Full Day School, Mau Ditaruh di Mana Siswanya?

Rabu, 10 Agustus 2016 – 05:41 WIB
Sejumlah siswa saat mengikuti pelajaran di Madrasah ibtidaiyah (MI) Nurul Huda, Cibinong, Kab. Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/8). FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Wacana full day school yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy oleh banyak pihak dianggap mustahil dijalankan. 

Infrastruktur pendidikan masih minim. Demikian halnya dengan sumber daya manusia pengajarnya.    

BACA JUGA: Deddy Corbuzier Anggap Lucu Wacana Full Day School

Woro Siswanti, kepala SDN Grogol Utara 15 Jakarta Selatan, menyatakan bahwa model full day mustahil diterapkan di sekolahnya. Untuk diketahui, sekolah Woro adalah sekolah satu atap. 

Itu adalah sekolah yang dalam satu gedung ada beberapa sekolah. Tidak dua, melainkan empat. Yaitu, SDN Grogol Utara 03, 04, 12, dan 15. 

BACA JUGA: Wow! Petisi Tolak Full Day School Tembus 20 Ribu Tanda Tangan

”SDN Grogol Utara 03 pasanganya SDN Grogol Utara 04,” kata Woro. ”Bila SDN Grogol Utara 03 masuk pagi, SDN Grogol Utara 04 siang. Itu juga berlaku pada SDN Grogol Utara 12 yang berpasangan dengan SDN Grogol Utara 15,” lanjutnya. 

Bila model full day diterapkan, yang masuk siang akan terganggu. ”Mau ditaruh di mana siswanya. Kalau yang pagi aja udah ratusan dan petang juga ratusan, daya tampung sekolah tidak mencukupi,” ujarnya. 

BACA JUGA: Puluhan Pelajar ASEAN Belajar Membatik

Karena itu, Woro berkeyakinan bahwa full day school hanya bisa diterapkan pada sekolah tunggal. ”Full day school lebih cocok diterapkan pada sekolah swasta karena kebanyakan orang tua murid sekolah swasta sibuk,” ucapnya. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak kalah risau dengan rencana full day school. Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh meminta wacana tersebut dikaji kembali sebelum diimplementasiskan. 

Asrorun menilai tidak masuk akal bila kebijakan itu, antara lain, mempertimbangkan kondisi orang tua yang sibuk bekerja. 

Hal tersebut tidak bisa digeneralisasikan sehingga akhirnya harus mengubah jadwal aktivitas anak. Sebab, pada kenyataannya, tidak semua orang tua bekerja di luar rumah. 

Selain itu, penerapan suatu program sejatinya harus diikuti perbaikan yang memadai. Tidak hanya dengan mengandangkan waktu anak di sekolah tanpa perbaikan sistem pendidikan, yang menjadikan lingkungan sekolah ramah anak. Bila tidak, kebijakan itu malah berpotensi menimbulkan kekerasan di lingkungan sekolah.

”Karena itu, kebijakan pendidikan, apalagi yang bersifat nasional, tidak bisa didasarkan pengalaman orang per orang. Tidak boleh hanya berdasar pengalaman pribadi. Selain itu, setiap anak memiliki kondisi berbeda-beda yang tidak bisa disamaratakan,” ujarnya di Jakarta kemarin (9/8). 

Yang kedua berkaitan dengan interaksi sosial anak. Menurut dia, menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah bisa jadi malah mengganggu intensitas interaksi anak. 

Bahkan, dikhawatirkan bisa berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. Pasalnya, anak yang butuh interaksi dengan lingkungan rumah dan keluarga justru berada lebih lama di sekolah.

”Kondisi anak tidak bisa disamaratakan. Dalam kondisi tertentu, anak jangan lama-lama di sekolah. Seperti anak kelas I SD, harus segera pulang agar cepat berinteraksi dengan orang tua,” ujarnya. (wan/via/mia/lum/c10/ang)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Mendikbud: Ada Program Ini, Guru tak Blingsatan Lagi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler