jpnn.com - Saat ini, tidak banyak lagi anggota polisi yang sanggup hidup dalam kesederhanaan. Apa lagi dalam usia yang masih sangat muda. Tapi bagi Muhammad Taufik Hidayat, anggota Sabhara Polda DIJ berpangkat brigadir polisi dua (Bripda), hal itu dijalaninya dengan ikhlas. Berikut kisahnya kehidupannya.
ALI MUFID, Sleman
BACA JUGA: Di Kampung Ini Bocah-bocah SD Kredit Motor, Remaja Kredit Mobil
TAK ada raut wajah muram, sedih, atau loyo dari sosok Bripda Muhammad Taufik Hidayat. Anggota korps Bhayangkara muda lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) Selopamioro tahun 2014 itu, tampak riang saat menerima kehadiran Radar Jogja, Jumat (16/1).
Di belakang tempat pertemuan kami terdapat bangunan permanen kecil terbuat dari batako yang sudah tidak tampak utuh. Di dalam bangunan itu tidak ada sekat. Begitu masuk pintu, langsung terlihat tempat tidur ala kadarnya, kasur, onggokan kumpulan baju, alat perabotan rumah yang berserakan, dan alat-alat elektronik yang bergelantungan (contohnya radio).
BACA JUGA: Perjuangan Muhammad Hartono Mengakhiri Siksaan Penyakit Akalasia
Tidak terlihat pula adanya lemari sebagai penyimpan pakaian. Bahkan ketika menengadah ke atas, terlihat baju-baju dinas Bripda Taufik bergantungan dengan hanger seadanya. Setelah keluar dari bangunan itu lewat pintu belakang, terlihat hamparan kebun yang tak terawat. Di situ ada sumur timba yang sudah berlumut, bukan sumur pompa atau sumur bor.
Itulah keadaan tempat tinggal Bripda Taufik yang dalam beberapa hari ini menghiasi halaman koran dan tayangan TV di Jogjakarta. Tempat yang ditinggalinya itu adalah bekas kandang sapi. Meski tinggal di rumah bekas kandang sapi, Bripda Taufik tetap memperlihatkan jati dirinya sebagai polisi yang tegas dan berani. Ia sama sekali tak menunjukkan sisi kelemahannya. Bripda Taufik tetap terlihat gagah mengenakan seragam polisi lengkap dengan baretnya.
BACA JUGA: Mengapa Kembali ke Bali, Bali dan Bali?
Namun, siapa sangka, di balik sikapnya yang gagah, tegas, dan berani itu, kehidupannya sangat ironis. Rumahnya di Jongke Tengah, Sendangadi, Mlati, Sleman, dulunya digunakan untuk kandang sapi. Di sekitar rumah atau lebih pentas disebut gubuk itu juga masih berdiri kokoh kandang sapi. Praktis, bau kotoran sapi menyengat masuk hingga ke rumah Taufik. “Beginilah istana kami,” katanya sambil tersenyum.
Meski tinggal di gubuk yang jauh dari kategori layak huni, dia tetap menganggap tempat tinggalnya layaknya istana. Baginya, yang terpenting tempat tinggalnya bisa untuk berlindung dari pengaruh alam seperti hujan dan terik matahari; bisa sebagai tempat istirahat atau tidur setelah beraktivitas; bisa sebagai wadah untuk aktivitas-aktivitas harian seperti masak, makan, atau lainnya.
“Karena kemampuan kami memang seperti ini, mau bagaimana lagi. Masih beruntung, kami ada rumah, sehingga bisa untuk berteduh, beristirahat, atau bercengkerama bapak dan adik-adik. Bayangkan kalau tidak ada rumah sama sekali,” ujarnya polos.
Kondisi yang dialami Bripda Taufik memang membuat orang lain miris. Sebab, “kemiskinan” seorang anggota polisi masih terjadi di saat berkembangnya isu dugaan gratifikasi yang menyeret nama calon Kapolri terpilih, Komjen Pol Budi Gunawan dan beberapa petinggi Polri yang sebelumnya pernah terjerat kasus hukum. Hal yang tentunya kontras dengan kehidupan Bripda Taufik.
Namun, tidak ada yang salah dalam kehidupan sehari-hari Bripda Taufik. Toh dia menjadi polisi juga baru berjalan setahun. Dan itu bisa membuka mata dan telinga kita sebagai warga negara Indonesia, masih banyak warga masyarakat yang hidup jauh dari layak.
Seperti yang dialami Bripda Taufik ini, berarti dia hidup “susah” sejak dirinya sebelum menjadi anggota kepolisian. Bripda Taufik bisa sebagai contoh dari sekian ribu anggota Polri yang hidup sederhana. Masa dinasnya masih bisa dibilang seumur jagung, sehingga wajar jika ia belum bisa memberikan yang terbaik untuk ayah dan tiga adiknya, teman sehari-hari di rumahnya.
“Siapa yang tak mau hidup serba kecukupan? Kami pun ingin itu. Tapi juga mau bilang apa, kami harus bisa menjalani kehidupan ini,” tuturnya.
Kini Bripda Taufik sudah menjadi anggota Polri. Ia pun menggantungkan cita-citanya yang tinggi. Ia optimistis bahwa kelak bersama keluarganya akan hidup lebih baik dari sekarang.
“Kami tetap optimitis, karena kalau sebelumnya pendapatan kami tidak tetap, kini saya sudah punya gaji. Sehingga bisa diatur keuangannya,” ungkapnya.
Dia juga berjanji, sebagai seorang polisi akan menjalankan tugas sebaik-baiknya. “Tidak ada aji mumpung bagi keluarga kami. Saya tetap akan menjadi anggota polisi yang profesional, siap menjalankan tugas sebagaimana mestinya,” katanya.
Bripda Taufik memang merupakan pribadi yang memiliki kemauan tinggi. Sejak orang tuanya bercerai dua tahun lalu, ia memilih tinggal bersama bapak dan ketiga adiknya. Rumah yang dulunya ditempati satu keluarga yang utuh, dijual ibunya untuk membeli rumah baru.
Namun, rencana itu meleset. Uang tak mencukupi untuk membeli rumah baru. Alhasil, mereka hanya menempati bangunan hasil sumbangan dari kelompok ternak setempat. Sementara ibu kandungnya, sekarang tinggal bersama suami barunya.
Kehidupan yang pahit pelan-pelan akan ditinggalkan Bripda Taufik. Kini dia resmi menjadi anggota Polri. Bripda Taufik sejak awal masuk di satuan Sabhara Polda DIY. Setiap hari kerja, ia berangkat dari rumah hanya dengan berjalan kaki. Jarak yang cukup jauh, dari Jongke Tengah, Sendangadi, Mlati, ke Mapolda DIY kantor tempat tugasnya yang berada di Condongcatur, membuat Bripda Taufik selalu terlambat sampai di Mapolda DIJ. “Hampir setiap hari, saya kena hukuman,” ungkapnya.
Ia pun tak bisa berbuat banyak, selain harus menerima hukuman tersebut. Sebab aturan mengharuskan Bripda Taufik ikut apel pagi pukul 06.30. Hanya saja, ia baru bisa sampai di kantornya pukul 08.00.
Ia mengaku sudah mengantisipasi berangkat dinas dari rumah sesaat setelah waktu subuh. Bahkan, ia sering lari agar tidak terlambat sampai di kantor. Kondisi itu ia jalani setiap hari dan selalu berusaha untuk lebih baik.
Tapi apa daya, tangan tak sampai. Ia tidak punya bekal lain untuk mempercepat sampai di kantornya. Dia tidak cukup uang untuk naik angkutan umum atau ojek. Dia juga tidak punya motor untuk dinaiki ke kantor. “Memang ada mobil colt pikap milik bapak, tapi itu kan untuk kerja serabutan bapak. Belum lagi harus beli bensin,” ujarnya.
Ia sudah beberapa kali menceritakan kondisi yang sebenarnya pada teman-teman dinasnya, termasuk pada atasannya tentang biang keladi keterlambatannya itu. Namun, ceritanya itu dikira hanya bualan belaka. “Saya mengatakan yang sebenarnya. Jalan kaki dari rumah. Awalnya, mereka tidak langsung percaya,” tuturnya.
Setelah sekian lama, akhirnya alasan Bripda Taufik itu didengar oleh petinggi di Polda DIY. Pihak polda mengutus personel untuk mengecek ke rumahnya. Para seniornya terheran-heran dengan kondisi sebenar-nya yang dialami Bripda Taufik.
Sebelum menjadi anggota polisi, Taufik merupakan lulusan SMKN 1 Seyegan. Setelah lulus, ia mengisi waktu sebagai tenaga relawan perpustakaan di bekas sekolahnya dengan honorarium seadanya. Pada 2014 lalu, ia menguatkan tekadnya untuk mendaftar sebagai polisi.
Saat melamar sebagai seorang anggota polisi, tidak ada modal lebih selain ijazah SMK dan pengalamannya menjadi anggota Pramuka di masa sekolah. Ia juga tidak memberi tahu orang lain termasuk terhadap bapak dan adik-adiknya ketika mendaftar masuk polisi. ”Saya mendaftar polisi diam-diam, karena takut gagal juga, malu kalau ketahuan gagal nanti malah disalah-salahkan,” ungkapnya.
Akhirnya, Taufik diterima sebagai anggota kepolisian. “Sejak awal, bapak tidak tahu kalau saya mendaftar polisi. Baru saat sidang kelulusan, saya cerita dan mengajak bapak,” katanya.
Saat itulah rasa bahagia dan haru bercampur aduk. Taufik dipeluk erat bapaknya. Mereka tak bisa menahan rasa bahagia, menangis bareng, tangis kebahagiaan. Lebih bahagia lagi saat menerima gaji pertamanya. “Gaji pertama itu juga saya kasihkan ke bapak,” ujar Taufik.(*/jko/ong)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lima Sekawan Berbagi Kisah jadi Pemburu PSK di Jalanan
Redaktur : Tim Redaksi