jpnn.com - We dive for different reason. Slogan itu dibuat anggota Kopaska TNI-AL Mayor Laut (P) Yudo Ponco Ari untuk klub selam yang didirikannya setahun lalu, Frogdive. Klub yang terbuka untuk umum tersebut telah melakukan sejumlah ekspedisi ekstrem, menelusuri sejarah bawah laut Indonesia.
Laporan Gunawan Sutanto, Jakarta
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
BACA JUGA: Pelatih Arema Cronus, Suharno Bermusuhan dengan Anak Kandung di Lapangan
LAUT Jawa, 28 Februari 1942. Sambungan radio dari intelijen diterima Albert H. Rooks dari kapal yang dikemudikannya, USS Houston. Saat itu, Rooks menerima kabar kondisi sekitar Selat Sunda aman dilalui.
Berdasar informasi tersebut, berangkatlah USS Houston dan HMAS Perth ke Australia. Dua kapal itu menempuh jalur Laut Jawa–Selat Sunda–Samudra Hindia. Dua armada tersebut kembali ke Australia setelah terlibat perang dengan Jepang di Laut Jawa.
BACA JUGA: Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (2-Habis)
Ternyata, info intelijen ABDA Com (America, British, Dutch and Australian Command) itu meleset. Saat dua kapal Sekutu tersebut mendekati Selat Sunda, torpedo armada Jepang yang diluncurkan kapal Fubuki menghajar mereka. USS Houston dan HMAS Perth pun tidak bisa berkutik. Dua kapal itu karam beserta ratusan prajurit ABDA Com.
Selama ini, tidak banyak yang merekam cerita sejarah yang mendunia itu. Komunitas selam Frogdive mengambil peran tersebut. Mereka melakoni hobi selam sambil menyusun kepingan-kepingan masa lalu. Melakukan ekspedisi untuk mendokumentasikan bangkai-bangkai kapal yang dulu terlibat perang di Laut Jawa.
BACA JUGA: Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (2-Habis)
’’Sesuai dengan semboyan kami, we dive for different reason,kami ingin dari hobi menyelam ini bisa memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan dan dunia kebaharian Indonesia,’’ ujar Mayor Laut (P) Yudo Ponco Ari, pendiri Frogdive.
Perwira Kopaska TNI-AL yang kini menempuh pendidikan di Seskoal itu mendirikan Frogdive sejak setahun lalu. Meski masih bayi, ekspedisi komunitas tersebut termasuk luar biasa.
Sejak beberapa bulan berdiri saja, mereka sudah menelusuri jejak Nazi di Laut Jawa. ’’Ketika itu, rumor adanya Nazi di Indonesia menarik perhatian para frogdiver (istilah anggota komunitas Frogdive) untuk membuktikan,’’ ungkap pria kelahiran Semarang itu.
Setelah melakukan riset, komunitas tersebut memutuskan untuk menyelam ke objek yang diduga U-boat (kapal selam Nazi). Ekspedisi kala itu lumayan berat. Apalagi para frogdiver tidak punya banyak uang untuk menyewa kapal. Jadilah mereka berangkat dari Karimunjawa ke titik lokasi hanya dengan kapal kayu. Mereka berlayar 10 jam untuk menuju ke lokasi sejauh 98 nautical mile.
Sesampai di sasaran, para anggota Frogdive menyelam sekitar 2 jam. Mereka berhasil menemukan objek yang diduga kapal di kedalaman 25 meter. ’’Kami mendapat gambar objek yang memiliki dimensi sekitar 30 meter,’’ ujarnya.
Identifikasi U-boat Nazi juga berdasar sejumlah objek lain yang mereka lihat. Misalnya, temuan lambang swastika di piring dan peralatan makan yang tersisa di sekitar kapal. ’’Keyakinan kami tambah kuat karena melihat objek conning tower dan haluan kapal,’’ terang perwira kelahiran 14 Oktober 1977 itu.
Ady Setiawan, anggota Frogdive sekaligus peneliti sejarah yang terlibat dalam ekspedisi, terkesan dengan penyelaman kala itu. ’’Luar biasa, kami menyelam cuma 2 jam. Tetapi, perjalanannya bolak-balik butuh waktu 20 jam,’’ kenangnya.
Selama ini, Ady termasuk anggota yang paling getol mengikuti ekspedisi Frogdive. Sebab, dia juga memiliki komunitas sejarah Roodebrug yang juga intens meneliti sejarah kemiliteran Indonesia. Selain Ady, sejumlah anggota Roodebrug kini mulai bergabung dalam Frogdive.
Meski didirikan perwira Kopaska, tidak semua anggota Frogdive adalah prajurit TNI. Frogdive terbuka untuk umum. Karena itu, anggotanya pun berasal dari sejumlah latar belakang. ’’Ada yang mahasiswa, advokat, PNS, sampai dokter,’’ terang Ponco.
Hasil ekspedisi U-boat pernah dipaparkan Ady dan Ponco kepada Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo. ’’Pak Menteri memberikan apresiasi khusus terhadap ekspedisi kala itu,’’ kata Ponco. Indroyono mendukung Frogdive untuk mendokumentasikan kapal-kapal perang lain yang karam di perairan Indonesia.
Dorongan itulah yang membuat komunitas tersebut makin bersemangat mengadakan ekspedisi sejarah bawah laut. Yang terbaru, 6 Juni lalu, Frogdive menelusuri karamnya HMAS Perth dan USS Houston yang diberondong torpedo Jepang.
Ekspedisi sengaja dilakukan 6 Juni untuk sekalian memperingati D Day. D Day merupakan istilah militer sebagai tanda dimulainya pendaratan pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II. Operasi yang juga dikenal dengan Invasi Normandia itu merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah.
’’Kami perlu melihat HMAS Perth dan USS Houston dari dekat untuk menggambarkan betapa dahsyat perang di Laut Jawa kala itu,’’ ujar Ponco. Dua kapal Sekutu itu selama ini juga menjadi simbol monumen perang di Laut Jawa.
’’USS Houston itu kapal perang Amerika Serikat yang sangat besar. Julukannya Galloping Ghost of the Java Coast,’’ terang penghobi olahraga air tersebut. Selain faktor sejarah dua kapal itu, ekspedisi dilakukan karena anggota Frogdive tertantang dengan kondisi bawah laut Selat Sunda.
Menurut Ponco, karakter bawah laut Selat Sunda sangat ekstrem. Arusnya kencang setiap waktu dengan visibility terbatas. Kondisi itu terjadi karena Selat Sunda merupakan bottle neck Samudra Hindia.
Ekspedisi dua hari tersebut dimulai dengan penyelaman ke bangkai HMAS Perth. Untuk sampai ke bangkai kapal buatan 1933 itu, frogdiver harus menyelam hingga kedalaman 30 meter.
Sesampai di bangkai HMAS Perth, frogdiver mendokumentasikan beberapa titik kapal. Ponco sempat memperlihatkan gambar-gambar bangkai HMAS Perth kepada penulis. ’’Di dekat bangkai kapal, kami juga meletakkan karangan bunga sebagai penghormatan terhadap 300 pelaut yang gugur kala itu,’’ terangnya.
Ada temuan menarik ketika frogdiver bisa menemukan bangkai HMAS Perth. Ternyata, meski telah karam selama 73 tahun, kapal dengan panjang 120 meter tersebut masih mengeluarkan bahan bakar dari tangkinya. ’’Kami juga sempat tidak percaya, tetapi ada dokumentasinya,’’ tegas Ponco.
Waktu penyelaman yang tidak begitu banyak membuat frogdiver tidak bisa mendekat ke bangkai USS Houston. ’’Posisi tenggelamnya USS Houston lebih ke utara dibanding HMAS Perth. Kondisi arus lautnya lebih kuat karena lebih jauh dari pantai,’’ jelasnya.
Rencananya, setelah Lebaran, mereka kembali ke Selat Sunda untuk merekam lebih dekat dan detail bangkai USS Houston.
Berdasar data yang disampaikan Ady, setidaknya ada 10 kapal yang karam selama Battle of The Java Sea pada 1942. Ponco dan frogdiver lainnya ingin mendokumentasikan semuanya. Mereka ingin membuat sebuah photobook yang berguna sebagai literatur sejarah maritim Indonesia.
Menurut Ponco, dalam setiap penyelaman, anggota komunitasnya tidak ingin sekadar menyalurkan hobi. Karena itu, dia benar-benar menyiapkan anggota yang terlatih. Tujuannya, tangguh saat mengikuti ekspedisi bawah laut.
Selama ini, sebelum memulai ekspedisi, anggota tim menjalani training. Khusus untuk ekspedisi HMAS Perth, Ponco menyiapkan latihan untuk timnya di perairan Kepulauan Seribu. Mereka didril penyelaman malam, rescue dive, dan sejumlah prosedur penyelaman lainnya.
Ponco selama ini melatih frogdiver dengan materi penyelaman umum dan militer. Tidak semua anggota bisa langsung ikut ekspedisi bawah laut. Mereka harus ikut beberapa tahap latihan seperti diving course dan refreshment.
Meski telah dibekali pelatihan selam militer, kendala di lapangan kadang tetap tidak bisa dihindari. Apalagi, selama ekspedisi sejarah, banyak hal mistis yang ditemui.
Misalnya, ketika penyelaman di HMAS Perth. Saat itu, tiba-tiba ada anggota yang kesurupan. Dia tidak sadar diri ketika penyelaman hendak berakhir. Untungnya, rescue yang baik membuat seluruh penyelam selamat. Ekspedisi pun berakhir dengan sukses. (*/c5/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1)
Redaktur : Tim Redaksi