Formasi Inginkan Penggabungan Batas Produksi Rokok Mesin SPM dan SKM

Senin, 25 Maret 2019 – 22:06 WIB
Sejumlah buruh pabrik rokok sedang bekerja. Ilustrasi Foto: DONNY SETYAWAN/RADAR KUDUS

jpnn.com, JAKARTA - Perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Fomasi) mendorong penggabungan batasan produksi rokok buatan mesin Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). 

Alasannya, perusahaan rokok besar asing multinasional masih memanfaatkan tarif cukai yang murah untuk merebut pasar.

BACA JUGA: N Pod NCIG Tawarkan Cara Baru Menikmati Rokok Elektrik

"Pabrik multinasional yang punya SPM dan SKM itu harus digabung. Supaya produksi SPM dan SKM nanti jadi 3 miliar batang kan, masuknya ke golongan 1," kata  Ketua Harian Formasi Heri Susanto.

Dengan penggabungan ini, pabrikan multinasional yang total produksinya mencapai 3 miliar batang per tahun dari rokok buatan mesin SPM dan SKM, harus membayar tarif cukai golongan 1 pada masing-masing segmennya. 

BACA JUGA: Rebut Pasar Duty Free Jepang, Philip Morris Indonesia Ekspor Rokok Premium

"Pengabungan SKM dan SPM supaya pabrik-pabrik besar yang punya brand internasional mainnya tidak seperti sekarang, ada yang golongan satu dan ada yang golongan dua. Dengan digabung, semua pabrik besar, apalagi pabrikan asing, harus naik keatas masuk golongan 1," tegasnya.

Penggabungan batas produksi rokok buatan mesin ini juga untuk menciptakan aspek keadilan dalam berbisnis di industri hasil tembakau, terutama akan melindungi pabrikan rokok kecil untuk bersaing langsung dengan pabrikan rokok besar asing.

BACA JUGA: Wussshh...Ekspor Rokok dan Cerutu Mengepul Capai USD 931,6 Juta

“Pabrikan asing besar yang masuk ke Indonesia memanfaatkan tarif layer-layer kecil yang murah untuk merebut pasarnya. Mereka berlindung ke dalam peraturan cukai," kata dia.

Heri meneruskan tarif cukai di segmen SPM memiliki ketimpangan sosial, sehingga menekan pabrikan kecil.

Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang.

Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.

Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp 590 per batang.

Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 385 per batang.

Heri juga mewanti-wanti untuk segmen rokok buatan tangan SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Sebab, segmen ini berkaitan dengan tenaga kerja manusia yang tidak tergantikan oleh mesin.

Karena itu, Formasi tetap pada usulannya, meminta penggabungan batas produksi rokok buatan mesin SPM dan SKM tetap dilaksanakan.

Sehingga, tidak terjadi penyelundupan dari perusahaan besar multinasional menggunakan tarif yang murah.

"Selain itu, fairness daripada kebijakan yang gede lawan gede, yang kecil lawan kecil," tegasnya.

Jika tidak terjadi, pabrikan rokok kecil akan tergilas dengan pabrikan yang memproduksi rokok mesin SPM dan SKM yang secara faktual tergolong besar.

Dari sisi manajemen, alat produksi, SDM, pemasaran, jaringan, pabrikan rokok multinasional jelas lebih unggul, sehingga akan berdampak pada berhentinya kelangsungan usaha pabrikan kecil di golongan 2 dan 3.

Formasi, juga mengusulkan agar pemerintah mewajibkan harga transaksi pasar (HTP) terendah adalah 100 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai yang melekat di bungkus rokok. 

Ketentuan saat ini, pabrikan rokok bisa menjual rokok dengan HTP sebesar 85% minimum dari HJE. Pabrikan yang menjual di bawah 85 persen HJE juga masih dianggap tidak melanggar apabila praktek ini dilakukan di tidak lebih dari 40 kota, seperti yang tercantum di Perdirjen Bea Cukai no. 37 tahun 2017.

"Ketentuan ini memukul pabrikan rokok kecil, karena distribusi kami tidak seluas perusahaan besar. Pangsa pasar kami juga bersaing langsung di 40 kota dimana pabrikan besar menjual rokok di bawah 85% HJE. Dan ini dibolehkan dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai itu," ujarnya.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harus Ada Evaluasi soal Rokok Kretek Merek Asing Berbanderol Murah


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler