Gelar Webinar, DPP Milenial Indonesia Membahas Krisis Energi Global

Kamis, 08 September 2022 – 06:25 WIB
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Milenial Indonesia menggelar Webinar Nasional bertema Menyelamatkan Indonesia dari Jerat Krisis Energi Global pada Rabu (7/9/2022). Foto: Tangkapan layar DPP Milenial Indonesia

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat (DPP) Milenial Indonesia menggelar Webinar Nasional bertema Menyelamatkan Indonesia dari Jerat Krisis Energi Global.

Webinar ini dihadiri ratusan generasi milenial dari beragam provinsi. Rangkaian diskusi ini memantik diskusi sebelumnya mengenai kenaikan BBM dan Ancaman Inflasi.

BACA JUGA: Raden Pardede Beberkan Penyebab Krisis Energi Global, Indonesia Harus Belajar

Ketua Umum Milenial Indonesia Sureza Sulaiman menyebutkan Indonesia disinyalir negara yang rentan terhadap krisis energi disebabkan cadangan energi yang berkisar 9-10 tahun lagi.

Konsumsi BBM negara kita masih bergantung pada impor, sehingga perkembangan geopolitik menyebabkan banyak efek domino kepada isu energi di dalam negeri. 

BACA JUGA: BBM Langka, PKS Minta Jangan Sampai Jadi Krisis Energi

“Agenda webinar ini dimaksudkan sebagai wadah menjawab tantangan tersebut. Dengan menggunakan segala daya upaya diharapkan Indonesia bisa bertahan di tengah situasi yang sulit ini," kata Sureza selaku pada Rabu (7/9).

Webinar ini dipandu oleh Sekretaris Umum Milenial Indonesia Yusuf Salam. Sementara itu Dede Abdul Basyir dan Hanifa Sutrisna menjadi pembicara.

BACA JUGA: Solar Langka di Jatim, Indonesia Mulai Krisis Energi?

“Peristiwa pandemi Covid-19 mengubah segala realitas termasuk isu energi dan perdagangan internasional. Sebelum pandemi, pemerintah Indonesia sedang bergerak ke arah energi terbarukan (green energi) atau energi bersih, sayangnya terhambat karena peristiwa Covid-19 melanda seluruh dunia,” ujar Dede Abdul Basyir.

Selanjutnya, Dede Abdul Basyir menjelaskan beberapa peluang terkait energi akibat adanya perubahan musim di belahan Eropa.

“Peluang baru terkait batu bara di Indonesia akibat adanya musim dingin di Eropa. Kebutuhan penghangat badan di masyarakat Eropa membuat pemerintah setempat menghidupkan Kembali PLTU yang sempat ditinggalkan,” ungkap.

Di sisi lain, Hanifa Sutrisna sebagai pengamat energi menyampaikan keprihatinannya melihat kondisi Pulau Kalimantan.

“Kalimantan menjadi salah satu pulau sumber energi terbesar di negeri kita. Sayangnya, di lumbung energi sendiri terjadi ketimpangan energi dan penguasaan korporasi tunggal yang menjual kepada asing,” ujar Hanifa.

Menurut Hanifa, optimalisasi kekayaan energi seperti gas alam, panas bumi dan angin sebagai basis terbaru untuk ketahanan energi sangat diperlukan.

Selain itu, Hanifa menyarankan masyarakat menghindari kendaraan pribadi yang sifatnya tidak perlu.

Dia mengajak masyarakat mulai naik transportasi umum sekalipun masih adanya ketimpangan pemerataan transportasi di negeri kita.

Pengamat politik Dr. Kapitra Ampera memaparkan ada sepuluh penyebab krisis energi yang terjadi.

“Konsumsi berlebihan pada sumber daya alam, over populasi manusia, pemborosan energi, kurangnya memanfaatkan energi terbarukan, maraknya pembangunan infrastruktur, sistem distribusi yang buruk, bencana alam dan yang terakhir terjadi peperangan,” kata Kapitra Ampera.

Selanjutnya, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebutkan beberapa masalah energi yang berkembang.

Mamit menyebut ada beberapa permasalahan energi dewasa ini antara lain belum adanya pengelolaan berkelanjutan, infrastruktur terbatas, akses masyarakat mendapatkan energi masih belum maksimal.

“Selain itu, harga EBT (energi baru terbarukan) masih terbilang mahal, net importir masih tergantung kondisi pasar,” kata Mamit.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler