Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (2-Habis)

Daun Salam dan Kunyit Impor dari Indonesia, Sulit Cari Keluak

Rabu, 17 Juni 2015 – 01:32 WIB
RASA ASLI: Dari kiri, Lusiana Goering, Agus Deryana, dan Michael Goering di Restoran Mabuhay, Berlin, Jerman. Mereka mempertahankan bisnis kuliner Indonesia.(Diar Candra/Jawa Pos)

jpnn.com - Berbagai cara dilakukan para pemilik dapur restoran khas Indonesia di Berlin untuk menjaga cita rasa aslinya. Ada yang memilih menyetok persediaan bumbu untuk setahun. Ada pula yang mencari langsung dengan blusukan sampai Amsterdam, Belanda.


Laporan DIAR CANDRA, Berlin

BACA JUGA: Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (2-Habis)

-------------------------------------------------

AROMA terasi yang ditumis serta suara sreng langsung menyambut saat saya membuka pintu Restoran Mabuhay. Rumah makan yang dalam bahasa Tagalog Filipina berarti ’’halo’’ tersebut masih ramai pengunjung ketika saya mendatanginya pukul 20.00 waktu setempat. Mabuhay yang berlokasi di 28 Kothener Strasse itu hanya berjarak tempuh 5–10 menit dari stasiun kereta Potsdamer Platz dengan berjalan kaki.

BACA JUGA: Kisah-Kisah Pemilik Resto Khas Indonesia di Berlin (1)

Ketika saya menengok meja para tamu di restoran itu, terhidang berbagai jenis makanan Indonesia. Ada tumis kangkung cumi, batagor, ayam balado, sambal, tempe, tahu goreng, dan rendang. Rasa lapar pun langsung menyerang.

Saya yang datang bersama dua rekan memutuskan untuk duduk di tenda rumah-rumahan di depan restoran. Sebab, ruangan di dalam restoran sudah penuh. Sekitar 30 orang memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter itu.

BACA JUGA: Elis Lisniawati dan Elgia Melissa, Duet Ibu-Anak Kembangkan Gendongan Bayi 6 in 1

Pemilik restoran, Michael Goering, pun langsung menyapa ke meja kami. Dengan bahasa Indonesia yang belum lancar, Goering mengucapkan selamat datang kepada kami.

Dari daftar menu yang disodorkan Goering kepada saya, harga yang ditawarkan sangat bervariasi. Mulai 5 euro sampai 8 euro.

’’Kami mempertahankan bentuk rumah makan ini supaya yang datang ke sini tetap merasa ada Indonesia. Ruangan yang tidak seberapa besar, lalu mereka bisa mencium bau masakan yang kami racik,’’ ungkap Goering. Dia lantas memperkenalkan saya kepada istrinya yang asal Indonesia, Lusiana Goering, dan koki asal Bandung, Agus Deryana.

Nah, Agus yang menjadi koki di Mabuhay sejak delapan tahun silam lantas mengisahkan cara mempertahankan cita rasa restoran agar tetap asli. Yakni, dia tetap menggunakan bahan asal Indonesia dalam semua masakannya.

’’Saya kan pulang setahun sekali setiap Desember. Terus, Januari balik ke Berlin. Setiap pulang itu, saya bawa daun salam yang sudah kering serta daun kunyit buat bumbu. Pokoknya, koper saya, Pak Michael, dan Bu Lusi penuh bumbu,’’ tutur Agus.

Membawa bumbu dari tanah air sebetulnya dilakukan Agus sejak era pemilik restoran sebelumnya, Hari Sutanto. Namun, setelah Goering-Lusi mengambil alih Mabuhay pada 2012, bumbu-bumbu semakin sering didatangkan dari tanah air.

Kebetulan, Agus yang beristri orang Cilacap memiliki kebun di kota asal istrinya. Di Cilacap itu, mertua Agus mengelola kebun tanaman salam. Hasil kebun mertua selama setahun itulah yang kemudian dibeli Agus, lantas dibawa ke Berlin.

’’Ketika balik ke Berlin, total bagasi pesawat tiga orang bisa mencapai 90 kilogram. Sayang kalau tidak dimaksimalkan. Kadang selain salam dan daun kunyit, kami membawa kecap manis, kecap asin, saus sambal, dan kedelai,’’ papar Agus.

Dalam kacamata Agus, daun salam dan kunyit tidak tergantikan. Keduanya dibutuhkan untuk membuat rendang dan kuah kari. Karena keduanya adalah menu yang paling laris, Agus berusaha keras membawa bumbu itu.

Apakah pernah terjadi masalah dengan petugas bandara atau imigrasi karena membawa bumbu yang demikian banyak? Agus menjawab tidak pernah. Sebab, bumbu tersebut dimasukkan dalam koper dan disimpan di bagasi.

’’Paling kalau ditanya kenapa bawa bumbu masakan sangat banyak ke Berlin, ya saya jawab untuk bahan masakan. Saya juga akan jelaskan bahwa saya adalah koki yang butuh bahan masakan dari Indonesia. Sebab, bahan yang saya bawa ini tidak ditemukan di Berlin,’’ jelasnya.

Pernyataan Agus tersebut dibenarkan Lusi. Lusi yang membangun bisnis bersama sang suami pernah mendapat pertanyaan dari konsumen soal cita rasa daun salam dan kunyit pada masakan-masakannya.

Ceritanya, suatu saat, stok daun salam dan kunyit menipis. Mau tidak mau, Lusi meminta Agus sebagai koki untuk menghemat bumbu sebaik-baiknya. Hal tersebut otomatis berpengaruh pada rasa makanan. ’’Pelanggan langsung tahu. Mereka pun bertanya, ’Apakah ada yang hilang dari rendang ini?’ Karena sampai sedetail itu, saya tidak berani main-main dengan bumbu ini,’’ tegas Lusi.

Daun salam dan kunyit, menurut dia, sangat jarang ditemukan di grosir bumbu Asia di Berlin. Melihat pentingnya bumbu itu, Lusi yang juga bertanggung jawab untuk memastikan stok bumbu aman membeli empat freezer besar berukuran 2 x 2 meter. Dengan dimasukkan dalam freezer, bumbu-bumbu akan bertahan lebih lama.

Namun, ada pula bahan yang harus habis setelah dibeli. Petai, misalnya. Perempuan asal Medan itu menyatakan, biji petai hanya bisa bertahan 2–3 hari setelah dikupas, lalu dimasukkan freezer. Untuk kebutuhan bumbu dan bahan dalam sebulan, Lusi menuturkan, bujet belanja Rp 100 juta–Rp 150 juta. Daging sapi, ikan mujair, dan ayam menempati tiga bahan teratas yang harus dibeli.

Untuk bahan-bahan tersebut, Lusi bisa membelinya di grosir perbelanjaan Asia di Berlin. Harga daging sapi 7–8 euro per kilogram, ayam 8–10 euro per ekor, dan mujair 5–6 euro per kilogram.

’’Sebulan, konsumsi ayam bisa sampai 450 kilogram. Kalau daging sapi, sampai 300 kilogram. Lantas, mujair 250–300 ekor,’’ jelas Lusi mengenai kebutuhan bahan restorannya dalam sebulan.

Aspek lain yang membuat Lusi sepakat membawa bumbu dari tanah air adalah penghematan. Harga sebotol kecap 295 mililiter di Berlin mencapai 7 euro (1 euro sekitar Rp 14.973). Bandingkan dengan di Indonesia yang hanya sekitar Rp 7.300 per botol.

Sementara itu, pemiliki Restoran Tuk Tuk Ronald Christian menuturkan, bumbu yang paling susah didapatkan adalah keluak, bumbu utama rawon. Karena rawon termasuk menu yang laris, Ronald pun mati-matian mencari keluak.

’’Harga keluak di Eropa ini sangat fantastis. Satu kilogram keluak 8–9 euro. Kalau dirupiahkan, sekitar Rp 120 ribu. Bandingkan dengan di Indonesia, sekilo keluak sekitar Rp 16 ribu,’’ ucapnya.

Belum lagi, tidak setiap hari keluak itu ada. Karena itu, ketika menemukan keluak di grosir bumbu Asia, Ronald biasanya membeli langsung 10–15 kilogram. Apesnya lagi, pasar grosir Berlin tidak selengkap Amsterdam sehingga menu rawon di Tuk Tuk tidak selalu ada. Dengan situasi tersebut, akhirnya Ronald sering blusukan mencari keluak di Amsterdam.

’’Bumbu Asia di Berlin ini tidak lengkap. Importer sering kalah bersaing mendapat pasokan dari yang di Amsterdam. Lagi pula, komunitas Indonesia di Amsterdam jauh lebih banyak daripada di Berlin,’’ jelas Ronald. (*/c5/end)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Kiprah Anggota Kowal di KRI Surabaya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler