RUU Pertanahan Tidak Mendukung Pelestarian Hutan

Selasa, 13 Agustus 2019 – 17:33 WIB
Koordinator LSM Jikalahari, Made Ali. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator LSM Jikalahari, Made Ali mengungkapkan dari hasil penelaahan atas sejumlah pasal dalam RUU Pertanahan, ditemukan pasal-pasal yang tidak mendukung pelestarian hutan dan berdampak pada pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena itu, sebaiknya RUU Pertanahan ditunda saja pengesahannya.

“Banyak akademisi dan pakar serta praktisi yang berhubugan langsung dengan RUU ini sudah menolak pengesahan. Kami dari Jikalahari juga demikian, menolak pengesahan mengingat konsekuensi dari disahknya RUU Pertanahan menjadi UU, sangat besar dan itu merugikan bangsa dan negara,” ujar Made Ali, Selasa (13/8) menanggapi pembahasan RUU Pertanahan yang mendapat reaksi kritis banyak pihak.

BACA JUGA: Jokowi Perintahkan RUU Pertanahan Segera Dituntaskan

Made Ali mengungkapkan pasal yang dimaksudkan, pertama, Pasal 146 berbunyi; dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau Tanah yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri.

Pasal ini jelas menguntungkan 378 korporasi sawit illegal dalam kawasan hutan. Dia kuasai lahan lebihi HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya hak atas tanah, statua HGUnya ditetapkan Menteri ATR/BPN. Status apa? Illegal atau legal?

BACA JUGA: Gusti Hardiansyah: RUU Pertanahan Sarat Kepentingan Investasi

Nah, pasal ini juga bertentangan dengan pasal 33 ayat 9 RUU pertanaha. Bunyi pasal 33 ayat 9; dalam hal pemegang HGU menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya maka status tanahnya dihapus dan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara dengan status hak pengelolaan.

Pasal 33 ayat 9 untuk frasa HGU kuasai fisik lebihi luasan HGU status tanahnya dihapus. Namun dalam pasal 146 frasa kuasai tanah lebihi pemberian HGU status HGU ditetapkan oleh Menteri. Mana yang harus diikuti? Nah pasal ini saja sudah saling bertentangan.

BACA JUGA: Pakar Kehutanan Minta Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda

Kedua, lanjut made Ali, memindahkan konflik tenurial pada KLHK. Terlihat dalam pasal 33 ayat 5 dan ayat 6. Ayat (5) berbunyi; dalam hal hak guna usaha diberikan atas Tanah Negara, maka pemegang hak wajib menyediakan Tanah untuk pekebun atau petani atau petambak plasma di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha, yang luasnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang diberikan dengan prinsip ekonomi berkeadilan.

Mustahil perusahaan akan membagikan 20 persen dalam HGUnya. Karena pasal ini memberi peluang 20 persen di luar HGU-nya, temuan Jikalahari 20 persen itu dominan berada di dalam kawasan hutan. Nah, perusahaan ajukan ke menteri ATR/BPN 20 persen di kawasan hutan. Lalu KLHK tidak setuju karena berada di kawasan hutan fungsi HPK. Korporasi dan Menteri ATR BPN dengan mudah menyalahkan KLHK dan petani akan mengutuk KLHK.

“Nah, agenda reforma agraria Jokowi tidak menemukan jalannya karena menterinya saling berantem dalam RUU Pertanahan yang tidak menyelesaikan konflik tenurial,” tambah made Ali.

Lalu pasal 33 ayat 6 berbunyi; Dalam hal Tanah 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang diberikan tidak tersedia dari bagian tanah hak guna usaha yang dimohon atau tidak tersedia di lokasi lain yang memungkinkan masyarakat sekitar dapat mengusahakan maka dapat diberikan dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri

Bentuk lainnya apa? Ini luar biasa kewenangan Menteri ATR/Kepala BPN. Jika tak tersedia dia bisa berikan dalam bentuk lain. Korporasi diberi kemudahan oleh menteri atr bpn, ini berbahaya dan membuka peluang korupsi karena dalam bentuk lain bisa saja berasal dari permintaan korporasi. Dan ini bisa transaksional.

Ketiga, pemaksaan melegalkan kejahatan kehutanan atau menghilangkan tindak pidana kehutanan bisa dilakukan dengan status HGU dari Menteri ATR dan BPN (lihat pasal 146 dan 33). Menteri ATR/Kepala BPN dapat mengampuni kejahatan kehutanan korporasi sawit.

Deforestasi Besar-besarn

Dalam penelaahan lain kata Made Ali, Jikalahari menemukan bila RUU Pertanahan menjadi UU dampaknya akan terjadi deforestasi besar-besaran dengan cara melakukan pembakaran hutan dan lahan serta melegalkan kejahatan kehutanan 378 korporasi sawit yang lahannya kembali terbakar sepanjang 2019 hingga 6 juta warga Riau kembali terpapar polusi asap.

“Anda bayangkan 1,8 juta kawasan hutan anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi. Lalu dibakar karena biayanya murah. Habitat flora dan fauna yang selama ini hidupnya di hutan alam, mereka akan punah secara cepat,” ujar Koordinator Jikalahari, Made Ali, Selasa (13/8) menanggapi RUU Pertanahan.

Made Ali mengingatkan, jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan.

Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016 yaitu komitmen nasional hendak menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia. Termasuk menghentikan karhutla dengan cara merestorasi gambut akan sia-sia sebab sebagian besar 378 korporasi itu berada di atas lahan gambut. Itu artinya jokowi akan melegalkan tindakan korporasi itu merusak gambut.

Menurut Made Ali, Jikalahari telah menelaah RUU Pertanahan versi draf awal, draf versi Juni 2019 dan versi Juli 2019. Versi Juni dan Juli 2019 adalah versi penuh kegelapan karena dibahas tersembunyi dan tertutup rapat hingga publik tidak tahu perkembangannya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Jamin RUU Pertanahan Berpihak kepada Petani


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler