jpnn.com - Forkopimda Kabupaten Sikka adalah organ Pemerintah Daerah, yang diberi wewenang oleh UU untuk melaksanakan peran akomodasi ketika terjadi konflik di antara warga masyarakatnya, sebagaimana dalam kasus dugaan adanya benih-benih radikalisme dalam proses pindah agama dan ganti nama yang dihadapi oleh Yohanes San Salvador Lado Gili (San) dan orang tuanya Gerardus Gili dengan IKIP Muhammadyah dan Masjid Darussalam di Sikka.
Peran akomodasi Forkopimda Sikka merupakan langkah tepat karena Forkopimda merupakan organ yang merepresentasi berbagai unsur pimpinan daerah, ditambah unsur tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat di Sikka agar duduk bersama-sama mencari dan menemukan solusi penyelesaian secara kompromi bagi para pihak berselisih dalam peristiwa pindah agama dan ganti nama San.
BACA JUGA: Sentil Menteri Yasonna, Petrus Selestinus: RPerpres Mereduksi Fungsi TNI
Padahal pihak orang tua San sudah menyampaikan pengaduan kepada Pimpinan Negara, Pimpinan penegak hukum Cq. Kapolri, Cq. Kapolda NTT, Cq. Kapolres Sikka, juga kepada Bupati Sikka sejak tanggal 28 Juni 2020, namun hingga saat ini Bupati Sikka selaku Ketua Forkopimda Sikka, belum mengambil inisiatif melaksanakan peran akomodasi sesuai dengan fungsi Forkopimda, menurut UU.
Persoalan pindah agama dan ganti nama San, tidak boleh dipandang sebagai persoalan privat atas dasar HAM, karena setiap orang tidak hanya diikat oleh sebuah UU yang melindungi hak-hak privatnya, akan tetapi juga ia diikat oleh ikatan-ikatan sosial dengan hak-hak tradisional masyarakatnya sebagai bagian dari anggota masyarakat yang wajib dihormati oleh siapapun juga.
BACA JUGA: Pindah Agama dan Ganti Nama Ungkap Dugaan Benih Radikalisme di Sikka
Forkopimda Absen, Bupati Abai
Tugas dan tanggung jawab utama Forkopimda adalah mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta stabilitas daerah bagi kelancaran pembangunan, pemerintahan dan stabilitas daerah. Oleh karena itu persoalan yang dihadapi keluarga Gerardus Gili dan putranya San serta dugaan adanya benih-benih radikalisme dan HTI di Sikka, tidak boleh dipandang sebagai soal privat, lantas pemerintah baru akan bertindak sebagai pemadam kebakaran manakala api mulai membesar.
BACA JUGA: Awas! Pasukan Elite TNI AL Mulai Bergerak dan Menceburkan Diri ke Laut, Ada Apa?
Peristiwa ini sudah menjadi masalah sosial yang menuntut penyelesaian secara holistik melalui peran akomodasi Forkopimda.
Laporan Gerardus Gili kepada Presiden dan sejumlah petinggi di negeri ini hingga Bupati Sikka, sudah 1 (satu) bulan lamanya disampaikan, namun Bupati Sikka sebagai Ketua Forkopimda, masih absen, sementara isu benih-benih radikalisme dan HTI sudah meresahkan publik dan jangan sampai menjadi Puncak Gunung Es.
Pemerintah tidak boleh meninabobokan masyarakat Sikka dengan membiarkan sikap sekelompok orang yang menginternalisasi San atau siapa pun untuk pindah agama dan ganti nama secara tidak bertanggung jawab, dilakukan dengan sangat tertutup dan tidak fair.
Selama San direkrut orang tuanya sama sekali tidak diberitahu, perilaku ini tidak boleh dibiarkan menjadi modus dan preseden buruk dalam pergaulan sosial, budaya, politik pluralitas di Sikka.
Format Akta Masuk Islam
Dalam proses "Pindah Agama" hingga "Ganti Nama" Yohanes San Salvador Lado Gili, pihak orang tua San, mengetahuinya hanya dari ceritera San setelah semuanya sudah terjadi, bersamaan dengan beredarnya dokumen berkop surat "Masjid Darussalam" Waioti, Kabupaten Sikka dan diberi judul tertulis "Akta Masuk Islam " di medsos.
Mengenai hal ini pihak pengelola Masjid Darussalam wajib hukumnya untuk mengklarifikasi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran, tentang hal-hal sebagai berikut:
Pertama, apakah benar dokumen Akta Masuk Islam a/n. Yohanes San Salvador Lado Gili yang beredar, dikeluarkan oleh pihak Masjid Darussalam dan apakah Masjid Darussalam memiliki wewenang menerbitkan Akta Masuk Islam sekaligus Akta Ganti Nama bagi Yohanes San Salvador Lado Gili;
Kedua, apakah dibenarkan seorang Yohanses San Salvador Lado Gili menandatangani Akta Masuk Islam dan Ganti Nama diri pribadi di atas Kop Surat milik Masjid Darussalam dan dari mana dasar kewenangan dan hak untuk menandatangani sebuah Akta di atas Kop Surat milik Masjid Darussalam untuk dirinya;
Ketiga, berwewenangkah Masjid Darussalam mengganti nama seorang Yohanes San Salvador Lado Gili mejadi Muhammad Ihsan Hidayat dan menempatkannya di dalam Akta Otentik serta mengapa tidak menyertakan pihak orang tua Yohanes San sejak awal proses pindah agama dan ganti nama dilakukan.
Pertanyaan ini sangat relevan karena wewenang untuk ganti nama dan mengeluarkan Akta Gantian Nama untuk seseorang warga negara Indonesia, oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Di dalam hukum nasional, persoalan Ganti Nama dan Ganti Agama merupakan peristiwa hukum, sosial dan budaya yang sangat penting dalam hidup seseorang. Undang-Undang bahkan menyejajarkan peristiwa Ganti Nama seseorang setara dengan peristiwa kelahiran, kematian bahkan perkawinan sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, keluarga dan masyarakat.
Proses Pindah Agama dan Ganti Nama meskipun hal itu adalah hak pribadi seseorang, akan tetapi semua itu ada syarat-syarat hukum lain yang harus dipenuhi, (conditio sine qua non), karena seorang Yohanes San Salvador Lado Gili bukanlah anak sebatang kara tanpa orang tua, tanpa lingkungan sosial budaya dan tanpa hukum nasional negara Indonesia yang mengikatnya.
Karena itu siapapun dia, atas nama dan untuk kepentingan apapun harus tetap berpijak kepada ketentuan hukum nasional, bukan hukum agama, apalagi soal Ganti Nama seorang Yohanes San Salvador Lado Gili menjadi Muhammad Ihsan Hidayat, tidak bisa semata-mata didasarkan kepada kehendak San sendiri, tetapi secara etika, sosial dan budaya perlu melibatkan pihak orang tuanya dan kultur masyarakatnya.***
Redaktur & Reporter : Friederich