Sentil Menteri Yasonna, Petrus Selestinus: RPerpres Mereduksi Fungsi TNI

Sabtu, 06 Juni 2020 – 02:50 WIB
Koordinator TPDI bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat dialog FAPP tentang sukses TNI-POLRI mengamankan Pemilu 2019 di ruang rapat Panglima TNI pada tanggal 29 Mei 2019. Foto: Dok. Petrus Selestinus for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM RI telah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

RPerpres tersebut sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Draf tersebut telah dikirim ke DPR RI pada 4 Mei 2020 untuk mendapat persetujuan.

BACA JUGA: Respons Petrus Selestinus Tentang Ancaman Hukuman Mati Kepada Pelaku Korupsi Anggaran Covid-19

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan TNI sebagai alat pertahanan negara mengemban tiga fungsi yaitu fungsi Penangkalan, Penindakan, dan Pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer selain perang. Di antaranya mengatasi Aksi Terorisme melalui keputusan politik Negara.

Selain itu, untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

BACA JUGA: Petrus Selestinus: Praktik Tangan Besi Oknum Polisi di NTT Seperti Preman

“Yang jadi masalah adalah fungsi TNI yang diatur oleh UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI khusus untuk mengatasi aksi terorisme, selama ini nyaris terdengar, malah yang menonjol justru peran yang dilaksanakan oleh Polri dengan payung hukum UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sedangkan untuk TNI, fungsi mengatasi aksi terorisme tidak diatur secara lebih jelas dan konprehensif dalam UU TNI atau melalui revisi UU TNI,” kata Petrus dalam pernyataan persnya, Sabtu (6/6) dini hari.

Oleh karena itu, Petrus sangat menyayangkan pendirian Pemerintah yang ingin mengefektifkan fungsi TNI untuk bidang Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan aksi terorisme pada bagian hulu aksi terorisme, tetapi payung hukumnya hanya dengan sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i ayat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berada pada bagian hilir.

BACA JUGA: Pelibatan TNI untuk Atasi Terorisme Harus Melalui Keputusan Politik Negara

Secara ilmu perundang-undangan, menurut Petrus, maka hal ihwal tentang tindakan hukum berupa Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan oleh TNI tanpa diperinci bagaimana seharusnya fungsi itu dilakukan, batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materilnya pelaksanaannya.

Hal itu, menurut Petrus, tidak boleh langsung dengan Perpres tetapi harus diatur terlebih dahulu dengan UU. Apalagi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI belum mengatur secara memadai fungsi TNI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan mengatasi aksi terorisme.

Mereduksi Fungsi TNI

Menurut Petrus, menarik TNI dalam mengatasi aksi terorisme tanpa memperjelas secara terukur fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan melalui revisi UU TNI, hal itu justru tidak cukup memberi legitimasi terhadap fungsi TNI. Bahkan mereduksi fungsi TNI untuk tugas Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan sebagai sebuah Tindakan Hukum yang secara operasional seharusnya diatur dengan UU bukan dengan Perpres.

Oleh karena itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak boleh terjebak dalam cara berpikir praktis dan pragmatis ketika menggunakan wewenang membuat kebijakan dan keputusan politik Negara melalui RPerpres yang pada pasal 3 sampai dengan pasal 12 isinya ngambang tidak punya bobot filosofis, sosiologis dan yuridis.

Oleh karena itu, Petrus mendorong DPR RI sebaiknya mengembalikan RPerpres dimaksud agar segera revisi UU TNI terlebih dahulu agar garis regulasinya jelas dan proporsional mana bagian hulu mana bagian hilir.

Sebagai sebuah regulasi organik dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka RPerpres dimaksud menjadi mubazir, tidak efektiv dan efesien menjamin bekerjanya fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan. Potensi menimbulkan overlaping dalam penggunaan wewenang antara TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme sangat mungkin terjadi.

Advokat senior dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menegaskan fungsi TNI harus jauh lebih kuat dari perkembangan terorisme dan ancaman global yang makin mengkhawatirkan. Oeh karena itu, TNI harus mengoreksi keputusan politik negara berupa Perpres yang rancangannya sudah dibuat Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly.

Menurutnya, selain karena isinya tidak memetakan secara tegas dan terperinci mana tugas yang menjadi domain TNI dan mana yang menjadi domain Polri, juga TNI belum punya Hukum Acaranya.

“Ini jelas Politiking dan membingungkan, terlebih-lebih karena baik TNI maupun Polri dua-duanya memiliki fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan dalam lingkup wilayah yang berbeda yaitu TNI di hulu dan Polri di hilir tetapi di dalam RPerpres tidak dirumuskan batasan fungsi TNI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan,” tegas Petrus Selestinus.(fri/jjpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler