jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo tengah memainkan politik playing victim.
Terutama, ketika Gatot mengaku dipecat dari posisi panglima karena menyarankan prajurit TNI menonton film G30S PKI.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Gatot Bikin Ribut soal PKI, Ganjar Marah Besar, BIN Angkat Suara
"Jika benar pernyataan Gatot Nurmantyo yang mengatakan dia diberhentikan menjadi panglima karena memutar film G30S PKI, patut diduga, Gatot sedang memainkan gaya politik playing victim," ujar Karyono saat dihubungi jpnn.com, Jumat (24/9).
Namun, Karyono enggan berandai-andai tujuan Gatot memainkan politik playing victim. Permainan itu, kata Karyono, hanya menggambarkan Gatot ialah pihak yang dianiaya pemerintah.
BACA JUGA: Keras! Istana Sebut Pernyataan Gatot Nurmantyo soal PKI Seperti Berhalusinasi
"Intinya, dia tengah membangun opini publik seolah menjadi pihak yang teraniaya," beber dia.
Di sisi lain, ujar Karyono, pernyataan Gatot yang meminta penayangan kembali film G30S PKI, ialah strategi propaganda.
BACA JUGA: Gatot Nurmantyo Berjualan Isu PKI demi Pilpres 2024?
Strategi itu yang dijadikan jualan untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat politik. Dengan propaganda ini diharapkan dapat membangun empati dan simpati.
"Gaya politik Gatot yang getol menggunakan narasi komunis dan PKI mirip gaya politik orde baru yang gemar jualan isu komunis atau PKI," beber dia.
Namun, kata Karyono, Gatot lupa bahwa momentumnya sudah lewat. Propaganda menggunakan narasi komunis atau PKI, hanya efektif untuk melanggengkan kekuasaan.
Selain itu, ujar dia, propaganda isu komunis atau PKI sudah tidak efektif untuk menaklukkan lawan politik.
"Propaganda isu komunis atau PKI terbukti tidak mampu menaklukkan lawan politik yang diserang dengan isu tersebut," ujar dia.
"Jadi, menurut saya, pihak yang terus menerus menggunakan isu komunis dan PKI sebagai propaganda politik untuk tujuan berkuasa adalah kelompok yang tidak mau belajar dari kegagalan. Mereka kurang kreatif dan inovatif dalam membuat propaganda yang lebih efektif dan simpati," beber dia. (ast/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan