jpnn.com - Oleh: Rizal Calvary Marimbo
Jubir PSI Bidang Ekonomi dan Bisnis
BACA JUGA: Utang Itu Biasa, Pak Jokowi Tak Perlu Diajari Berenang
Ada yang menarik dari perbincangan dan makan siang Presiden, kami dengan teman-teman pengusaha muda yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) belum lama ini. Kira-kira begini gambarannya: mereka yang bukan pengusaha, mungkin susah memahami pentingnya sebuah utang. Bagi pengusaha, utang adalah hal biasa. Sampai ada anekdok dikalangan pengusaha, bila belum berhutang, pasti Anda bukan pengusaha.
Apa yang membedakan pengusaha dengan manusia rata-rata lainnya, adalah berhutang. Kalau Anda mau jadi manusia dengan harta normal-normal saja dengan penghasilan tetap (fixed income), tetaplah menjadi karyawan atau pegawai biasa saja. Tapi kalau Anda ingin ada terobosan, mengalami quantum leap dari sisi aset dan kekayaan dan kesejahteraan, jadilah pengusaha. Kalau sudah jadi pengusaha, mustahil dan mustahal Anda tidak berhutang.
BACA JUGA: Minta Kemlu Tegur PSI, Wasekjen Gerindra Dinilai Konyol
Tolong carikan pengusaha sukses di muka planet bumi ini yang tidak berhutang diawalnya. Dan carikan juga negara besar dan kaya raya serta sejahtera yang tidak punya utang diawalnya. Seorang pengusaha meubel sukses sekelas Presiden Jokowi, pasti tahu apa itu berhutang, untuk apa utang itu, dan bagaimana kemampuan membayarnya. Istilah kata, jangan ajari ikan berenanglah. Percuma. Mosok Anda lebih percaya penyanyi bicara soal utang daripada Menteri Keuangan sekelas Sri Mulyani?
Dari hiruk-pikuk soal utang tampak sekali, banyak pihak gagal paham soal utang. Entah rasionalitasnya sudah dibungkus oleh motif politik dan kebencian teramat sangat. Nyinyiran soal utang pun tak ada topangan argumentasinya. Dalam dunia jurnalistik ibarat judul (bombastis) tanpa tubuh berita. Ada beberapa gagal paham soal utang ini.
Pertama, melihat utang dari nominalnya saja. Akumulasi utang terakhir yang dinilainya sangat besar itu, lalu dibandingkan dengan utang-utang masa lalu yang sangat kecil nonimalnya. Yang paling parah adalah membandingkan nominal utang saat ini dengan nominal zaman Pak Harto. Zaman Pak Harto utang hanya Rp 551,4 triliun. Tapi Produk Domestik Bruto (PDB) juga masih sangat kecil. Sebab itu, walau dilihat dari kaca mata saat ini utang warisan Orde Baru sangat kecil, tapi utang sekecil itu sudah cukup merontokan perekonomian nasional pada 1998. Kenapa? Sebab selain faktor krisis ekonomi global, kekuatan ekonomi nasional saat itu belum mampu menopang utang yang Anda lihat sedikit itu dari kaca mata saat ini.
BACA JUGA: Omongan Tsamara Bikin Heboh, PSI Ajak Dubes Rusia Diskusi
Saat itu, walaupun utang tampak kecil nilainya, namun rasionya atas PDB sangat besar. Ditambah lagi profil utang dan pemberi utang kala itu sangat tidak sehat untuk negara kita. Rasio utang saat Pak Harto lengser sebesar 57,7 persen dari PDB, dilanjutkan zaman Pak Habibie menjadi 85,4 persen atas PDB. Bandingkan dengan saat ini yang hanya 27 persen.
Sekedar pembanding, rasio utang tertinggi atas PDB pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nilai utang pemerintah saat itu sebesar Rp 1.232,8 triliun dengan rasionya menjadi 88,7 persen terhadap PDB. Sudah sebesar 88,7 persen terhadap PDB, toh juga tidak seribut zaman Pak Jokowi yang hanya 27 persen atas PDB. Setelah masa itu, rasio utang pemerintah atas PDB mengalami tren penurunan. Sekali lagi saya tekankan tren. Kalau masih belum paham, apa itu tren, Anda sudah terlalu. Kata Bang Haji Roma.
Maka kalau kita lihat utang sejak era Orde Baru sampai kini, meskipun secara nominalnya/nilai utangnya naik, tetapi rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB semakin jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Batas aman rasio utang atas PDB sesuai Undang-Undang adalah sebesar 60% dari PDB. Tentu penetapan ini tidak datang begitu saja. Dia juga sudah mempertimbangan kemampuan fiskal pemerintah.
Kedua, melihat utang dan lupa melihat penggunaannya. Bagi pengusaha, berapa besar utang itu, bukan soal utama. Yang paling penting penggunaan utang itu untuk apa. Apa utang itu untuk membiayai proyek-proyek produktif atau tidak. Kalau prospektif, risiko kecil, kenapa tidak ngutang? Kalau cuan-nya bagus dan cepat balik modal, kenapa tidak ngutang?
Jadi, selain PDB, alokasi utang itu untuk apa, larinya kemana. Koalisi Anti Utang (KAU) mencatat utang luar negeri Indonesia sejak tahun 1998/1999 atau jaman Orde Baru sudah dikorupsi sebesar 30 persen. Bank Dunia sudah mengakui itu. Jaman sebelum Pak Jokowi, utang habis dijarah oleh oknum–oknum pejabat dan memperkaya kroni-kroninya. Toh juga lagi-lagi tidak diributin. Kenapa ketika Pak Jokowi mau membangun Papua dan pinggiran Indonesia lainnya, utangnya malah diributkan. Ada apa sih loe? Loe kaga suka lihat Aceh, Papua, NTT, Maluku, ama Kalimantan maju ya?
Di zaman Pak Jokowi utang benar-benar dipakai untuk membangun infrastruktur dan mempersatukan negeri ini. Rezim ini telah membangun jalan baru sepanjang 2.623 kilometer (km). Pada 2015, terdapat 1.286 km jalan yang baru dibangun. Setahun kemudian, pemerintah membangun 559 km jalan. Dan 2017 telah dibangun 778 km jalan baru. Sehingga total jalan baru yang telah dibangun sepanjang 2.623 km. Tahun 2018, pemerintah menargetkan sepanjang 1.071 km jalan baru dan 1.120 km pada 2019 akan dibangun. Dengan demikian, diharapkan total pembangunan jalan baru di era Jokowi-JK mencapai 4.814 km.
Guna mempercepat distribusi logistik dan menghidupan sentra-sentra ekonomi baru, pemerintahan Jokowi juga tidak lupa membangun jalan tol. Jalan tol bukan hanya fungsional bagi orang kaya atau orang punya mobil. Itu pandangan cetek. Jalan tol berfungsi menekan biaya logistik, meningkatkan persaingan diantara para pengusaha, sehingga harga yang jatuh ke tangan orang tidak mampu atau orang miskin menjadi menurun atau minimal tidak naik drastis. Truk yang lalu lalang di jalan tol tidak hanya mengangkut kebutuhan orang kaya-kaya. Truknya itu mungkin punya orang kaya tapi isinya itu sebagian besar untuk sandang-pangan orang-orang yang hidupnya susah banget dipelosok sana.
Duit dari utang Pak Jokowi masuk ke APBN, terus masuk ke penyertaan modal BUMN. Debt to equity ratio (DER) BUMN menurun. Dari situ BUMN bisa punya ruang lagi nyari modal untuk bangun jalan tol. Selama tiga tahun berjalan, telah terbangun jalan tol yang mencapai 568 km yang terbagi atas sepanjang 132 km pada 2015, 44 km pada 2016, dan sisanya akan dibangun 392 km pada tahun ini. Jokowi bahkan menargetkan pembangunan jalan tol hingga 2019 mendatang mencapai 1.851 km.
Dari ngutang juga, Jokowi merampungkan pembangunan sembilan bendungan. Sementara 30 bendungan lainnya masih dalam tahap pembangunan sampai tahun ini. Targetnya, Jokowi akan bangun 100 bendungan sampai 2019, yang terdiri atas 70 bendungan baru dan 30 bendungan lanjutan. Bangun jalan, tentu juga ada jembatan yang dibangun untuk menghubungkan satu ruas jalan ke ruas jalan yang lain. Tahu enggak? Pemerintah sudah membangun sepanjang 25.149 meter jembatan, hampir menyamai panjangnya Jembatan Selat Sunda (yang batal dibangun itu). Sampei, 2019, pemerintah menargetkan pembangunan jembatan sepanjang 29.859 meter.
Untuk menjawab masalah transportasi di kota-kota besar, pemerintahan Jokowi-JK juga membangun transportasi massal jenis baru, yakni Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Palembang, Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Sedang digarap juga Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Kereta Semi Cepat Jakarta-Surabaya, Kereta Bandara Soekarno-Hatta serta kereta antar terminal Bandara Soekarno-Hatta atau SkyTrain.
Di daerah tertinggal, terutama di daerah-daerah Timur Indonesia, Jokowi menargetkan membangun 4.814 km jalan baru. Sekitar 2.000 km di antaranya telah, sedang dan akan dibangun bukan di Jawa atau Sumatera tetapi di titik-titik terluar dan pelosok negeri. Seperti di Kalimantan, Papua, sampai perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Timor. Kalau digabung dengan proyek infrastruktur lainnya, pemerintahan ini punya 24 proyek infrastruktur di Kalimantan, di Sulawesi ada 27 proyek, kemudian di Maluku dan Papua ada sekitar 13 proyek. Proyek-proyek itu baik berupa bendungan, pelabuhan, bandara, hingga pembangkit listrik.
Pembangunan infrastruktur Indonesia periode 2014-2019 butuh Rp 5.000 triliun. Kebutuhan dana tersebut tidak hanya cukup dipenuhi dari APBN. Sebab itu perlu finance engineering yang lebih sophisticated. Maka dibuatlah PINA: Pembiayaan Infrastruktur Non APBN. Kecuali kita hanya ingin negara ini berjalan ditempat seperti negara-negara miskin di Afrika sana, ya tak usahlah membangun.
Ketiga, bisa membangun tanpa ngutang. Siapa sih yang senang ngutang? Kalau bisa membangun tanpa ngutang sih bisa saja. Tapi mau ambil darimana duitnya. Negara kalau cuman ngandalin pajak, matilah. Pajak terlalu ditekan juga sudah bikin daya beli melemah kok. Dulu, penguasa happy sekali. Sebab pemasukan dari sektor energi dan komoditas sudah cukup kuat memberi pemasukan kepada negara. Tapi era minyak dan gas sudah selesai. Investasi di hulu migas mengalami penurunan dari USD 22 miliar pada 2014 menjadi USD 18 miliar di 2015. Dan semakin menukik sebab perut bumi kita makin kering. Pemasukan dari energi untuk APBN pun semakin kecil sekali.
Suka tidak suka, kita harus ngutang untuk menambal anggaran. Kecuali kita tidak ingin membangun. Indonesia sebenarnya bisa saja tidak usah menambah utang atau malah melunasi utangnya sampai nol rupiah dengan APBN yang mencapai Rp 2000 triliunan. Dalam beberapa tahun bisa lunas kok. Namun dengan catatan, pembangunan tidak ada. Tidak usah bermimpi Indonesia jadi negara maju. Papua tetap ketinggalan. Jalan trans Kalimantan tidak usah dibuat. Aceh dibiarkan terlantar. Perbatasan NTT dan Entikong dibiarkan kumuh dan penuh penyamun. Biaya logistik melonjak. Inflasi selangit. Kalau daerah-daerah ini “mengamuk” dan minta merdeka sebab tidak diperhatikan pusat, apa loe mau tanggung?
Sebenarnya, Presiden Jokowi baru ngutang tidak sebanyak yang dibayangin namun sudah dicercah sana-sini. Itupun peruntukkannya sudah jelas sebagaimana dipaparkan diatas. Saat dilantik pada Oktober 2014, Jokowi sudah membawa pulang ke Istananya utang luar negeri sebesar Rp 2.700 triliun, warisan dari rezim-rezim sebelumnya. Jokowi belum ngapa-ngapain saja sudah musti menanggung utang warisan, itu belum termasuk bunga utang sebesar Rp 250 triliun per tahun.
Bila digabung utang dan bunganya selama lima tahun, artinya Jokowi sudah mewarisi beban utang sebesar Rp 3.950 atau hampir Rp 4.000 triliun. Sebelum dicercah, Jokowi sudah tidur diatas utang warisan dan potensi utang Rp 3.950. Sudah berjalan hampir empat tahun, Jokowi baru nguntang sebesar Rp 600 triliun. Itu pun hasilnya sudah jelas untuk membangun infrastruktur, demi menjalankan amanah sila ke lima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tapi segitu saja sudah dicercah sedemikian sadis. Untung, beliau tak cengeng dan suka curhat. Sekali-sekali bisa “mengamuk” memang tapi tetap terukur. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tsamara PSI Berulah, Jokowi Disarankan Minta Maaf ke Putin
Redaktur & Reporter : Adil