jpnn.com, JAKARTA - Konflik penolakan sebagian umat beragama kerap mewarnai pendirian rumah ibadah. Masalahnya ada di surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan kesepakatan warga setempat.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI Nifasri menyatakan persoalan pendirian rumah ibadah tidak akan terjadi bila masyarakat dan umat beragama menghadapinya dengan hati dingin, musyawarah dan mufakat.
BACA JUGA: Jangan Jadikan Rumah Ibadah Tempat Menebar Kebencian
"Semua persoalan pendirian rumah ibadat sebenarnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah dan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah," ujarnya, Jumat (7/2).
Kenyataan yang terjadi, ada sebagian umat beragama yang ingin mendirikan rumah ibadat tidak mengikuti proses tersebut dan langsung mengurus sendiri IMB ke pemerintah daerah.
BACA JUGA: PSI Ajak Milenial Tolak Politisasi Rumah Ibadah
Dalam urusan pendirian rumah ibadat ini, Kementerian Agama sejatinya hanya berperan melakukan mediasi yang kemudian hasilnya dibubuhkan dalam sebuah rekomendasi bersama dari Forum Kerukunan Umat Beragama dan tokoh masyarakat.
Namun kenyataaannya, Kementerian Agama sering menjadi sandaran bagi dan tempat aduan bagi umat beragama yang tengah berkonflik atas rencana kehadiran sebuah rumah ibadat. Selain itu, Kementerian Agama juga menjadi pelampiasan bagi sebagian umat beragama yang tidak setuju dengan terbit atau tidak diterbitkannya IMB rumah ibadah oleh pemerintah daerah.
BACA JUGA: Tak Tepat Ijin Pembangunan Rumah Ibadah Diserahkan ke FKUB
Mereka berunjukrasa ke Kantor Kementerian Agama akibat ketidaktahuan peran dan fungsi Kementerian Agama di balik keluarnya rekomendasi yang berlanjut hingga keluarnya IMB rumah ibadah.
Ditambahkan Nifasri dari sejumlah kasus yang dimediasi dan difasilitasi oleh PKUB Kementerian Agama dari sinilah akar persoalan itu berawal. Belum lagi kadang ditemukan juga fakta di lapangan berupa sejumlah tandatangan fiktif di lembaran rekomendasi.
"Ini yang kami temukan di lapangan. Dari sejumlah kasus yang kami fasilitasi sebagian besar dapat diterima dengan hati lapang oleh mereka yang berkonflik setelah dilakukan musyawarah dan mufakat," terangnya.
Dia mencontohkan, bila mayoritas warga menolak kehadiran rumah ibadah di satu tempat, musyawarah dapat menghasilkan kesepatakan bahwa rumah ibadah tersebut dipindahkan dari lokasi awal ke lokasi yang tidak terlalu jauh.
Nifasri pun menjelaskan, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 di Bab IV pasal 13-17, di antaranya menyebutkan, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Di antaranya, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.
"Persoalan penerbitan IMB rumah ibadat bukanlah kewenangan Kementerian Agama, melainkan pemerintah daerah. Kami hanya fasilitator dan mediator," tegas Nifasri.
Dalam pengusulan IMB rumah ibadat, masyarakat harus pedomi aturan yang ada, seperti Peraturan Bersama Menteri. Dia berharap sebelum masyarakat mengusulkan IMB itu setidaknya ada pembicaraan dengan warga.
"Artinya ada silaturahim dan musyawarah dengan masyarakat setempat. Kemudian bentuk panitia dan merekalah nantinya yang akan mengajukan IMB ke Pemda dengan membawa rekomendasi dari FKUB," tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad