Perjuangan Muhammad Hartono Mengakhiri Siksaan Penyakit Akalasia

Tak Ingin Kekurangan Gizi, Makan Malam Empat Kali

Jumat, 16 Januari 2015 – 13:31 WIB
SUDAH SEHAT: Dokter Iwan Kristian (kiri) bersama Muhammad Hartono di RS Husada Utama Surabaya. Foto: Brianika Irawati/Jawa Pos

jpnn.com - Pasien akalasia, kelainan dalam organ pencernaan, kini bisa bernapas lega. Teknologi kedokteran mutakhir mampu mengatasi penyakit langka itu dengan operasi endoskopi-laparoskopi. Misalnya, yang dialami Muhammad Hartono, pasien akalasia asal Banyuwangi, yang kini tidak lagi tersiksa saat makan.

= = = = = = = = =

BACA JUGA: Mengapa Kembali ke Bali, Bali dan Bali?

"SEKARANG saya dapat makan dengan enak,’’ ungkap Muhammad Hartono dengan wajah semringah saat dibesuk Jawa Pos akhir Desember lalu.

Laki-laki 33 tahun tersebut terlihat ceria karena sudah tidak merasakan penderitaan saat menelan makanan. Dia benar-benar terbebas dari rasa sakit yang tidak terkira yang dialaminya selama tujuh bulan menderita akalasia.

BACA JUGA: Lima Sekawan Berbagi Kisah jadi Pemburu PSK di Jalanan

’’Dulu, saat makan, tenggorokan saya terasa sangat sakit. Saya hampir tidak bisa makan dengan wajar,’’ ujarnya.

Akalasia adalah suatu gangguan neuromuscular. Yakni, ketidakmampuan lower esophageal sphincter (cincin otot antara esofagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat ke dalam lambung. Penderita selalu mengalami kesulitan dan kesakitan saat makan. Bahkan, makanan sering muntah kembali.

BACA JUGA: Inovasi Teknologi Mahasiswa UGM Menang di Amerika

Pasien penyakit ini tergolong langka. Peluang seseorang menderita akalasia adalah satu dibanding 100 ribu orang. Penyebabnya belum diketahui secara pasti.

Hartono mulai merasakan siksaan itu ketika makan semangkuk coto makassar kegemarannya. Padahal, kondisi badannya kala itu baik-baik saja. Rasa sakit di tenggorokan tersebut datang tiba-tiba.

’’Waktu itu, saya dalam kondisi sehat walafiat. Tapi, saat makan, tiba-tiba tenggorokan saya terasa sangat sakit,’’ cerita dia.

Meski begitu, Hartono belum mencurigai adanya ketidakberesan dalam tubuhnya. Dia masih menganggap sakit di tenggorokannya itu bukan penyakit yang mengkhawatirkan.

Persoalan baru muncul ketika rasa sakit tersebut selalu terasa saat makan. Dari hari ke hari pun semakin parah. Baik saat dia makan makanan halus maupun kasar. Hartono pun harus banyak-banyak minum air mineral untuk mendorong makanan agar bisa masuk ke dalam perut.

’’Satu kali makan, saya harus minum sekitar 1,5 liter air mineral. Itu rasanya sakit dan menyiksa,’’ ungkap laki-laki kelahiran 10 Agustus 1981 tersebut.

Atas kelainannya itu, Hartono mulai memeriksakan kondisi tubuhnya yang dirasa ’’aneh’’ ke dokter spesialis THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) di salah satu rumah sakit di Banyuwangi. Begitu diperiksa, Hartono diminta menjalani operasi amandel.

Tanpa berpikir panjang, dia menuruti anjuran dokter. Namun, harapan tidak sesuai dengan keinginan. Pascaoperasi, rasa sakit di tenggorokannya ternyata belum hilang. Bahkan lebih parah. Sampai-sampai, Hartono menangis setiap menyantap makanan.

’’Badan saya sih sehat. Tapi, saat menelan makanan, rasanya sakit luar biasa. Sakitnya seperti kena pukulan,’’ ujarnya.

Rasa sakit tersebut sempat membuat rasa percaya diri Hartono hilang. Dia merasa stres. Pasalnya, setiap kali makan, air matanya berleleran di pipi. Hal tersebut membuat dirinya minder saat makan bersama teman-temannya. Sejak itu, dia merasa malu untuk makan di luar dan lebih memilih makan di rumah.

Tidak hanya saat makan, Hartono merasa penyakit tersebut mengganggu tidurnya. Dia tidak bisa tidur nyenyak. Dia baru bisa tidur bila menggunakan bantal yang tinggi untuk sandaran kepala.

’’Kalau bantalnya datar, saya pasti langsung muntah. Siksaan yang luar biasa,’’ tutur wiraswastawan itu.

Lantaran kondisi tersebut, berat badan Hartono langsung drop. Dalam beberapa bulan, penurunannya bisa sampai 4–5 kg. Badannya jadi kurus kering.

Tidak ingin kondisinya makin buruk, Hartono pun berupaya mengatasi dengan mengonsumsi makanan dengan porsi lebih banyak dari biasanya.

’’Saya bisa makan empat kali sebelum tidur malam. Tapi, itu belum membantu. Sebab, makanan tidak bisa masuk,’’ kenang suami Rida Sulistyaningsih tersebut.

Meski demikian, dia terus berusaha mengetahui jenis penyakit yang dialami. Dunia maya menjadi incaran untuk menggali informasi itu. Hartono menelusuri satu per satu informasi yang bisa menjelaskan gejala-gejala penyakit yang dialaminya. Sampai suatu saat, penjelajahannya tertuju pada satu nama penyakit: akalasia.

Untuk memastikan dugaannya, Hartono memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit di Jember. Benar saja, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dia dipastikan menderita akalasia stadium sedang. Dia lalu mendapat rujukan untuk berobat ke dr Iwan Kristian SpB-KBD di RS Husada Utama Surabaya.

Setelah bertemu dan berkonsultasi dengan dr Iwan, secercah harapan Hartono mulai terbit. Dia yakin akalasia yang dialaminya bisa disembuhkan dengan jalan operasi. Metode operasi yang diterapkan Iwan untuk menangani akalasia adalah endoskopi-laparoskopi.

Hartono menjalani rawat inap di rumah sakit mulai 12 Desember, lalu menjalani operasi tiga hari kemudian. ’’Sebelum operasi, pasti takut. Apalagi saya dengar akalasia adalah penyakit langka. Tapi, saya terus berdoa agar diberi kelancaran dan kesembuhan,’’ ungkap bapak seorang anak itu.

Kini Hartono bisa tersenyum lega. Rasa sakit saat menelan makanan tidak ada lagi. Kendati begitu, dia masih harus rajin menjalani terapi pascaoperasi dan mengikuti saran dokter.

Menurut Iwan, berkat perkembangan teknologi di bidang kedokteran, endoskopi-laparoskopi terhadap pasien akalasia tidak memerlukan waktu berjam-jam lagi. Selain tidak perlu melalui pembedahan, pemulihan pascaoperasi lebih cepat jika dibandingkan dengan metode sebelumnya, pembedahan terbuka (open surgery).

’’Penyebab akalasia belum diketahui secara pasti. Hanya, pada penderita akalasia, otot sfingter yang biasanya membuka saat makanan masuk tiba-tiba tertutup,’’ terang lulusan spesialis bedah FK Unair Surabaya itu.

Penyakit tersebut menjadi momok bagi penderitanya karena langka. ’’Sejak 2004 sampai sekarang, saya baru menangani delapan kasus akalasia,’’ imbuh dokter 51 tahun tersebut.

Iwan menambahkan, setelah operasi, ada tahap pembiasaan makan bagi pasien. Meski saluran pencernaan makanan sudah diperbaiki, pasien dilarang langsung makan makanan yang kasar seperti nasi. Setelah operasi dinyatakan sukses, pasien baru boleh makan makanan yang halus seperti bubur sari atau bubur halus.

Kalau tidak ada kendala dengan bubur sari, pasien boleh makan bubur nasi. Selanjutnya, tahap terakhir adalah makan nasi. ’’Tahap itu harus dimonitor terus. Harus dipastikan pasien tidak mengalami kesulitan saat makan makanan tahap demi tahap,’’ tegas alumnus FK UGM Jogjakarta tersebut.

Hal itu ditujukan untuk memperkecil peluang risiko buruk pascaoperasi. Misalnya, otot sfingter dapat menutup kembali. Iwan pernah menemui kasus pasien yang tidak menaati tahap demi tahap proses pemulihan itu. Seorang pasien yang baru pulang operasi di Malaysia mengalami kebocoran pada saluran makannya.

Akibatnya, makanan pasien tersebut masuk tidak pada tempatnya. Makanan menyebar di rongga perut dan rongga dada. Maka, ketika si pasien memeriksakan diri ke Iwan, tindakan pertama yang dilakukan adalah menutup kebocoran itu.

’’Hal tersebut tidak termasuk kasus malapraktik. Tapi, sebuah risiko buruk yang bisa saja terjadi pascaoperasi,’’ kata dokter yang pernah mendalami ilmu di National University Hospital, Singapura, tersebut.

Sebenarnya, akalasia bersifat stagnan. Hanya, imbuh Iwan, ada beberapa penyebab yang bisa memicu akalasia bertambah parah. Misalnya, stres dan panik. Bila sudah demikian, rasa sakit yang dialami pasien bakal berlipat ganda.

’’Kelainan ini tidak bahaya, tapi menyiksa. Asupan gizi juga tidak bisa masuk ke tubuh penderita. Kalau terlalu lama, dapat berimbas pada kondisi buruk tubuh lainnya,’’ tandasnya. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bebas Visa dan Temu Kangen Keluarga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler