Gejala Deindustrialisasi Makin Nyata, Legislator Minta Jokowi Bertindak

Kamis, 08 Februari 2024 – 07:02 WIB
Ilustrasi- Industrik manufaktur dalam negeri menurun produksinya karena deindustrialisasi. Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai gejala deindustrialisasi dini sangat berbahaya dan harus dihentikan. Sebab, jika tidak petumbuhan ekonomi di atas lima persen akan sulit terwujud.

Legislator PKS itu juga menilai tim ekonomi Kabinet Joko Widodo lemah, sehingga kinerjanya cenderung turun dibanding pemerintahan sebelumnya.

BACA JUGA: Khawatir Terjadi Deindustrialisasi dan Gelombang PHK, Anggota Komisi VI DPR Soroti Permendag 36/2023, Simak

World Bank (1994) dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyebutkan deindustrialisasi adalah penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat.

"Kalau ini terjadi akan mustahil kita dapat lepas dari jebakan sebagai negara berpenghasilan menengah (midle income trap), apalagi menjadi negara maju. Jangan mimpi," ujar Mulyanto, seperti dikutip, di Jakarta, Kamis (8/2).

BACA JUGA: Awasi Upaya Deindustrialisasi Melalui Pasal Selundupan

Mulyanto mengingatkan agar Pemerintahan Jokowi jangan terlena dan bangga dengan program hilirisasi setengah hati dengan nilai tambah rendah.

Ekspor produk hilirisasi seperti Fero Nikel dan NPI tersebut harus segera dihentikan.

"Ini hanya memboroskan sumber daya nikel kita saja," ujar Mulyanto.

Menurutnya, hilirisasi cuma sebuah awalan bukan tujuan, karena yang harus digenjot adalah industrialisasi di segala bidang. Industri harus menjadi penggerak utama (prime mover) roda pembangunan.

"Kalau faktanya kontribusi sektor industri bagi pembangunan ekonomi Indonesia justru terus melorot seperti yang ada selama ini, maka kita jadi prihatin," kata Mulyanto.

Sebelumnya diberitakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI mencatat rata-rata pangsa manufaktur terhadap PDB di periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencapai level yang terendah.

Kondisi ini diperkuat dengan data OECD mengenai nilai tambah manufaktur sebagai bagian produksi juga menunjukkan tren penurunan di Indonesia dalam dua dekade terakhir.

Sejak Presiden Jokowi menjabat pada tahun 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati (43,94 persen) dan Presiden SBY (41,64 persen).

Akibat, tidak berkembangnya industri manufaktur, maka kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun drastis secara konsisten dari saat periode 2002 sebesar 32 persen menjadi hanya 18,3 persen pada 2022.

Mulyanto menegaskan agar di sisa masa pemerintah, Jokowi bisa membenahi tata kelola industri nasional secara terintegrasi, terencana dan fokus.

"Jangan malah sibuk mengurus kampanye," pungkas Mulyanto.(mcr10/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler