Firmansyah: Perpanjangan Kontrak JICT kepada Hutchison Cacat Hukum

Minggu, 31 Maret 2019 – 01:31 WIB
Serikat Pekerja JICT menggelar pertemuan untuk menyikapi kasus ini perpanjangan kontrak (2015-2039) JICT kepada Hutchison yang dinilai cacat hukum dan merugikan negara. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - BUMN operator pelabuhan Pelindo II menunjukkan sikap apatis paska-kontrak Hutchison di pelabuhan petikemas nasional terbesar, Jakarta International Container Terminal (JICT) habis pada 27 Maret 2019.

Pemerintah lewat Pelindo II seharusnya bisa menyikapi kasus ini mengingat perpanjangan kontrak (2015-2039) JICT kepada Hutchison cacat hukum dan merugikan negara.

BACA JUGA: Jelang Hari Jadi ke-20, JICT Memberikan Hadiah Spesial untuk Masyarakat

“Jika ini dibuktikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang menyelidiki kasus ini, maka perpanjangan kontrak JICT merupakan korupsi pelabuhan terbesar yang pernah ada,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, Firmansyah dalam keterangan persnya, kemarin.

BACA JUGA: Jelang Hari Jadi ke-20, JICT Memberikan Hadiah Spesial untuk Masyarakat

BACA JUGA: Implikasi Hukum Privatisasi JICT Jilid II Saat Audit BPK Diabaikan

Sampai saat ini, menurut Firmansyah, Pelindo II tidak menyatakan sikap untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT.

Saat ditanya mengapa perpanjangan kontrak atau privatisasi pelabuhan nasional terbesar JICT itu terus dijalankan walau cacat hukum dan merugikan negara, Firmansyah menjelaskan sejak kasus JICT mencuat pada 5 Agustus 2014, mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino buru-buru mengumumkan saham Pelindo II di JICT sudah mayoritas atau 51 persen.

BACA JUGA: Jelang Kontrak Hutchison Berakhir, Serikat Pekerja JICT Gelar Rapat Akbar

Namun saat penyelidikan Pansus Pelindo II DPR pada 26 November 2015, Direktur Utama JICT Dani Rusli menyerahkan dokumen perusahaan yang dinyatakan saham Pelindo II di JICT masih minoritas atau 48,9 persen. Bahkan di sejumlah dokumen RUPS terbaru, disebutkan saham Pelindo II tetap 48,9 persen.

Apalagi BPK telah mengumumkan hasil audit investigatifnya pada 17 Juni 2017 soal pelanggaran aturan dan kerugian negara dalam kasus privatisasi JICT jilid II (2015-2039). Di antaranya perpanjangan kontrak JICT tanpa ada RUPS, Rencana Jangka Panjang Perusahaan atau RJPP dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan atau RKAP.

Hal tersebut melanggar Permen BUMN No PER-01/MBU/2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik dan juga melanggar Pasal 3 dan Pasal 8 Keputusan Menteri BUMN No KEP-101/MBU/2002 tentang penyusunan rencana kerja anggaran perusahaan.

Selain itu, privatisasi jilid II tersebut tanpa ada izin konsesi pemerintah dan melanggar UU 17/2008 Pasal 82 ayat 4, pasal 344 ayat 2 dan pasal 345 ayat 2.

“Pelanggaran aturan lain yang paling terlihat yakni Pasal 8 ayat 1 dan pasal 10 ayat 1 Permen BUMN No PER-06/MBU/2011 dimana Hutchison ditunjuk langsung tanpa tender sehingga penjualan JICT tidak optimal,” katanya.

Menurut Firmansyah, dari berbagai penyimpangan yang saling berkaitan dan terindikasi ada pemufakatan jahat, negara dirugikan setidaknya Rp 4,08 triliun.

Lebih lanjut, Firmansyah menjelaskan manajemen Hutchison di Indonesia terus berupaya mengalihkan isu pelanggaran aturan dan korupsi pada perpanjangan kontrak JICT. Baik itu opini media soal operasional JICT mauoun bantuan Hutchison saat gempa Donggala dan pemberitaan masif pemilik Hutchison Li Ka Shing yang sarapan dengan Jokowi.

Di sisi lain, saat perpanjangan kontrak efektif tahun 2015, Hutchison berkomitmen akan membayarkan uang sewa per tahun sebesar USD 85 juta kepada Pelindo II. Uang ini sedianya digunakan untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Namun kenyataannya, dari dokumen penyelidikan Pansus Pelindo II, uang sewa tersebut dibayarkan oleh JICT bukan Hutchison.

Uang sewa tersebut digunakan sebagai jaminan pencairan pinjaman dana Global Bond Pelindo II senilai Rp 20,8 triliun atau USD 1,6 miliar yang cair pada Mei 2015 dan juga diperuntukkan untuk membayar bunga hutang Global Bond Pelindo II per tahunnya.

Menurutnya, dengan beban cacat hukum kontrak dan unsur korupsi sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum Indonesia bagi investor, maka dalam 20 tahun ke depan, Pelindo II dipastikan terus menanggung dosa privatisasi jilid II kepada Hutchison dan harus mencicil utang asing lewat penjualan aset pelabuhan JICT.

“Ini akan menjadi beban yang berat bagi pemerintahan berikutnya,” katanya.

Menurut Firmansyah, dalam perhitungan beberapa ahli keuangan, nilai termination value atau pemutusan kontrak Hutchison paska 27 Maret 2019 hanya berkisar Rp 35 miliar. Nilai ini jauh lebih kecil dibanding pendapatan JICT yang rerata mencapai Rp 2-3 triliun per tahun.

Dari segi pasar, menurut dia, pelabuhan Indonesia memiliki tipe end destination port bukan tipe transhipment. Artinya pasar dibentuk dari kekuatan domestik bukan investor asing.

Apalagi JICT dikelola oleh 100 persen anak-anak bangsa sejak Hutchison datang tahun 1999 bahkan jauh sebelum itu sejak tahun 1978. Jadi secara kemampuan, peralatan dan teknologi, JICT sangat mumpuni dan mampu dinasionalisasi.

Di sisi lain, menurut Firmansyah, pemerintah sedang menggalakkan visi poros maritim dunia. Pembatalan kontrak JICT merupakan perwujudan sikap pemerintah terhadap realisasi visi tersebut.

Mengingat JICT adalah gerbang ekonomi nasional di mana dalam kerangka visi poros maritim dunia, penting mengelola pelabuhan secara mandiri karena ada aspek kedaulatan dan pengelolaan ekonomi yang besar untuk rakyat.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... JICT Makin Agresif di Tengah Persaingan Global


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler