FSGI: PPDB Jakarta Melanggar Aturan Permendikbud, Gubernur Anies Harus Bertindak

Kamis, 25 Juni 2020 – 19:24 WIB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Foto: Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak Pemprov DKI Jakarta meninjau ulang pelaksanaan pendaftaran peserta didik baru (PPDB).

Hal itu disampaikan menyusul ada demo para orang tua murid yang memprotes kebijakan zonasi di DKI Jakarta.

BACA JUGA: Anak Driver Ojol Tersandung Aturan PPDB Jakarta, Berharap Ada Keajaiban dari Anies Baswedan

Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan, secara yuridis formal, kebijakan PPDB di DKI Jakarta untuk alokasi afirmasi dan zonasi yang memprioritaskan usia calon peserta didik alih jenjang, berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB 2020 berpotensi menyalahi Permendikbud No 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.

Sebab, di dalam Pasal 25 ayat 1 Permendikbud No 44/2019 mengatakan bahwa: "Seleksi calon peserta didik baru SMP (kelas 7) dan SMA (kelas 10) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang sama."

BACA JUGA: Ganjar Menemukan Banyak Modus Menyimpang di PPDB 2020, Siap Laporkan ke Mas Nadiem

"Nah, di sini sangat jelas sekali frasenya tertulis yaitu dilakukan dengan memprioritaskan jarak. Jelas sekali prasyaratnya bukanlah usia, melainkan jarak!," tegas Satriwan dalam pesan elektroniknya, Kamis (25/6).

Dia melanjutkan, ayat 2 menjelaskan bahwa jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana maksud ayat 1 sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua.

BACA JUGA: Penetapan Zonasi PPDB DKI Jakarta kok Cuma 40 Persen?

"Jadi sebenarnya sudah sangat clear di dalam pasal ini, bahwa patokan PPDB zonasi itu adalah jarak rumah siswa dengan sekolah, bukan seleksi berdasarkan usia," cetusnya.

"Adapun seleksi prioritas usia tertua bisa dilakukan jika jarak rumah calon siswa dengan sekolah adalah sama," sambungnya.

Kenyataannya, lanjut Satriwan, di sekolah-sekolah negeri di DKI berkata lain, misal di SMA Negeri X dan SMP Negeri Y yang FSGI coba wawancara, penerimaan siswa jalur afirmasi kuotanya sebesar 25 % dari daya tampung di sekolah tersebut.

Nah, ketika calon siswa mendaftar ke sekolah, secara otomatis by system maka yang bisa ikut pendaftaran afirmasi adalah para siswa yang usianya di atas atau lebih tua.

Misalnya usia 19; 18; 17. Diambil dari 1-25 dengan usia tertinggi tersebut. Otomatis usia di bawahnya tak bisa mendaftar atau langsung tertolak oleh sistem, sebab kuotanya sudah terpenuhi.

Lebih mengkhawatirkan lagi, prasyarat utama usia ini juga diberlakukan bagi jalur zonasi (jarak) yang di DKI Jakarta alokasinya sebesar 40%.

Sama dengan contoh di atas tadi. Artinya calon siswa pendaftar yang usianya di bawah, jika melampaui kuota di sekolah, maka yang akan diambil adalah usia tertua.

"Pada konteks inilah kebijakan dan pelaksanaan PPDB DKI berpotensi diskriminatif dan bertentangan dengan Permendikbud No. 44/2019," terang Satriwan.

Terkait alokasi 40% untuk jarak/zonasi ini juga jelas-jelas kontradiktif dengan Permendikbud No. 44/2019. Sebab Permendikbud menetapkan angka alokasi jalur zonasi (jarak) adalah minimal 50%.

Adapun prasyarat usia tertua memang ada di dalam Pasal 25 Ayat 2, tetapi konteksnya berbeda yaitu jika jarak rumah dengan sekolah para calon siswa adalah sama.

Jadi menempatkan syarat atau ketegori usia sebagai prasyarat utama atau menempatkannya di seleksi awal untuk alokasi jarak dan afirmasi, memang berpotensi menyalahi Permendikbud No 44/2019.

Bahkan dalam Permendikbud 44/2019 Pasal 6 menyebutkan: Persyaratan calon peserta didik baru kelas 7 SMP; Berusia paling tinggi 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan. Sedangkan Pasal 7: Persyaratan calon peserta didik baru kelas 10 SMA atau SMK; Berusia paling tinggi 21 tahun pada 1 Juli tahun berjalan.

Jelas di sini tidak ada tertulis syarat minimal untuk usia calon siswa masuk SMP dan SMA/SMK. Artinya para siswa berusia muda juga berhak masuk SMP atau SMA/SMK.

"Oleh karena itu kami memandang, perlunya segera Kemendikbud dalam hal ini Mas Menteri Nadiem untuk membenahi daerah-daerah yang membuat kebijakan sendiri-sendiri yang berpotensi menyalahi Permendikbud PPDB. Keadilan dalam pendidikan tak akan tercapai bila daerah membuat aturan sendiri-sendiri," tandasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler