Harry, warga Tangerang, Banten, bukan seorang tenaga kesehatan. Namun, lelaki tengah baya ini sudah memperoleh dosis ketiga vaksin bulan Juli lalu.
Ia mengaku was-was saat angka kasus COVID-19 di Jakarta dan pulau Jawa saat sedang tinggi-tingginya.
BACA JUGA: 6 Mitos Seputar Vaksin COVID-19, yang Kelima Berbahaya
"Saya baca di media, katanya vaksin Sinovac setelah enam bulan akan berkurang efikasinya, ya saya jadi khawatir, karena kasusnya waktu itu kan lagi tinggi," tutur Harry.
Harry kemudian menghubungi beberapa dokter yang dikenalnya, mempertanyakan kebenaran artikel-artikel yang dibacanya.
BACA JUGA: Mulai 30 Agustus Daerah Level 3 di Jatim Bisa Melaksanakan PTM
"Sebagian dokter bilang, belum ada penelitian di Indonesia yang membuktikan soal efikasi itu, tapi di luar negeri memang sudah mulai dikenal vaksin booster," kata karyawan swasta itu.
Saat sedang mencari tahu tentang vaksin booster itulah Harry mengaku malah ditawari vaksin dosis ketiga dari kenalannya.
BACA JUGA: Kesenjangan Ekonomi di Sydney Makin Terasa karena Lockdown COVID-19
"Saya bilang saya mau, lalu saya disuruh datang ke salah satu tempat vaksinasi massal sekitar jam satu siang, karena katanya jam segitu biasanya sudah sepi."
Keesokan harinya ia memperoleh dosis ketiganya.
"Enggak ada input data apa-apa, jadi memang [suntikan dosis ketiga itu] enggak ada record-nya," cerita Harry kepada wartawan ABC Indonesia, Hellena Souisa.
"Saya tanya, apa jenis vaksinnya, berharap dapat AstraZeneca. Tapi ternyata Sinovac lagi," tambahnya.
Ia sadar suntikan dosis ketiga yang diterimanya ilegal, tapi ia berharap tidak merugikan siapa pun.
"Saya pikir mungkin selama ini, di tempat-tempat vaksinasi massal kayak gitu ada vaksin yang enggak terpakai tapi sudah telanjur dibuka, jadi mungkin lebih baik diberikan ke saya daripada dibuang."
"Tapi mungkin juga saya sudah mengambil jatah orang yang seharusnya dapat vaksin. Enggak tahu juga," tambahnya, yang sakit COVID-19 tanpa gejala sama sekali tiga minggu setelah mendapat vaksin dosis ketiga. Sejumlah pejabat mengaku sudah terima vaksin dosis ketiga
Harry bukan satu-satunya orang yang belum diprioritaskan tapi sudah mendapatkan 'booster' vaksin dosis ketiga, apa pun merek vaksinnya.
Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kalimantan Timur, Rabu kemarin (26/08) yang disiarkan langsung di kanal YouTube Sekretariat Presiden, sejumlah pejabat sempat terekam mengaku telah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga.
Padahal, berdasarkan Surat Edaran Kementerian Kesehatan, saat ini 'booster' hanya diberikan kepada tenaga kesehatan maupun tenaga pendukung kesehatan yang telah mendapatkanvaksin COVID-19.
Dalam kunjungan tersebut, Presiden Jokowi didampingi oleh Menhan Prabowo Subianto, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor, serta Wali Kota Samarinda Andi Harun.
Wali Kota Samarinda Andi Harun mengaku sudah mendapatkan dua kali suntikan vaksin dan mencoba vaksin Nusantara sebagai booster.
"Booster vaksin Nusantara, Pak Terawan," kata Andi dalam video siaran langsung tersebut.
"Oh pantes seger-seger, Pak Wali Kota, mendahului kita ini, Pak Wali Kota," kata Presiden Jokowi.
"Pak Panglima sudah ambil Nusantara?" tanya Jokowi kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
"Sudah," jawab Marsekal Hadi.
"Enggak ngajak-ngajak kita ya," ujar Presiden Jokowi.
"Saya sudah booster, cuma Moderna," kata Gubernur Isran Noor.
"Sudah booster semua, Pak Presiden belum, ya?" tanya Prabowo.
"Enggak, saya nunggu Pfizer," ujar Jokowi.
Tak lama, video 'live streaming' itu dihapus, namun diunggah ulang dengan menghilangkan percakapan soal vaksin booster tadi.
Tapi sejumlah media di Indonesia sudah memberitakan isi percakapan tersebut.
Belum ada keterangan resmi dari Kantor Sekretariat Presiden terkait alasan penghapusan percakapan tersebut.
Contoh lain pejabat di luar tenaga kesehatan yang sudah menerima vaksin moderna sebagai vaksin ketiga adalah wakil bupati, istrinya, serta Kapolres di Toraja Utara seperti yang dilaporkan oleh Kumparan pada awal Agustus.
Lapor COVID-19 menilai, pemberian vaksin ketiga bagi mereka yang bukan tenaga kesehatan ini adalah sebuah "pelanggaran besar."
"Artinya para pejabat itu melanggar regulasi Kemenkes. Menkes harus beri sanksi, tapi ya apa berani?" ujar pendiri COVID-19, Irma Hidayana kepada Tempo.
Irma juga mengatakan, Menkes Budi Gunadi Sadikin seharusnya diberi "sanksi berat" mengingat kewenangan pemberian vaksin berada sepenuhnya di bawah Menkes.
Selain melalui surat edaran, Menkes Budi pada awal Agustus sudah menegaskan yang menerima vaksin ketiga adalah para tenaga kesehatan.
"Saya tahu banyak yang ingin mendapatkan booster ketiga. Tolong berikan itu kepada tenaga kesehatan yang harus berjuang mati dan hidup dalam peperangan dalam pandemi ini," jelasnya dalam keterangan pers awal Agustus lalu.
"Tolong kita utamakan saudara kita, 140 juta rakyat Indonesia yang belum mendapatkan akses terhadap vaksin," tambahnya. Pendekatan yang salah dalam alokasi vaksin
Legiyah, warga Tapos, Depok, Jawa Barat, adalah salah satu dari 140 juta rakyat Indonesia yang disebut Menkes belum mendapat akses vaksin.
Padahal, Legiyah masuk ke dalam kategori orang lanjut usia yang menjadi kelompok prioritas vaksinasi.
Pensiunan karyawan swasta berusia 66 tahun ini sudah didata melalui RT dan RW setempat sejak April 2021 untuk menerima dosis pertama vaksin COVID-19.
"Dari Puskesmasnya [katanya] vaksinnya lagi habis, jadi masih belum [vaksinasi]," kata Legiyah kepada ABC Indonesia.
Sampai hari Kamis (26/08) baru sekitar 17 persen (3,6 juta) warga lansia yang sudah menerima dua dosis vaksin, menurut data Kementerian Kesehatan.
Salah satu penyebab belum meratanya distribusi vaksin ini adalah soal alokasi vaksin, menurut sejumlah pengamat kebijakan dan pakar kesehatan.
Jatah vaksin lansia selama ini dialokasikan dalam vaksin pemerintah daerah, bersama dengan jatah vaksin untuk tenaga kesehatan, aparatur sipil negara.
Namun, penelusuran Kompas ke sejumlah gudang vaksin di daerah menemukan alokasi vaksin untuk pemerintah daerah lebih kecil dibanding alokasi untuk TNI/Polri dan kolaborator atau penyelenggara vaksinasi yang bukan pemda, seperti partai politik dan pihak swasta.
Padahal alokasi vaksin yang diselenggarakan TNI/Polri dan kolaborator lainnya, walau jumlahnya banyak, tidak secara khusus menargetkan kelompok lansia.
Di Provinsi Jawa Tengah, misalnya, saat vaksin Moderna tiba pada pertengahan Agustus, pemerintah pusat mengalokasikan 1.020.000 dosis untuk Polda Jateng dan 170.000 dosis untuk Pemerintah Provinsi Jateng.
Jatah pemprov ini pun dibagi lagi ke 35 kabupaten/kota untuk booster nakes.
Diah Saminarsih, pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), sebuah lembaga 'think tank' kesehatan yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah, menilai situasi ini terjadi karena pendekatan alokasi yang salah.
"Salahnya karena approach-nya bukan approach terhadap kelompok populasi, tapi approach terhadap birokrasi," ujarnya.
"Itu membuat semua kelompok populasi prioritas menjadi blur, menjadi kabur."
"Yang dilihat [pemerintah] bukan kelompok populasinya, tapi isi dari populasi ini belong ke organisasi mana. Dan ini membuat ketimpangan makin besar, karena sektor informal kita gede, banyak orang yang enggak belong to organisasi mana pun," tambahnya.
ABC Indonesia berusaha menghubungi Kementerian Kesehatan untuk mengetahui lebih rinci strategi alokasi vaksinasi di Indonesia dan dasar pertimbangannya, termasuk jika Kemenkes mengalokasikan jenis merek vaksin tertentu untuk kelompok usia atau kelompok rentan lainnya.
Salah satu staf ahli Kemenkes yang berhasil dihubungi mengaku "belum bisa" memberikan jawaban.
"Mohon maaf, setelah saya berdiskusi dengan tim, saya belum bisa berbagi data tersebut," jawabnya melalui pesan singkat.
Namun, ia mengonfirmasi kewenangan strategi alokasi dan distribusi vaksinasi ada di tangan Kemenkes.
"Betul [kewenangan ada di Kemenkes], berdasarkan beberapa faktor berbasis risiko, dan laju penyuntikan daerah tersebut."
*) bukan nama sebenarnya
BACA ARTIKEL LAINNYA... 5 Berita Terpopuler: PB IDI AnjurKan Vaksin Dosis 3, Ustaz Yahya Waloni Sakit