Ganjar, Puan, dan Kebodohan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 20 Oktober 2021 – 17:58 WIB
Rocky Gerung. Foto: dokumen JPNN.com/Aristo Setiawan

jpnn.com - Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, boleh saja menjadi pemuncak dalam survei terbaru bakal calon presiden 2024.

Namun, di mata sebagian pemilih milenial, Ganjar Pranowo dianggap bodoh karena tidak pernah berbicara mengenai narasi-narasi mutakhir seperti gender equality, society 5.0, atau human rights.

BACA JUGA: Airlangga-Ganjar Pasangan Bernilai Tinggi, Meski Tanpa PDIP

Setidaknya itulah klaim yang disampaikan oleh komentator politik Rocky Gerung.

Bukan hanya Ganjar yang disebut bodoh, Ketua DPR RI Puan Maharani juga disebut bodoh oleh Gerung.

BACA JUGA: Puan Menebar Baliho untuk Menjegal Ganjar? Dedi Kurnia Merespons, Simak

Dua tokoh itu sedang terlibat perang dingin karena dianggap saling bersaing memperebutkan tiket 2024 dari PDIP.

Persaingan itu kemudian memunculkan istilah perseteruan celeng vs banteng.

BACA JUGA: Menurut Ngabalin, Perkara Rocky Gerung Vs Sentul City Tak Sulit, Asalkan

Celeng untuk menyebut kader-kader PDIP yang membelot mendukung Ganjar.

Persaingan banteng vs celeng menjadi berita ramai di berbagai media. Kemunculan banteng dan celeng ini oleh beberapa pengamat politik dianggap sebagai trik marketing politik untuk mengerek elektabilitas dan popularitas Ganjar maupun Puan.

Bagi Rocky Gerung, munculnya fenomena persaingan banteng vs celeng justru dianggap sebagai kekonyolan politik. Ia bercerita mengenai perbincangannya dengan sejumlah anak-anak milenial yang mengatakan keheranannya dengan munculnya fenomena banteng vs celeng.

Anak-anak milenial itu, klaim Rocky, heran kepada ‘’om yang berambut putih kayak bintang film’’ dan Mbak Puan yang tidak pernah terdengar berbicara mengenai isu-isu terbaru yang tengah menjadi isu global, seperti new kind of economy, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan isu-isu kontemporer yang disebut Rocky sebagai ‘’new grammar of world’s politics’’.

Karena itu, kata Rocky, menaikkan elektabilitas dengan isu-isu seperti banteng vs celeng adalah kekonyolan, karena pada saat bersamaan para pemilih potensial malah menganggap Ganjar dan Puan bodoh.

Berbagai peraturan politik yang diputuskan menjelang pilpres 2024 mendatang--seperti presidential threshold--kata Rocky, menunjukkan bahwa sekarang kekuatan oligarki tengah melakukan ternak politik.

Hanya politisi yang punya tiket parpol saja yang bisa maju menjadi capres. Calon lain yang sebenarnya lebih berkualitas, tidak bisa ikut kompetisi karena tidak punya tiket dan bukan hasil ternak politik oleh kekuatan oligarki.

Lidah tajam Rocky sudah sangat dikenal. Ia tidak pernah segan menggunakan istilah dungu untuk menyebut orang-orang yang dianggapnya tidak bisa berpikir rasional, konseptual, dan proporsional.

Sebutan dungu sudah menjadi trade mark Rocky dalam debat-debat yang dilakukannya di berbagai forum.

Sebutan dungu diarahkan kepada mereka yang tidak mampu berpikir menggunakan logika, dan malah sering melakukan kesalahan-kesalahan ‘’logical fallacies’’ alias salah pikir. Orang yang tidak bisa menggunakan akal sehat, oleh Rocky disebut sebagai dungu.

Tidak jarang sebutan dungu Rocky ini menyerempet ke Jokowi. Namun, Rocky berkilah bahwa dia tidak mendungukan Jokowi, tetapi mendungukan kebijakannya.

Politisi Gerindra Fadli Zon tidak memakai istilah dungu atau bodoh untuk menyebut Jokowi. Ia memakai istilah ‘’plonga-plongo’’ sebagai gantinya. Sebutan itu tidak setelak dungu dan bodoh, tetapi konotasinya tetap sama saja dengan dungu dan bodoh.

Fadli Zon juga menyebut Jokowi sebagai ‘’Prabu Kantong Bolong’’ karena dianggap tidak punya stature dan kredensial yang cukup untuk menjadi ratu di sebuah negeri. Dalam tradisi perwayangan ada episode ‘’Petruk Dadi Ratu’’.

Lakon ini menggambarkan Petruk--seorang punakawan yang biasanya menjadi pelayan para ksatria--tiba-tiba ketiban pulung menjadi ratu dengan gelar Prabu Kantong Bolong. Karena tidak punya kompetensi yang cukup sebagai pemimpin, Prabu Kantong Bolong banyak melakukan tindakan dan keputusan bodoh dan konyol.

Baik Rocky maupun Fadli sama-sama membayangkan punya seorang ratu yang ‘’gung binantoro’’ penuh wibawa dengan ‘’prejengan’’ yang pantas sebagai ratu.

Seorang ratu harus punya wawasan tinggi dan bisa berbicara mengenai narasi-narasi politik yang canggih. Tokoh-tokoh semacam itu yang sekarang belum kelihatan di antara nama-nama yang sering muncul di survei capres 2024.

Tidak semua presiden cerdas dan pintar. Logika seorang ilmuwan seperti Rocky dan Fadli, tidak selalu menyambung dengan logika politik. Para politisi bodoh banyak yang menjadi pemimpin, karena kebetulan, karena kecelakaan sejarah, atau karena punya uang.

Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi--yang sudah punya sejarah demokrasi panjang selama 250 tahun--tidak selalu mendapatkan presiden yang cerdas dan pintar.

Amerika punya politisi berpikiran cemerlang seperti George Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, James Madison, dan beberapa lainnya. Mereka adalah bapak bangsa yang merumuskan undang-undang dasar negara dengan dasar-dasar pemikiran intelektual dan filosofis yang kokoh.

Namun, Amerika Serikat juga mengalami kecelakaan sejarah dengan memilih presiden yang tidak pintar. George Bush junior masuk dalam kategori itu. Dia sendiri mengakui bahwa dia bukan bagian dari episteme intelektual.

George Bush junior pun sering menjadi sasaran kritik karena dianggap bodoh.

Namun, buktinya George Bush bisa memenangi kursi kepresidenan dua kali dan menjadi presiden dua periode. Capaian ini melebihi prestasi bapaknya, George H. Bush yang hanya menjadi presiden satu periode.

Keluarga Bush tidak dikaruniai otak intelektualitas yang cemerlang. Namun, keluarga ini punya nasib baik karena ditakdirkan menjadi juragan minyak yang tajir melintir di kampung halamannya di Texas. Dengan kekayaan yang berlimpah ruah, disertai nasib baik dan garis tangan yang mujur, keuarga Bush bisa menjadi elite politik tertinggi di Amerika Serikat.

Amerika juga punya presiden sejenis Donald Trump. Apa yang bisa digambarkan mengenai presiden ini? Pintar, tidak. Cerdas, tidak. Suka main perempuan, iya. Pintar cari uang dan cerdik memainkan popularitas, iya. Dengan bekal seperti itu, seorang Donald Trum bisa menjadi presiden Amerika Serikat dan bisa menjadi manusia paling powerful di dunia.

Itulah Amerika. Itulah ‘’American dream’’, mimpi Amerika. Siapa saja bisa menjadi apa saja yang diinginkan dan diimpikannya. Money talks, uang bicara, tapi juga ‘’politics talk’’, politik yang berbicara.

Sebutlah itu sebagai berkah demokrasi, atau sebutlah itu sebagai bencana demokrasi. Sebutlah itu sebagai keindahan demokrasi atau kebrutalan demokrasi. Demokrasi punya logika sendiri yang tidak selalu menyambung dengan akal sehat. Orang terbaik tidak selalu menang. Primus inter pares, yang terbaik di antara yang ada tidak selalu menang. Yang paling beruntung di antara yang ada, dialah yang menang.

Kalau kepintaran menjadi ukuran, seharusnya orang Amerika memilih Al Gore, bukan George Bush junior, dalam pilpres 2000. Gore seorang politisi intelektual, ahli isu-isu lingkungan yang sudah menulis banyak buku. Wajahnya jauh lebih charming ketimbang Bush, tetapi ternyata orang Amerika sudah ditakdirkan untuk punya presiden seperti Bush.

Para bapak bangsa Indonesia, the founding fathers, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, HOS Tjokroaminoto, dan lain-lain, adalah tokoh politik cum intelektual kelas wahid. Referensi mereka terhadap khazanah pemikiran modern dan klasik sangat luas. Karena itu, pidato dan tulisan-tulisan mereka sangat berbobot dan mencerahkan.

Kita punya presiden cendekia seperti Gus Dur. Kita juga punya presiden genius seperti Habibie. Kita juga punya presiden jenderal-intelektual seperti SBY. Namun, kita juga pernah punya presiden seperti Pak Harto. Tidak ada seorang pun yang mau menyebut Pak Harto sebagai intelektual.

Sebuah joke politik Orde Baru menyebutnya sebagai ‘’Jabotabek’’, Jawa, bodoh, tetapi beken. Ternyata dia bisa berkuasa 32 tahun.

Kita juga harus ikhlas menerima presiden seperti Megawati Soekarnoputri, yang tidak bisa diukur kapasitas intelektualnya karena jarang bicara. Karena itu pula Fadli Zon harus menerima kenyataan sejarah punya pemimpin yang plonga-plongo.

Dan, kalau nanti pada 2024 ternyata terpilih seorang ‘’presiden bodoh’’, apa boleh buat? (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler