jpnn.com, JAKARTA - Program Reforma Agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai belum berjalan maksimal.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN) Gerakan Kebangkitan Petani (Gerbang Tani) Idham Arsyad mengatakan, hingga saat ini konflik agraria di Tanah Air masih cukup tinggi.
BACA JUGA: Azis Syamsuddin: Reforma Agraria Memberikan Harapan Baru
“Hal ini menunjukkan bahwa Program Reforma Agraria belum berjalan dengan baik,” kata Idham Arsyad, Kamis (7/1/2021).
Pernyataan Idham Arsyad senada dengan catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menyebutkan masih tingginya angka konflik agraria.
BACA JUGA: Percepat Reforma Agraria, Kementerian ATR/BPN Dorong Sinergi Lintas Sektor
“Reforma Agraria itu salah satu tujuannya adalah untuk menyelesaikan konflik agraria. Ini pertanda bahwa paradigma pembangunan kita belum meletakkan reforma agraria sebagai basisnya," ujarnya.
Menurut Idham Arsyad, hal ini ditandai dengan peruntukan luas lahan saat ini lebih banyak dialokasikan ke investor daripada didistribusikan ke petani. Di sisi lain, berbagai konflik agrarian juga tidak tertangani karena tidak ada kelembagaan khusus untuk menyelesaikan konflik agraria ini.
BACA JUGA: Kementerian ATR/BPN Adakan Rakornas untuk Percepatan Reforma Agraria
“Padahal jumlahnya terus meningkat dan dampak sosial ekonomi bahkan keamanan juga sangat terasa," tuturnya.
Solusi untuk persoalan ini, kata Idham Arsyad, pemerintah harus menjalankan reforma agraria dan membentuk kelembagaan khusus penyelesaian konflik agraria.
Dalam Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2020 KPA, Rabu (6/1/2021), disebutkan bahwa sepanjang 2020, tercatat ada 241 kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, ketika terjadi minus perekonomian nasional dan juga penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi ruang gerak, termasuk ruang gerak investasi dan modal, justru perampasan tanah berskala besar pada 2020 tidak menurun.
Menurut Dewi, di tengah kondisi pandemi Covid-19, seharusnya konflik agraria bisa direm karena kegiatan ekonomi yang menurun.
Sebab, dengan adanya resesi ekonomi, rencana investasi dan ekspansi bisnis semestinya membuat perusahaan bersikap menahan diri dengan melakukan efisiensi bisnis.
KPA mencatat jumlah konflik agraria di sektor perkebunan dan sektor kehutanan masing-masing justru meningkat 28 persen dan 100 persen dibanding 2019.
“Ini anomali yang menurut kami cukup aneh karena justru ekspansi bisnis, ekspansi para pemodal, banyak dilakukan di sektor-sektor yang membutuhkan tanah skala besar seperti sektor perkebunan dan kehutanan," ujar Dewi.
Sebelumnya di penghujung 2020 lalu, Presiden Jokowi bertemu para pegiat agraria untuk mengetahui persoalan di lapangan sekaligus mencari solusinya. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam menjalankan Program Reforma Agraria agar manfaatnya dirasakan masyarakat.
“Ini agar betul-betul nanti bisa terealisasi sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan reforma agraria bisa mengalami percepatan dan akselerasi dalam menyelesaikan (persoalan) yang belum-belum," ujar Jokowi saat memberikan pengantar seperti dalam keterangan yang diterima dari Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Kamis (3/12/2020).
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan, pemerintah dan para pegiat reforma agraria berupaya mencapai titik temu dan mencari solusi bagi persoalan atau kendala yang dihadapi di lapangan.
“Presiden telah mengumpulkan beberapa menteri yang berkaitan dengan reforma agraria dan diikuti oleh teman-teman dari LSM. Presiden telah meminta bagaimana mengurai berbagai persoalan itu dengan menentukan yang pertama adalah mencari persoalan-persoalan yang menjadi prioritas dan yang kedua menggunakan timeline dengan target tertentu," ujar Moeldoko.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich