jpnn.com, JAKARTA - Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau M. Muis mengatakan pelestarian bahasa daerah sangat penting karena merupakan warisan leluhur.
Selain itu, keberadaan bahasa daerah juga terancam punah akibat berkurangnya para penutur asli. Maka, diperlukan perhatian serius dari semua pihak agar warisan leluhur itu tidak hilang selamanya.
BACA JUGA: Teten Masduki Ajak Daerah di Jabar Mencontoh Banyuwangi
"Eksistensi bahasa daerah makin melemah di tengah-tengah terpaan gelombang globalisasi yang menyerang secara dahsyat dan masif," kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau M. Muis dalam paparan terkait peringatan bulan bahasa dan sastra 2021, Senin (11/10).
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa daerah di berbagai tempat sudah sekarat, bahkan hampir punah. Kepunahan tersebut terlihat dari makin terpinggirkannya penggunaan bahasa daerah dan penyempitan wilayah pemakaiannya.
BACA JUGA: 462 Guru Honorer Ikut Tes PPPK Tahap I, 192 Lulus, Sisanya Gagal
Padahal, bahasa daerah tidak sekadar mencerminkan kehidupan budaya suatu kelompok masyarakat. Tetapi, unsur-unsur kebahasaan dalam bahasa daerah berfungsi sebagai pengenal atau identitas suatu kelompok masyarakat.
"Tataran ini menggambarkan fungsi bahasa daerah sebagai alat komunikasi yang hidup dan dihidupkan dalam kehidupan masyarakat," ujar Muis.
BACA JUGA: Arief Poyuono Blak-blakan Bicara Kans Prabowo Menjadi Presiden, Mengejutkan
Selain itu, masyarakat menjadikan bahasa daerah sebagai wadah untuk menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai 'hukum' tak tertulis berupa adat istiadat dan sumber pengetahuan.
Muis mencontohkan, Provinsi Riau memiliki beberapa bahasa daerah yang tersebar di wilayah daratan, pesisir, dan kepulauan.
Salah satu bahasa daerah di Riau yang ditengarai mengalami pengurangan penutur dan penyempitan wilayah pemakaian ialah bahasa Melayu Akit.
Dia menjelaskan Suku Akit atau Suku Akik merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Provinsi Riau.
Suku Akit merupakan salah satu sub-suku Melayu (Proto Melayu) yang mendiami wilayah Pulau Rupat, Pulau Padang (Sungai Labu, Kudap, Dedap, Selat Akar, Bagan Melibur, Kunsit).
Juga di Pulau Merbau (Cemaning, Ketapang, Renak Dungun), Pulau Tebing tinggi (Tanjung Peranap, Aer mabuk,Kundur, Lalang, Sesap, Batin Suir), Pulau Rangsang (Api-api, Linau Kuning, Bungur-Kuala Parit, Sonde,Sungai Rangsang, Tanjung sari, Sokop, Mereng, Bandaraya, Banau, Sipije), dan Pulau Mendol.
Suku tersebut memeluk aliran kepercayaan, Buddha, Islam, dan Kristen. Suku ini telah lama mendiami pulau-pulau tersebut sebelum suku lainnya menjadikan daerah tersebut sebagai tempat tinggal. Mata pencarian Suku Akit ialah berburu dan melaut.
"Karenanya dilakukan upaya revitalisasi agar bahasa ini tidak hilang karena masyarakat di sana bersikap pasif," kata Muis.
Hasil didapati di lapangan, mereka sebelumnya tidak pernah memikirkan seperti apa nasib bahasa Akit di masa yang akan datang.
Dari penuturan para pemangku adat Suku Akit dan juga pemerintahan Desa Hutan Panjang yang juga penutur bahasa Akit, mereka sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan kelestarian bahasa suku mereka.
Mereka kini sangat khawatir dan menyadari bahwa penutur bahasa Akit sudah jauh berkurang dari jumlah sebelumnya. Kecintaan penutur bahasa Akit juga semakin luntur yang disebabkan oleh perkembangan zaman.
"Mereka juga tersentak ketika diberikan informasi tentang gejala-gejala kepunahan yang mulai terjadi pada bahasa mereka," ucap Muis.
Dia menerangkan tahapan revitalisasi bahasa Akit khususnya di Desa Hutan Panjang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu, survei dan koordinasi, kemudian pembelajaran atau pewarisan dan pemasyarakatan melalui pergelaran seni dan pertunjukan kebahasaan.
"Kami juga melakukan kesepakatan dengan pemuka adat untuk mendorong generasi muda untuk turut melestarikan bahasa daerah. Transmisi ini harus dilakukan," kata Muis.
Selain itu juga menggerakkan komunitas seni yang sudah ada harus dijaga eksistensi dan aktivitasnya untuk menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan revitalisasi bahasa dan sastra. Lantas dukungan dari pemerintah daerah untuk aktif dan konsisten melakukan perlindungan bahasa daerah.
"Juga bersama pemimpin adat melakukan penyusunan buku berisi konten adat dan tradisi yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi generasi muda mempelajari bahasa daerah dan mempublikasikan melalui artikel ilmiah pada jurnal nasional dan internasional," pungkas Muis. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Mesya Mohamad