Firman Soebagyo: Tidak Ada Obral Izin di Era Jokowi

Rabu, 27 Januari 2021 – 18:13 WIB
Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak era pertama pemerintahannya di 2014-2019 dan periode kedua yang tengah berjalan sekarang ini terus melakukan berbagai terobosan, termasuk dalam hal perizinan.

Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu menegaskan bahwa di era Presiden Jokowi hampir semua perizinan diperketat dan diawasi agar sesuai dengan peruntukan.

BACA JUGA: Soal Perizinan, Jokowi: Sudah Puluhan Kali Saya Sampaikan

“Jadi saya menilai tidak ada namanya obral izin di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Pak Jokowi sejak awal konsisten memajukan ekonomi dengan memangkas birokrasi berbelit, tetapi mengawasi secara ketat berbagai izin, termasuk perizinan pada sektor kehutanan,” kata Firman dalam wawancara dengan media di Jakarta, Rabu (27/1).

Firman menjelaskan terobosan perizinan dilakukan pemerintah demi memudahkan investasi dan memotong birokrasi yang berbelit-belit.

BACA JUGA: Firman Soebagyo Nilai Pengkritik Pemerintah Belum Dewasa

Salah satunya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Ciptaker yang belum lama ini diundangkan.

Firman menambahkan ketatnya perizinan bidang kehutanan di masa Presiden Jokowi karena ada mekanisme pengawasan teknis dan administratif.

BACA JUGA: KLHK Bantah Keras Tudingan Soal Obral Izin di Era Jokowi

Menurutnya, tugas pengawasan yang sangat berat itu dipegang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar.

Tugas itu berat mengingat banyak permasalahan kehutanan di masa lalu yang seolah-olah hasil dari kerja pemerintahan Jokowi.

“Saya kebetulan sudah empat periode di Komisi IV DPR yang bermitra dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga Kementerian Pertanian. Dari pengawasan Komisi IV DPR, kami tidak mendapati adanya obral perizinan," kata Firman.

Dia menambahkan tudingan adanya obral izin di era pemerintahan Presiden Jokowi tidak berdasar dan sangat tendensius.

"Kalau hal itu terjadi, pasti sejak awal kami cegah. Sekarang, buktinya tidak ada. Tudingan adanya obral izin itu sangat tendensius dan tak berdasar,” ungkapnya.

Ia mengakui terobosan yang dilakukan Presiden Jokowi ketika menggabungkan bidang lingkungan hidup dan kehutanan menjadi satu kementerian, yakni KLHK sangat berat.

Menurutnya, hal itu mengingat banyak orang kerap melihat kerusakan lingkungan dan mengaitkannya dengan persoalan kehutanan.

“Karena persoalan itu terjadi sudah puluhan tahun sejak era Orde Baru, maka menteri LHK yang sekarang ini yaitu Menteri Siti Nurbaya kebagian ‘cuci piring’ atau ‘bersih-bersih’," katanya.

Ironinya, lanjut Firman, banyak orang yang tidak mengetahui persoalan dengan baik dan didukung data akurat melempar isu atau pernyataan tak berdasar seolah pada masa Jokowi ini banyak obral izin dan lingkungan menjadi rusak.

Firman menambahkan selama bermitra dengan KLHK di bawah Menteri Siti Nurbaya, Komisi IV DPR malah mendapat banyak masukan bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan telah menuai hasil.

Misalnya, ia mencontohkan, kurangnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), perbaikan lingkungan, tata kelola birokrasi yang makin baik, dan pujian dunia internasional karena pengelolaan hutan yang bagus.

"Selanjutnya kami bisa melihat bagaimana keterlanjuran kebun sawit, baru sekarang di era Jokowi ini ada terobosan dengan dibuat dasar hukumnya dulu, lalu diakomodasi di dalam UU Cipta Kerja. Sebelum era Jokowi, tidak ada terobosan persoalan kehutanan yang menahun. Memang berat dan butuh waktu,” katanya.

Penambangan dan Banjir

Firman dalam kesempatan itu juga menyinggung adanya banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) dalam kaitan dugaan pertambangan di sana.

Menurutnya, dalam konteks banjir, persoalannya bukan satu dua tahun ini saja, tetapi sudah puluhan tahun silam atau sejak masa pemerintahan Orde Baru investor mengelola hutan karena pemerintah tidak punya uang untuk memanfaatkan harta kekayaan hutan itu.

Dampak dari penambangan yang puluhan tahun, reklamasi dan reboisasi terhambat, bahkan tidak bisa mencapai target karena KLHK tidak punya uang, dan kewajiban dari investor atau retribusinya malah jatuh ke Kementerian Pertambangan dan Energi.

“Saat ini meski dana reboisasi dan reklamasi masuk APBN tetapi tidak fokus dan jumlahnya kecil. Makanya, dalam UU Cita Kerja diatur soal ini agar ke depan lingkungan tidak rusak dan usaha bisa terus berjalan,” pungkas Firman. (*/jpnn)

 

 

 

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler