jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan aturan standar dan keselamatan gedung tinggi sebagai pencegahan terhadap ancaman darurat, semisal kebakaran.
Aturan ini memuat dua poin penting yaitu pembangunan landasan helikopter atau yang dikenal sebagai helipad di atas gedung dan tangga darurat yang terletak di luar gedung.
BACA JUGA: Kemenpar-Garuda Pikat Otoritas Bandara KL untuk Perluas Akses ke Indonesia
Aturan itu disebut sangat berguna untuk mengantisipasi keadaan darurat untuk penyelamatan.
Maka, tidak berlebihan rasanya ketika beberapa pusat perbelanjaan dan perumahan elite membangun helipad dilintasi teratas gedung dan lokasi yang menjadi area perumahan elite.
BACA JUGA: Sukses Edukasi Turis Tiongkok, Kemenpar Lanjut Kerja Sama dengan Baidu
Fasilitas itu bisa kita temui di sejumlah rumah sakit, mal, perkantoran dan hotel.
Aturan tersebut sesungguhnya tidak hanya untuk gedung-gedung tinggi seperti perkantoran, apartemen dan pusat perbelanjaan, tapi pengembang juga wajib membangun helipad untuk kawasan rusunami (rumah susun sederhana milik).
BACA JUGA: Pupuk Indonesia Kembangkan Pertanian di Merauke
Semua aturan tersebut kemudian dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat) yang efektif berlaku pada 2016 lalu.
Namun, dari aturan itu yang wajib segera dilaksanakan pengelola gedung adalah pengadaan tangga darurat di luar gedung. Sedangkan helipad tidak wajib.
Selain untuk kepentingan darurat dan keselamatan, keberadaan helipad menjadi penting bagi para pebisnis yang sering menggunakan helikopter sebagai transportasi alternatif untuk menyiasati tingkat kemacetan yang kian parah di ibu kota.
Tak hanya itu, pengelola gedung juga bisa mengoptimalisasi helipad ini sebagai sumber pendapatan yang lain.
Soal kemacetan ini, perusahaan teknologi aplikasi navigasi lalu lintas Waze pada 2015 menempatkan DKI Jakarta di posisi kedua tingkat kepuasan berkendara terburuk di dunia.
Rata-rata pengemudi di Jakarta menghabiskan waktu selama 42,1 menit ketika bepergian dari rumah menuju kantor.
Angka ini hanya berbeda tipis dengan Kota Manila, Filipina yang menempati urutan pertama.
Rata-rata pengemudi di Manila menghabiskan waktu bepergian dari rumah menuju kantor selama 45,5 menit.
Penilaian ini tidak terlepas dari masalah polusi, kemacetan, kualitas jalan yang buruk, lahan parkir, serta harga bahan bakar minyak yang dinilai mahal oleh masyarakat.
Menurut Waze, buruknya infrastruktur di Jakarta dirasakan juga oleh para pebisnis lokal maupun asing saat berkunjung ke kota ini.
Karena itu, para pebisnis kerap menggunakan helikopter sebagai transportasi alternatif untuk mencapai kantor, tempat pertemuan dan lokasi bersantai seperti area golf yang jaraknya puluhan kilometer dari Jakarta.
Pengalaman itulah yang dirasakan salah satu bankir ternama Markus Permadi.
Mantan bos bank swasta itu acap menggunakan helikopter untuk mencapai tempat-tempat tertentu di Jakarta.
Waktunya hanya hitungan menit dari Karawaci, Tangerang dan dia pun mencapai tempat tujuannya.
Kendati begitu, keberadaan helikopter sebagai transportasi alternatif justru masih menyisakan persoalan.
Antara lain karena keberadaan helipad yang masih minim di Jakarta.
Soal helipad, Jakarta tampaknya mesti belajar dari kota Seoul. Kota yang hanya memiliki luas sekitar 605.21 kilometer persegi itu berdasarkan survei Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) itu memiliki fasilitas helipad terbanyak di dunia.
Terdapat 12 gedung pencakar langit di kota itu dan semuanya memiliki fasilitas helipad.
Selain fasilitas helipad itu, Arcadis, sebuah firma desain dan konsultan untuk aset terbangun dan natural juga menempatkan Seoul sebagai kota terbaik pada 2016.
Lembaga tersebut beralasan Seoul mampu memberikan kualitas hidup paling baik untuk masyarakatnya.
Ada tiga penilaian mengapa Seoul menjadi kota terbaik untuk Indeks Kota Berkelanjutan yakni people, planet dan profit.
Khusus soal people, lembaga ini menilai infrastruktur transportasi, kesehatan, edukasi, kesetaraan pendapatan, keseimbangan kehidupan kerja, rasio ketergantungan dan ruang hijau di dalam kota Seoul sangat baik.
Keadaan ini justru berkebalikan dengan Jakarta yang memiliki luas sekitar 664.01 kilometer persegi melebihi luas Kota Seoul.
Dari sekian banyak gedung pencakar langit, masih terhitung yang memiliki fasilitas helipad.
Salah satunya yang bisa disebut adalah The Plaza, Sudirman.
Selebihnya - meski telah menjadi aturan - lantai-lantai paling atas gedung pencakar langit di Jakarta justru belum banyak helipad.
Seperti gedung-gedung pencakar langit, area-area hunian juga belum menjadikan helipad sebagai salah satu fasilitas untuk melayani kepentingan darurat penghuni.
Secara terpisah, HeliCity salah satu operator transportasi helikopter yang dikelola PT Whitesky Aviation, sangat mendukung peraturan pemerintah tersebut.
“Tentu kami sangat mendukung implementasi peraturan tersebut. Untuk kebutuhan darurat memang dibutuhkan sarana evakuasi yang cepat, salah satu alternatifnya dengan menggunakan helikopter,” ujar Denon Prawiraatmadja CEO PT Whitesky Aviation di Jakarta.
Beberapa pengalaman yang diterima dari para customer selama ini memberikan respon positif helicopter sebagai moda transportasi pilihan.
Namun, mereka merasakan minimnya sarana helipad untuk mendaratnya helikopter itu.
"Kota sebesar Jakarta sebaiknya memanfaatkan teknologi helikopter untuk dapat mendukung semua kebutuhan yang diperlukan seperti halnya dibeberapa kota besar seperti Sao Paulo, Seoul, New York, atau London,” pungkas Lenon. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan Bakal Tanami Jagung di Lahan Perhutani
Redaktur & Reporter : Natalia