Jember Prof. M. Arief Amrullah mengatakan Firli Bahuri sebaiknya mundur atau mengundurkan diri dari jabatan ketua KPK untuk menjaga muruah lembaga antikorupsi tersebut.
BACA JUGA: Firli Bahuri Tersangka, Wakil Ketua KPK Ini Merasa Tak Malu
Menurut Arief, selama ini KPK dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi.
"Namun, ketika ketua KPK terjerat kasus dugaan pemerasan, maka menjadi preseden buruk bagi lembaga itu," kata Arief saat dihubungi per telepon dari Jember, Jawa Timur, Kamis (23/11).
BACA JUGA: Hari Ini, Dewas KPK Bakal Surati Jokowi Minta Firli Bahuri Diberhentikan
"Firli selalu berkelit dalam proses hukum yang menimpanya. Hal tersebut seharusnya tidak dilakukan mengingat jabatannya sebagai Ketua KPK dan seharusnya dia berani untuk menyerahkan diri tanpa ada tekanan dari publik," tutur Arief.
Dia menilai tindakan yang dilakukan Firli tidak memberikan teladan yang baik sebagai pimpinan KPK, karena selama ini masyarakat berharap lembaga antirasuah itu dapat memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, bukan sebaliknya.
BACA JUGA: Sebut Firli Penjahat Besar, Novel Baswedan Minta Polisi Proses TPPU
"Kredibilitas lembaga antirasuah itu akan dipertanyakan oleh publik dan sebaiknya yang bersangkutan mundur dari jabatannya untuk fokus dalam kasusnya daripada nanti dipaksa mundur oleh publik dan membebani KPK," ucap pakar hukum pidana Fakultas Hukum Unej itu.
Jika Firli masih menjabat, lanjut dia, maka kredibilitas lembaga antirasuah itu akan tercedera dan kinerja pemberantasan korupsi terganggu dan terhambat, apalagi saat ini memasuki tahun politik yang rawan terhadap gesekan politik dan hukum.
"Para penegak hukum juga harus bekerja sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan jangan sampai terjadi politisasi hukum pidana karena hal itu akan membahayakan bagi penegakan hukum di Indonesia, sehingga tidak boleh dicampuradukkan antara hukum dan politik," ujarnya.
Sementara itu pada pasal 32 ayat 2 UU KPK menyebutkan bahwa dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi