jpnn.com, JAKARTA - Anggota Panitia Kerja RUU Pertanahan dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo mengatakan dalam mencermati pembahasan RUU Pertanahan, pihaknya mendengar bahwa dalam rapat terbatas di Istana, semula Presiden Jokowi meminta pada Menko Perekonomian untuk mengoordinasi antarkementerian guna membuat DIM yang komprehensif. Namun, hal itu tidak berjalan dan Kementerian ATR/BPN kurang aktif.
Pada ratas terakhir, Presiden meminta kepada Wapres Jusuf Kalla untuk ikut membantu menyelesaikan soal ini, tetapi sampai saat ini Wapres belum mengumumkan.
BACA JUGA: RUU Pertanahan Tidak Mendukung Pelestarian Hutan
“Artinya, masalah RUU Pertanahan memang masih perlu pembahasan mendalam, dan kami tidak ingin disahkan segera,” kata Firman Subagyo, Kamis (15/8) menjawab pertanyaan pers terkait polemik RUU Pertanahan.
Masih dalam kaitan ratas khusus RUU Pertanahan di Istana tersebut, Firman mengatakan pihaknya setuju dengan pandangan yang disampaikan menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengungkapkan bahwa RUU Pertanahan ini berkaitan dengan kewenangan beberapa kementerian dan sampai saat ini masukan kementerian terkait belum sepenuhnya diakomodasi dalam RUU.
BACA JUGA: Jokowi Perintahkan RUU Pertanahan Segera Dituntaskan
Firman mengutip pernyataan Menkumham yang mengatakan mengingat masa sidang pembahasan RUU di DPR akan segera berakhir maka disarankan agar penyusunan DIM dilakukan melalui rapat panitia antarkementerian.
Menkumham juga menegaskan RUU Pertanahan perlu dibahas kembali dan disepakati di internal pemerintah dengan mengikutsertakan semua kementerian yang terkait dengan RUU Pertahanan.
BACA JUGA: Kalau Ibu Kota Pindah, Jakarta jadi Apa?
“Fraksi Golkar di DPR sama dengan pandangan Menkumham bahwa RUU Pertanahan ini perlu dibahas lagi secara mendalam dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait dan juga berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan RUU ini,” ujar Firman Subagyo.
Terkait dengan indikasi adanya keinginan dari segelintir anggota Panja yang untuk segera mengesahkan RUU Pertanahan, Firman Subagyo mengatakan, pihaknya banyak mendapat pertanyaan dan masukan yang menginformasikan bahwa ada kecurigaan publik atas pembahasan RUU Pertanahan ini dengan politik uang.
“Kami di DPR kan sering dituduh jika membahas RUU selalu dikaitkan dengan adanya sponsor pihak ketiga. Nah, jangan sampai bau busuk pembahasan RUU pertanahan yang disampaikan masyarakat kepada kami benar-benar nyata adanya. Kami harus hati-hati dalam membahas ini. Jangan sampai pengesahan sebuah RUU karena pesanan pihak lain. Kepentingan jangka panjang bangsa dan negara harus diutamakan dalam pembahasan UU,” ujar Firman mengingatkan.
Tak Sesuai Keingian Presiden
Pada bagian lain, Firman Subagyo mengatakan jika diteliti secara mendalam, ternyata bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menarik investasi besar-besaran guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu RUU ini juga bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria secara cepat dan tepat.
Firman menjelaskan, dari serangkaian pengamatan dan keinginan Presiden yang termuat di berbagai media, Jokowi semua ingin agar RUU Pertanahan ini dapat membantu untuk menumbuhkan iklim investasi yang menggairahkan sehingga mendorong atau mendukung capaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada lim atahun mendatang.
“Faktanya, RUU Pertanahan ini malah mereduksi berbagai kewenangan lintas kementerian dan lembaga. Artinya, iklim investasi justru semakin buruk, karena tidak ada kordinasi yang holistik di tiap kementerian/lembaga,” ujar Firman.
Politikus senior Partai Golkar ini juga mengemukakan keinginan Presiden Jokowi untuk mempercepat penyelesaian berbagai konflik agraria yang menahun terbantu dengan adanya UU Pertanahan ini. Namun, ternyata dalam pembahasan, RUU Pertanahan justru tidak seperti yang diinginkan Kepala Negara, potensi konflik malah bakal tinggi jika RUU Pertanahan disahkan secara tergesa-gesa.
Karena itu, Firman yang kini ditempatkan di Komisi II dan menjadi anggota Panja RUU Pertanahan menilai Fraksi Partai Golkar di DPR melihat belum urgensi jika RUU Pertanahan disahkan dalam periode ini.
“Kami ingin RUU ini menjawab 5 persoalan pokok terkait penyempurnaan UU Pokok Agraria. Kami melihat justru sebaliknya, jika disahkan, akan berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru,” katanya.
Kelima persoalan ini lanjutnya yaitu ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
Oleh karena itu, RUU Pertanahan seharusnya menjawab 5 krisis pokok agraria tersebut yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan. Merujuk pada naskah RUU Pertanahan yang terakhir.
Menurut Firman, RUU Pertanahan gagal menjawab 5 krisis agraria yang terjadi. UU terkait pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan Negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan pasal 33 UUD 1945, Tap MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (PA-PSDA) dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Selain itu, persoalan mendasar dari RUU Pertanahan saat ini adalah:
1. RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960. Meskipun dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA, akan tetapi substansinya semakin menjauh dan bahkan bertentangan dengan UUPA 1960.
Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN). HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960.
2. Hak menguasai dari negara yang telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 telah diterjemahkan RUUP secara menyimpang dan powerful menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL).
3. Masalah Hak Guna Usaha (HGU). Dalam RUUP, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan. Masalah lainnya, RUUP mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila melanggar ketentuan luas alas hak.
RUUP juga tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung.
4. Kontradiksi dengan agenda dan spirit reforma agrarian (RA). Terdapat kontradiksi antara semangat reform di dalam konsideran dan ketentuan umum RUUP dengan isi (batang tubuh) RUUP itu sendiri. Pertama, RA dalam RUUP dikerdilkan menjadi sekedar program penataan aset dan akses.
RUUP tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin RA yang sejati, yakni operasi Negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang secara sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu yang jelas. Tidak ada prioritas obyek dan subyek RA untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan RA di Indonesia.
Kedua, spirit RA di RUUP sangat parsial (hanya sebatas bab RA), namun tidak tercermin di bab-bab lain terkait rumusan-rumusan baru mengenai Hak atas tanah (Hak Pengelolaan, HM, HGU, HGB, Hak Pakai), Pendaftaran Tanah, Pengadaan Tanah dan Bank Tanah, dan Pengadilan Pertanahan.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gusti Hardiansyah: RUU Pertanahan Sarat Kepentingan Investasi
Redaktur & Reporter : Friederich