jpnn.com - PADA kesempatan Idul Fitri tahun ini, saya mengimbau kepada seluruh umat Islam, khususnya kepada warga nahdliyin, agar merayakan Idul Fitri dengan penuh damai, tenang, tuma'ninah, dan sakinah. Sebuah perayaan yang jauh dari perbuatan radikal dan kasar
Mari kita bangun sebuah persaudaraan yang tulus dan ikhlas, terutama sesama nahdliyin dan umumnya seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Mari kita tunjukkan bahwa saat umat Islam merayakan Idul Fitri, perayaan dilakukan dengan penuh rasa cinta, damai, dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
BACA JUGA: Kader Demokrat Bagikan Makanan Siap Saji
Mudah-mudahan Idul Fitri tahun ini bisa menghapus kesalahan-kesalahan ketika kita pernah berbuat radikal, kasar, merugikan orang lain, menyakitkan orang lain, atau khilaf-khilaf lainnya. Mari kita selesaikan itu semua dan kita tutup di hari Lebaran tahun ini. Sekaligus berharap ke depan insya Allah tidak terjadi lagi kesalahan-kesalahan seperti yang telah lalu itu.
Lebih khusus, saya merasa perlu merujuk pada kasus di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu. Jangan sampai hal yang sama terulang lagi di waktu dan tempat yang lain. Jadikan kasus tersebut sebagai yang pertama sekaligus yang terakhir.
BACA JUGA: Islam dan Gender
Di sisi lain, di tengah situasi umat Islam dalam perspektif global yang sudah amburadul, saya juga merasa perlu mengingatkan bahwa telah muncul fenomena menarik yang patut kita simak bersama. Yaitu, ada peran Wahabi dalam banyak peristiwa pergolakan sosial dan politik di sejumlah belahan negara. Sebuah peran yang dimainkan kelompok Islam radikal.
Peristiwa di Mesir, Syiria, Libia, Nigeria, Mali, Somalia, atau beberapa negara lainnya belakangan ini telah menguatkan indikasi bahwa ada peran Wahabi yang turut serta. Mereka turut berdemo dan sebagainya. Mereka turut numpang situasi untuk menjalankan misi menyebarkan radikalisme dalam Islam. Menyebarkan mazhab pemahaman yang radikal dalam Islam, seperti yang juga kita, bangsa Indonesia, sudah alami.
BACA JUGA: Semangat Zakat Adalah Pemerataan
Karena itu, kita semua jangan tenang-tenang dan jangan enak-enakan. Mereka sama sekali jangan dianggap remeh. Peran Wahabi jangan pernah pula dianggap kecil. Sebab, betul memang, jumlah mereka sedikit. Tapi, uang yang mereka miliki itu fawqal khayal atau di atas yang bisa kita khayalkan. Dana yang mereka miliki itu di atas yang bisa kita bayangkan.
Selain kekuatan finansial yang sangat kuat, gerakan mereka tersistem dengan baik. Ada komando yang begitu rapi. Bukti-bukti itu dapat kita lihat dengan terang benderang di sejumlah negara yang sedang atau telah mengalami pergolakan. Kelompok yang menganggap diri mereka sebagai salafiyah tersebut telah berperan di mana-mana. Jika ada reformasi, ada revolusi, mereka pasti ada. Istilah sederhananya ikut numpang.
Berbeda dengan peristiwa di Iraq yang peran mereka kurang, di Syiria keberadaan mereka sangat jelas. Begitu pula, peristiwa di Mesir yang akhirnya beberapa kuburan wali di negara itu dibongkar. Ada setidaknya enam kuburan aulia di Mesir yang dibongkar. Termasuk di Mali yang bahkan ada 30 kuburan ulama besar yang dibongkar. Jadi, sekali lagi, ketika ada demo-demo yang menggaungkan gerakan semacamnya, mereka akan turut nyambi.
Terlepas dari itu semua, ada sesuatu yang memprihatinkan lainnya terkait situasi dan kondisi negara kita. Reformasi di negara kita yang sudah berhasil barulah sebatas reformasi politik. Ada desentralisasi, pemilu presiden langsung, hingga pilkada langsung yang secara umum memang lebih baik daripada sebelum-sebelumnya.
Tapi, yang tidak boleh kita semua lupa bahwa hal-hal tersebut baru sebatas reformasi di tingkat permukaan. Reformasi masih menyentuh kulitnya. Sesuatu yang lebih substansial dari reformasi belum berhasil kita capai hingga saat ini. Yaitu, bagaimana rakyat menjadi lebih sejahtera. Atau, bagaimana bangsa Indonesia bisa lebih aman, adil, dan berkeadilan dalam segala aspeknya. Semuanya, diakui atau tidak, masih jauh dari kata berhasil.
Di balik keberhasilan reformasi di ranah politik, ternyata selama ini kebijakan-kebijakan pemerintah masih belum mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat. Padahal, ada kaidah fikih yang jelas-jelas menyatakan, tasharruf al- imam 'ala al ra'iyyah manuth bi al mashlahah. Yaitu, kebijakan pemerintah, baik itu dalam bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya, harus berdasar kepentingan rakyat.
Selama ini, pemerintah hanya selalu melaporkan bahwa telah ada pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen dan seterusnya. Tapi, di balik laporan tentang pertumbuhan itu, faktanya pemerataan ekonomi masih jauh dirasakan masyarakat di berbagai lapisan. Padahal, Alquran Surat Al Hasyr ayat 7 telah mengingatkan, kay laa yakuuna duulatan bainal aghniya'i minkum. Yaitu, jangan sampai harta itu dinikmati oleh orang itu-itu saja. Kapital atau modal dipegang oleh orang itu-itu saja.
Program pemerintah semacam kredit usaha rakyat (KUR) ternyata belum benar-benar dirasakan masyarakat alias tidak pernah sampai ke mereka yang namanya Solikin, Madrais, atau lainnya.
Intinya, pertumbuhan 6,5 persen yang dibanggakan pemerintah tersebut tetap oke. Tapi, pemerataan juga sangat penting. Sehingga, pada momentum Lebaran tahun ini, perlu semua pihak, terutama pemerintah, memberikan jaminan. Tidak boleh terus-menerus terjadi yang kaya bisa semakin kaya, tapi yang miskin tetap saja miskin. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mudik ke Kampung Rohani dalam Tradisi Islam
Redaktur : Tim Redaksi