Gara-gara Presiden Jokowi, Harga Sabu Melambung Tinggi

Senin, 30 November 2015 – 08:15 WIB
Sabu yang disita petugas. Foto ilustrasi.dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA -  Sikap tegas era pemerintahan Presiden Jokowi dalam upayanya menekan peredaran narkoba, mulai terlihat hasilnya. Saat ini, jumlah narkoba yang beredar di pasaran menurun drastis.

Praktis, harga narkotika menjadi melonjak, bahkan meningkat mencapai 600 persen. Sayangnya, hal itu menjadikan Indonesia menjadi negara sasaran mafia narkotika yang lebih menggiurkan.

BACA JUGA: Yakinlah, Indonesia Punya Sumber Daya untuk Bisa Mandiri

Project Manajer Persatuan Korban Napza Indonesia (PKNI) Suhendro Sugiarto menuturkan, semenjak presiden Jokowi menyatakan perang terhadap narkotika dengan adanya isu darurat narkotika pada awal 2015, semenjak itu pula narkotika yang beredar di Indonesia menurun drastis. “Banyak pengguna narkotika yang tidak bisa mendapatkan barang-barang tersebut,” ujarnya.

Ketidaktersediaan narkotika ini membuat harga narkotika menjadi begitu tinggi. Untuk jenis sabu yang biasanya dijual Rp 100 ribu per gram, sekarang harganya bisa mencapai Rp 600 ribu setiap gramnya. “Hal tersebut membuat masalah tersendiri yang juga berbahaya,” tuturnya.

BACA JUGA: Senator Asal Papua: Isu Freeport Makin Liar

Misalnya, lanjut dia, pengguna narkotika yang menggunakan jarum suntik yang biasanya bisa membeli barang sendiri sekarang sudah tidak mungkin. Harga yang begitu mahal, membuat pengguna menyiasatinya dengan patungan.

“Nah, jarum suntik yang biasanya sendiri-sendiri, akhirnya malah dipakai bersama-sama karena beli narkotikanya patungan. Mereka mengetahui resikonya tertular penyakit makin tinggi, tapi juga tidak berdaya karena harga yang tinggi,” ujarnya.

BACA JUGA: Tahun Depan Korpri Dihapus

Harga narkotika yang naik drastis tentu membuat pengedar narkotika masih memandang bahwa Indonesia pasar narkotika yang manis. Dia menuturkan, semua itu tentu sebaiknya disikapi pemerintah dengan lebih bijak.

“Sebab, dalam perang terhadap pengedar narkotika ini yang paling menjadi dirugikan adalah korban narkotika,” terangnya.

Sementara Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menuturkan bahwa isu yang diusung Presiden Jokowi untuk memerangi narkotika sebenarnya belum terlihat dari kebijakan dan anggarannya. “Hanya ada kebijakan hukuman mati yang dulu diaktifkan kembali dan sekarang sudah tidak lagi gencar,” ujarnya.

Namun, soal jumlah penyidik di Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) justru sama sekali tidak ada penambahan. Soal anggaran juga sama sekali tidak ada kucuran yang lebih untuk lembaga yang berperang dengan narkotika. “Ini artinya, perang terhadap narkotika itu hanya wacana saja. Belum total dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Bagian lain, Direktur Direktorat Tindak Pidana Narkotika (Dittipid Narkotika) Bareskrim Brigjen Anjan Pramuka Putra menuturkan bahwa memang mafia narkotika masih terus berupaya memasukkan narkotika ke Indonesia. “Ada dari Malaysia, Tiongkok hingga Eropa,” ujarnya.

Namun, semua itu terus dicegah oleh kepolisian. Buktinya, hampir setiap minggu selalu ada penangkapan terhadap pengedar narkotika. “Yang paling baru itu ya yang menyimpan sabu-sabu di dalam bodi mobil,” ujarnya.

Dia menuturkan, upaya mencegah peredaran narkotika tidak akan kendur kendati ada berbagai hal yang mengganjal. ”Kami terus bekerjasama dengan lembaga lain agar pemberantasan narkotika lebih efektif,” papar jenderal bintang satu tersebut. (idr)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejak Awal, Rini dan Sudirman Tak Masuk Rencana PDIP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler