Gagal Paham Etika Politik, Kader Kutu Loncat Dinilai Hanya Mengejar Kekuasaan

Sabtu, 13 Mei 2023 – 03:41 WIB
Logo 17 partai politik peserta Pemilu 2024. Foto: ANTARA/HO- ilustrasi KPU.

jpnn.com, JAKARTA - Pendiri Strategy Consulting, Ali Nurdin menilai fenomena kader partai politik yang tiba-tiba pindah menjelang pemilihan umum karena akan mencalonkan diri melalui partai politik lain, menandakan lemahnya penegakan etika politik di Indonesia.

Menururtnya, setiap kader parpol yang akan pindah seharusnya menuntaskan dulu semua urusan di partai lamanya sampai mendapatkan keputusan resmi, baru kemudian melamar ke partai politik lain.

BACA JUGA: SUN Energy Terapkan Pemanfaatan EBT di Sektor Pariwisata

"Pengunduran diri dari parpol lama tidak cukup hanya dengan surat pengunduran diri secara sepihak atau pribadi, namun surat tersebut setidaknya harus mendapatkan persetujuan resmi dari pimpinan parpol yang bersangkutan," ujar Ali.

Jika kader tersebut duduk dalam jabatan politik semisal DPR, DPRD atau Kepala Daerah, maka pengunduran dirinya baru tuntas setelah ada surat keputusan dari institusi yang berwenang.

BACA JUGA: Elektabilitas Tinggi, Erick Thohir Jadi Incaran Parpol

Sesuai aturan yang berlaku, sambung Ali, pengangkatan dan pemberhentian anggota DPR dan Kepala Daerah berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota melalui SK Mendagri dan SK Gubernur.

Begitu pun partai politik yang akan menerima mantan anggota partai lain, seharusnya mempersyaratkan keputusan pemberhentian resmi dari partai politik yang lama. Bahkan sebaiknya ada masa jeda, misalnya selama satu tahun, di mana mantan anggota partai politik yang satu tidak bisa serta merta pindah ke parpol lain seketika itu juga.

BACA JUGA: Sandiaga Uno Temui Jalan Terjal Menuju Pilpres 2024

“Kalau dalam pernikahan secara Islam, istilahnya ada masa idah, di mana seorang janda tidak bisa serta merta menikah lagi sebelum melewati masa idah 100 hari,” katanya.

Tujuan masa jeda ini untuk memastikan bahwa seorang kader atau pengurus parpol yang berniat pindah sudah menuntaskan semua urusannya di partai yang lama, baru kemudian dia memutuskan untuk berpindah partai lain.

Ali menilai sangat tidak etis seorang kader parpol yang duduk di jabatan publik dan menyatakan pindah ke partai lain, sementara selama proses kepindahan tersebut dia masih menerima fasilitas publik, semisal gaji dan tunjangan.

Fenomena pindah partai belakangan menjadi sorotan setelah Sandiaga Uno mengundurkan diri dari Partai Gerindra dan diduga akan bergabung dengan PPP.

Di Jawa Barat sejumlah kader Partai Demokrat dikabarkan pindah ke Partai Nasdem.

Di Banten ada anggota DPRD kabupaten yang tiba-tiba mengundurkan diri karena akan memcalonkan diri melaui Partai Nasdem.

"Fenomena loncat partai ini menandakan lemahnya identitas kepartaian di kalangan para politisi. Parpol hanya dianggap sebatas kendaraan untuk mengantarkan mereka ke jabatan politik. Kader kutu loncat itu orientasinya jelas hanya mengejar kekuasaan. Mereka tidak punya ikatan emosional apalagi ikatan ideologis dengan partainya,” seru Ali.(chi/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler