jpnn.com - Indonesia dan Malaysia disebut sebagai negeri serumpun karena sama-sama berasal dari ras Melayu.
Kita menyebut Malaysia sebagai negeri jiran, yang berarti tetangga.
BACA JUGA: Mahathir Sebut Kepri Seharusnya Masuk Wilayah Malaysia, KSP Merespons Begini
Karena bertetangga, kedua negara itu sering terlibat cekcok, mulai urusan yang remeh-temeh sampai ke urusan yang paling serius sampai mengakibatkan perang terbuka.
Persaingan dua negara itu terjadi mulai dari saling berebut wilayah geografis sampai saling klaim soal warisan budaya, seperti reog Ponorogo dan batik.
BACA JUGA: Mahathir Sebut Kepri Seharusnya Masuk Wilayah Malaysia, Ini Alasannya
Anak-anak muda generasi milenial yang tidak merasakan atmosfer persaingan politik atau budaya kedua negara bisa merasakannya dari ketegangan pertandingan sepak bola antara kedua negara.
Setiap kali kedua negara bertanding dalam berbagai event, aroma ‘’derby serumpun’’ selalu dipenuhi dengan ketegangan dan intensitas persaingan yang tinggi.
BACA JUGA: Mahathir: Indonesia di Bawah Kepemimpinan Jokowi Sedang Berjalan di Atas Landasan yang Sewajarnya
Timnas Indonesia boleh kalah dari negara lain, asal tidak kalah dari Malaysia.
Begitu narasi yang muncul di setiap pertandingan derby serumpun.
Dalam perhelatan SEA Games di Vietnam tahun ini Indonesia gagal lolos ke final karena diadang oleh Thailand.
Kendati begitu suporter timnas Indonesia tetap puas karena bisa mengalahkan Malaysia untuk merebut medali perunggu.
Pepatah Melayu mengatakan, jauh bau bunga dekat bau bangkai.
Dua tetangga itu seperti dua bersaudara, kalau saling berjauhan merasa rindu, ketika berdekatan suka bertikai.
Dua negara bertetangga itu beberapa kali terlibat pertengkaran memperebutkan wilayah perbatasan.
Salah satu yang paling serius terjadi pada 1962 ketika akan berdiri negara Federasi Malaysia yang akan menggabungkan Sabah, Brunei, dan Serawak dalam federasi.
Indonesia menolak pembentukan federasi itu karena menganggapnya sebagai proyek kolonialisme Inggris yang bisa mengancam keamanan dan kedaulatan Indonesia.
Setelah meninggalkan negara-negara koloninya di Asia Tenggara, Inggris masih ingin menancapkan pengaruhnya dengan membentuk negara federasi yang disebut sebagai ‘’Persekutuan Tanah Melayu’’ dengan menggabungkan wilayah-wilayah yang mempunyai penduduk rumpun Melayu.
Persekutuan ini mencakup wilayah Singapura yang ketika itu menjadi bagian dari Malaysia.
Presiden Indonesia Sukarno menganggap pembentukan federasi itu sebagai bagian dari proyek neo-kolonialisme yang sering disebutnya sebagai nekolim.
Dengan tegas Bung Karno menolak pembentukan federasi itu dan mengumumkan gerakan perlawanan terhadap Malaysia yang disebutnya sebagai ‘’konfrontasi’’.
Malaysia merespons gerakan konfrontasi ini dengan keras. Muncul demonstrasi besar anti-Indonesia di Kuala Lumpur.
Beberapa demonstran merusak bendera Indonesia dan membuat Bung Karno sangat marah.
Bung Karno kemudian membalas dengan pidato berapi-api yang kemudian mempopulerkan semboyan ‘’Ganyang Malaysia’’ yang sampai sekarang masih sering dikutip.
Bung Karno terkenal dengan kemampuan orasinya yang hebat dan banyak sekali melahirkan jargon-jargon yang menjadi ikon pada zamannya.
Ganyang berasal dari bahasa Jawa yang berarti memakan mentah-mentah tanpa dimasak.
Dengan mengganyang Malaysia Bung Karno ingin menunjukkan superioritas dan kematangan Indonesia dan menunjukkan bahwa Malaysia masih mentah.
Dalam pidato yang berapi-api, Bung Karno mengatakan, ‘’Kalau kita lapar itu biasa, kalau kita malu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, itu kurang ajar. Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hajar cecunguk Malaysia itu’’.
Menteri Luar Negeri Soebandrio mendukung gerakan konfrontasi itu dengan mengirim pasukan ke Kalimantan.
Konfrontasi berlangsung panjang sampai 1966.
Ketika itu kekuasaan Bung Karno sudah makin lemah setelah peristiwa penculikan jenderal TNI yang dikenal sebagai gerakan 30 September.
Secara diam-diam TNI mengirim misi perdamaian ke Malaysia untuk mengakhiri konfrontasi.
Negara federal Malaysia secara resmi berdiri pada 1963 dan Singapura menjadi bagian dari Malaysia.
Akan tetapi, pada 1965 Singapura memisahkan diri menjadi negara merdeka tersendiri. Brunei juga akhirnya lepas dari Malaysia menjadi negara merdeka pada 1984.
Konfrontasi selesai, tetapi rebutan perbatasan masih sering terjadi.
Saling klaim kedua negara sering memunculkan pertikaian diplomatik.
Pernyataan Mahathir Mohammad yang mengklaim bahwa Kepulauan Riau adalah bagian dari Malaysia menjadi bukti bahwa sisa-sisa pertikaian itu masih belum benar-benar sirna, dan setiap saat bisa saja muncul menjadi konflik baru.
Dalam sebuah pertemuan di Selangor yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah ‘’Kongres Survival Melayu’’ dengan tajuk ‘’Aku Melayu, Survival Bermula’’ Mahathir mengatakan bahwa Kepualauam Riau adalah wilayah Malaysia karena bagian dari Tanah Melayu.
Mahathir juga menyebut Pulau Batu Puteh yang sekarang menjadi wilayah Singapura sebagai wilayah Malaysia.
Pernyataan Mahathir ini memantik berbagai macam reaksi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi, tetapi kantor Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menganggap pernyataan itu adalah pernyataan pribadi yang tidak mewakili kebijakan resmi Kuala Lumpur.
Bisa saja pernyataan ini tidak mewakili sikap resmi pemerintah Malaysia, tetapi Mahathir adalah mantan perdana menteri yang paling berpengaruh dalam sejarah Malaysia.
Mahathir terkenal dengan kebijakannya yang nasionalistis dan sering disebut chauvinistis serta cenderung ekspansionis.
Sampai sekarang, dalam usia 94 tahun Mahathir masih sangat aktif berpolitik dan menjadi salah satu motor utama partai koalisi Pakatan Malaysia.
Posisi politik Mahathir saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan posisi politik Megawati Soekarnoputri atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Keduanya mantan presiden yang masih mempunyai pengaruh politik signifikan karena memegang kendali partai politik besar.
Seandainya Megawati atau SBY membuat pernyataan bahwa Serawak dan Selangor adalah wilayah Indonesia tentu reaksi Malaysia akan sangat keras.
Indonesia pernah kehilangan Pulau Sepadan dan Ligitan yang diklaim sebagai wilayah Malaysia.
Pada 2001 semasa kepresidenan Megawati dua pulau itu diklaim oleh Malaysia yang ketika itu dipimpin oleh Mahathir.
Secara geografis dua pulau itu berada dalam wilayah Indonesia karena bertetangga langsung dengan Pulau Sebatik di Kalimantan Timur. Akan tetapi, Malaysia mengeklaimnya sebagai wilayahnya.
Sengketa ini dibawa ke pengadilan internasional, ICJ (International Court of Justice), dan pada 2002 diputuskan bahwa dua pulau itu menjadi milik Malaysia.
Kekalahan dan kehilangan dua pulau ini menjadi aib yang mempermalukan Indonesia. Malaysia pun merasa di atas angin atas keputusan tersebut.
Ironinya, Mahathir sering dijuluki sebagai ‘’The Little Sukarno’’ oleh media asing karena Mahathir mempunyai kebijakan yang nasionalistis dan chauvinistis.
Dalam banyak kesempatan Mahathir tidak takut mengekspresikan sikap kritisnya terhadap Eropa dan Amerika.
Ketika wilayah Asia Tenggara diterjang krisis moneter pada 1998 yang nyaris membuat bangkrut, Mahathir dengan tegas menolak bantuan IMF (Dana Moneter Internasional).
Mahathir secara implisit menyebut ‘’Go to Hell with Your Aids’’ sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Bung Karno ketika menolak bantuan ekonomi dari negara-negara Eropa yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim.
Indonesia menerima bantuan dari IMF dan Presiden Soeharto menandatangani pakta dengan Michel Camdesuss, presiden IMF.
Presiden Soeharto menandatangani pakta bantuan dan Camdessuss berdiri sambil bersidekap tangan. Imej itu menunjukkan kekalahan Indonesia terhadap kekuasaan asing.
Mahathir menolak paket bantuan dari IMF dan terbukti Malaysia bisa lebih cepat pulih dibanding Indonesia.
Krisis ekonomi di Indonesia merantak menjadi krisis politik yang berujung pada kejatuhan Presiden Soeharto.
Malaysia bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan Mahathir bisa selamat dengan kekuasaannya.
Mahathir Mohammad terbukti sebagai politisi yang teguh dan penuh pengalaman.
Pernyataan klaimnya terhadap Kepulauan Riau tidak boleh dianggap sepele.
Indonesia harus serius menanggapinya. Publik dan netizen banyak yang berang terhadap Mahathir dan menyerbu akun resmi medsos Mahathir.
Ada netizen yang menghujat dengan menyebut Mahathir ‘’Pak Tua’’. Ada juga yang mengungkit jargon lama ‘’Ganyang Malaysia!’’. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror