Fitnah Bertubi-Tubi ke Jokowi Kotori Demokrasi

Jumat, 04 Juli 2014 – 00:30 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pengamat politik Ray Rangkuti menilai pemberitaan TV One tentang Joko Widodo (Jokowi) sebagai penerus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan PDI Perjuangan menjadi tempat anasir-anasir komunis sudah terlalu berlebihan. Ray mengatakan, pemberitaan tentang Jokowi dan PDIP mengusung komunisme dengan cara menghubung-hubungkan antar-peristiwa tanpa riset mendalam jelas bukan bentuk kebebasan pers.

“Sulit menyebut hal ini sebagai bagian dari kebebasan pers. Kalaupun misalnya ini bentuk kebebasan pers, maka itu adalah model kebebasan yang senantiasa ditolak pasangan Prabowo-Hatta,” kata Ray di Jakarta, Kamis (3/7) malam.

BACA JUGA: Kampung Naga Daulat Jokowi jadi Ki Jaka Winata

Pengamat yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia itu mengaku heran karena fitnah beruntun menyasar ke Jokowi. Bahkan, fitnah yang jelas-jelas salah itu terus diumbar  di ruang publik. Ray mencontohkan fitnah yang menyebut Jokowi kafir, agen asing, munafik dan kini sebagai agen komunis.

Ray mengatakan, para pembuat fitnah ke Jokowi itu jelas mengotori demokrasi. “Para pembuat fitnah bukan saja tidak malu, tak belajar dari kegagalan, bahkan sebenarnya mengotori demkrasi. Uniknya, mereka memakai demokrasi untuk menghancurkannya dari dalam,” ulas Ray.

BACA JUGA: Pakar Komunikasi: Obor Rakyat Rusak Kebebasan Pers

Lebih disayangkan lagi, pihak yang menghembuskan fitnah justru tak pernah meminta maaf tetapi malah memunculkan fitnah baru. Ray pun mengaku tak habis pikir dengan pihak yang memunculkan fitnah di pilpres.

“Apa yang ada di hati dan akal mereka sebenarnya? Tidakkah cukup bagi para pemitnah itu berhenti pada satu kesimpulan bahwa tidak mungkin dalam diri yang satu bergabung sekaligus semua keburukan. Ya, kafir, ya munafiq, ya agen asing dan sekaligus PKI,” kata Ray.

BACA JUGA: Obor Rakyat Dinilai Bangkitkan Kebencian

Karenanya pengamat yang banyak mendalami persoalan pemilu itu menyebut label-label negatif yang diarahkan ke Jokowi justru menunjukkan penebar fitnah dihinggapi kebencian, kelicikan sekaligus ketakutan. Namun, sangat disayangkan jika ruang publik digunakan untuk mengumbar fitnah.

“Yang perlu diingat TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie yang sekarang menjadi ketua partai yang diidirikan dan dibesarkan Soeharto. Kita sudah melihat efek negatif pada kemanusiaan Indonesia akibat stigma tanpa dasar di era rezim Orde Baru. Ratusan ribu orang Indonesia tanpa proses persidangan dirampas haknya secara ekonomi, politik, dan sosial hanya karena distigma sebagai PKI. Apakah pola-pola seperti ini lagi yang mau dipergunakan?” ucap Ray.

Menurutnya, sudah saatnya Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers bertindak dalam kasus TV One itu. “Di era reformasi ini, hanya pengadilan yang berwenang menetapkan seseorang atau organisasi tertentu sebagai PKI atau tidak, bukan TV One,” pungkasnya.(rmo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Walkot Palembang, KPK Sita Dokumen dan Mobil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler