Gelombang PHK Mulai Menghantam

Selasa, 11 Agustus 2015 – 06:02 WIB
Buruh. Foto: dok.JPNN/Int

jpnn.com - JAKARTA - Memburuknya perekonomian Indonesia telah diikuti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Belasan ribu pekerja pun harus kehilangan mata pencarian utamanya dalam tujuh bulan terakhir. Pengusaha berdalih, ini terjadi karena desakan pertumbuhan ekonomi yang buruk.

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) membenarkan adanya hantaman tersebut. Tercatat per Juli 2015, ada 11.350 pekerja yang harus menyandang status baru sebagai pengangguran. Data diperoleh dari lima provinsi yang melapor, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Timur.

BACA JUGA: Penimbun Daging Diancam 7 Tahun Penjara, Denda Rp 100 Miliar

Sadar atas kondisi ini, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri langsung mengutus Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Haiyani Rumondang untuk memantau kondisi di daerah.

Dari investigasi yang dilakukan, Haiyani mengatakan PHK dilakukan karena desakan ekonomi. Para pengusaha berdalih terpaksa melakukan penghematan yang berimbas pada PHK karena buruknya pertumbuhan ekonomi. "Pengurangan produksi sudah dilakukan, tapi ternyata masih dirasa cukup berat," tuturnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: Tiongkok Jamin Kereta Cepat Jakarta-Bandung Selesai 3 Tahun

Lebih detil, Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPPHI) Kemenaker Sahat Sinurat menyampaikan, PHK tersebut kebanyakan dilakukan oleh perusahaan-perusaan yang bergerak di sektor padat karya dan tambang. Seperti tekstil, sepatu, batu bara serta minyak dan gas (migas).

Menurutnya, alasan PHK didominasi oleh iklim ekonomi yang tidak bersahabat dan kontrak kerja yang telah rampung. "Di sektor batu bara misalnya,nilainya yang sedang tidak baik menjadi alasan utama," tuturnya.

BACA JUGA: Harga Daging Melonjak, Bulog Bakal Terjun ke Pasar

Sementara, terkait dugaan PHK lantaran permintaan upah minimum kerja (UMK) yang terlalu tinggi. Dia membantah. Bantahan itu juga disampaikan saat disinggung tentang buruknya regulasi yang terjadi, sehingga banyak perusahaan yang ingin kabur dari Indonesia. "Saya rasa tidak. Indonesia itu sangat "ramah" pada para investor," ujarnya.

Di sisi lain, angka PHK diduga mencapai angka jauh lebih besar dari data yang disampaikan oleh Kemenaker. Sebab, data tersebut diperoleh hanya dari perusahaan atau serikat pekerja yang melapor ke dinas tenaga kerja (disnaker). Sementara, bila masalah dapat langsung diselesaikan dengan damai antara perusahaan dan pekerja maka PHK tidak akan "dicatatkan".

Hayani pun membenarkan. Dia mengakui, masalah hubungan industrial memang kebanyakan dapat diselesaikan di tingkat bawah. Kecuali, bagi kasus yang tidak terselesaikan dengan baik sehingga harus menempuh jalur hukum.

"Data yang kami berikan semua terselesaikan dengan baik. Hak-hak pekerja dipenuhi. Sementara yang tidak terselesaikan, data ada di kejaksaan," katanya.

Heboh Bule Nikah dengan WNI (1): Pengakuan Orang Dekat Bayu dan Jeni

Heboh Bule Nikah dengan WNI (2): Bayu Itu Big Heart, Jeni Rela jadi Mualaf

Heboh Bule Nikah dengan WNI (3/Habis): Mengapa Bayu-Jeni Memilih 8 Agustus?

Hal tersebut didukung oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Menurutnya, sistem pendataan PHK yang kurang ideal merupakan dampak dari undang-undang nomor 2 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial. Dalam aturan tersebut, pihak yang berseteru termasuk soal PHK bisa langsung membawa kasus itu ke Pengadilan Hubungan Industrial dibawah Mahkamah Agung.

"Hal tersebut membuat Kementerian Tenaga Kerja tak punya data lengkap terhadap angka PHK secara riil di Indonesia. Kalau begitu, bagaimana pemerintah bisa menganalisis dan menanggulangi tren PHK di Indonesia" Seharusnya, semua data PHK dan penyebabnya bisa dikumpulkan untuk menjadi bahan evaluasi yang ideal" terangnya.

(Baca: Kisah Istri yang Tak Pernah Disentuh Suami, Kini Ketagihan Belaian Papa Mertua)

Fenomena PHK masal juga terjadi di Kepulauan Batam. Wilayah yang menjadi gerbang masuknya investasi di tanah air itu mengalami kejadian yang sama dengan daerah lain. Dari data yang sudah dikumpulkan Dinas Tenaga Kerja pada Bulan Januari hingga Mei, lebih dari 1.000 tenaga kerja mengalami PHK.

Staf Bidang Hubungan Industrial dan Syarat-syarat Kerja Disnaker Batam, Agus Wibowo saat ditemui menyatakan, jumlah PHK pada bulan Januari mencapai angka terbesar. Sebanyak 393 tenaga kerja di PHK, dimana kasusnya terjadi di 21 perusahaan.

"Rata-rata, penyebabnya adalah pemutusan hubungan kerja yang menyalahi ketentuan," kata Agus.

Pada bulan Februari, terdapat 16 kasus perusahaan yang mengakibatkan 238 tenaga kerja di PHK. Di bulan Maret, ada peningkatan kasus menjadi 22 perusahaan, namun jumlah PHK turun di angka 133 tenaga kerja.

Pada bulan April dan Mei, sama-sama terjadi 12 kasus perusahaan yang melakukan PHK. Namun, angkanya berbeda tipis. Di bulan April, ada 174 PHK tenaga kerja, sementara Mei terjadi 172 PHK.

Menurut Agus, rata-rata perusahaan yang berada di Batam adalah milik asing. Kebanyakan dari mereka kurang memahami sistem perekrutan tenaga kerja dari dari perjanjian tenaga kerja waktu tertentu (PKWT) ke waktu yang tidak tertentu (PKWTT) atau permanen. Para pekerja dengan status PKWT menuntut hak mereka karena sudah memenuhi batas perjanjian kerja 2 tahun dan diperpanjang 1 tahun.

"Karena sudah diperpanjang tidak melalui jeda, rata-rata menuntut, namun tidak bisa dipenuhi," ujarnya.

Dari status kontrak ke permanen, perusahaan tentu memiliki beban tambahan untuk mempekerjakan karyawan. Hal ini yang nampaknya membuat mereka keberatan. Dirinya mencontohkan, kasus terbesar perubahan PKWT itu terjadi di PT Graha Trisaka Industri yang melibatkan 170 tenaga kerja.

Menurut Agus, Disnaker sejatinya terus menerus mensosialisasikan hal itu. Namun, Disnaker juga terhalang akses untuk bertemu langsung dengan pucuk pimpinan perusahaan. "Biasanya cuma diterima perwakilannya. Entah nyampai atau gak informasinya, kita gak tahu," ujarnya.

Dari sisi investasi, kata Agus, sejatinya iklim di Batam masih bagus. Isu relokasi perusahaan akibat tingginya Upah Minimum Regional tidak berpengaruh, karena rata-rata perusahaan asing di Batam mampu untuk membiayai. "Catatan 2014, relokasi perusahaan hanya melibatkan 4-5 perusahaan. Itupun levelnya perusahaan (skala) sedang," jelasnya.

Sementara, terkait perusahaan yang pailit, catatan saat ini hanya menimpa PT Diva Sarana Metal, dimana ada 105 PHK yang terjadi. Ada juga catatan perusahaan yang melarikan diri, yakni PT Yee Woo Indonesia, dimana 308 tenaga kerja harus di PHK pada bulan Januari.

"Kalau melarikan diri, kita lakukan penjualan aset untuk membayar tenaga kerja," ujarnya. (mia/bil/bay)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Bingung, Harga Daging Hanya Melonjak di Jabar dan Jakarta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler