Gelombang Ganas jadi Tenang setelah Nelayan Datangi Makam Keramat

Rabu, 07 September 2016 – 00:07 WIB
MAKAM KERAMAT: Jere Boki yang letaknya paling selatan di Tanjung Dehegila. Makam ini disebut telah berpindah tempat dari lokasinya yang semula. Foto: Samsudin Chalil/Malut Post

jpnn.com - TANJUNG Dehegila merupakan lokasi wisata, yang letaknya di titik paling selatan Pulau Morotai. 

Di sana terdapat tiga makam keramat. Meski tiap malam dihantam gelombang Laut Halmahera, kuburan yang diyakini berusia ratusan tahun ini tetap kokoh laksana tak tersentuh.

BACA JUGA: Modal Awal Rp 3 Juta, Kini Tembus Pasar Sejumlah Negara

Samsudin Chalil, Morotai

Namun, makam-makam yang dikeramatkan, tiga kuburan tua di Tanjung Dehegila itu, tak diketahui asal-usul keberadaannya. 

BACA JUGA: Cerita Anton yang Ditawari Lewat Jalur Khusus Naik Haji, Akhirnya...

Juga siapa empunya, tak ada yang tahu persis. Masyarakat setempat percaya, ia milik orang-orang saleh, yang muncul begitu saja pada suatu waktu.

Tiga makam keramat itu berjajaran dengan jarak sekira 20 meter. 

BACA JUGA: KH Fuad Hasyim, Senang Nonton Bioskop, Kuasai Lima Bahasa Tanpa Sekolah

Ketiga makam dikelilingi batuan berbentuk dinding. Makam yang terletak paling selatan berukuran paling besar. Warga menyebutnya Jere Boki.

Habu Taba, orang tertua di Desa Juanga, Morotai Selatan, menuturkan, sejak masa kanaknya sebelum pecah Perang Dunia II, kuburan-kuburan itu sudah ada. 

Pria berusia 83 tahun itu menyatakan tak pernah tahu siapa yang dikubur di makam-makam yang dikeramatkan itu. 

Namun dari mendiang ayahnya, Mancadu, ia diberitahu bahwa tokoh yang dimakamkan di situ  berasal dari Maba, Halmahera Timur. 

”Dulu sering ada yang ziarah di situ. Mereka mengaku berasal dari Maba,” tutur Habu menirukan ayahnya.

Konon, kata Habu, pemilik makam terbesar adalah seroang wanita. ”Sehingga masyarakat di sini menamakan kuburan itu Jere Boki, yang artinya kuburan wanita,” katanya saat ditemui di kediamannya pekan lalu (3/9).

Tiga makam tersebut letaknya tak jauh dari bibir pantai. Saat laut surut, Jere Boki hanya berjarak kurang dari 5 meter dengan bibir pantai. 

Di kala pasang, jaraknya menjadi setengah meter. “Tiap malam saat pasang, kuburan-kuburan itu selalu dihantam ombak. Tapi tetap tak ada perubahan pada dinding-dinding batunya,” ujar Habu yang bersedia diwawancari Malut Post (Jawa Pos Group) dalam kondisi berbaring lantaran kesehatannya mulai menurun.

Abrasi juga mengancam Dehegila. Pantai di situ perlahan kian terkikis. Pohon-pohon bakau di situ pun kian lama kian habis. Namun makam-makam ini tak jua terendam air. 

”Secara logika, tentu dipertanyakan. Kami juga heran. Tapi makam keramat memang biasanya seperti itu,” kata suami dari Sarifa Taba itu.

Anehnya, Habu menuturkan, lokasi makam saat ini bukanlah lokasi sebenarnya. Sebelumnya, makam terletak lebih berdekatan dengan bibir pantai. Lokasi itu kini telah terendam laut. 

”Semakin abrasi, Boki Jere malah ‘pindah’ ke lokasinya yang sekarang. Kalau tidak pindah, maka saat ini letaknya sudah berada di dalam laut,” ungkap pria yang semasa mudanya berprofesi sebagai petani ini.

Habu mengisahkan, sebelum menjadi muslim, ia dan keluarganya belum memeluk agama apapun.

Saat itu, ia dan ayahnya pernah memberikan sesajian di makam keramat itu. 

Mereka meyakini, makam-makam itu dapat mengabulkan permintaan. Habu bahkan mengaku pernah membuktikannya. 

”Pernah saat saya dan ayah saya mau menyeberang ke Tobelo (Halmahera Utara, red) menggunakan perahu dayung, gelombang laut sangat tinggi,” kisahnya.

Karena ombak tinggi dan angin kencang tak kunjung berhenti, sedangkan ia dan ayahnya harus menyeberang, sang ayah memutuskan mendatangi Jere boki. 

Di kuburan, mereka meminta agar gelombang dan angin ditenangkan. Tak lama, entah kebetulan atau tidak, lautan menjadi tenang. 

”Percaya atau tidak, serentak laut jadi teduh, dan kami bisa menyeberang ke Tobelo,” ujarnya.

Menurut Habu, pada masa itu, hampir semua warga Desa Juanga memiliki keyakinan tersendiri tentang kesaktian kuburan-kuburan itu. 

Warga desa yang kebanyakan nelayan itu kerap mendatangi makam sebelum melaut. 

Di sana, mereka meminta diberikan rezeki berupa ikan. ”Jadi kalau sudah dapat ikan, mereka ke kuburan lagi untuk bikin persembahan,” katanya.

Namun kini Habu dan warga Juanga rata-rata telah memeluk Islam. Tak ada lagi yang membuat sesajian. Kalau pun mendatangi kuburan, mereka hanya sekadar berziarah. 

”Saya sendiri sudah sakit-sakitan, jadi sudah jarang ke sana,” aku Habu.(din/kai/sam/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ikan Hidangan untuk Pejabat, Harga Seekor Bisa Rp 1 Juta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler