jpnn.com, PALEMBANG - Fenomena gerhana bulan total (GBT) atau super blue blood moon pada hari ini (31/1) diperkirakan memicu ketinggian air pasang, termasuk di Sumatera Selatan.
Namun, BMKG menegaskan bahwa kondisi itu tak perlu dikhawatirkan karena ketinggian air pasang itu hanya mencapai maksimal 150 cm, dengan tarikan surut 110 cm.
BACA JUGA: Super Blue Blood Moon, Cahaya Bulan 30% Lebih Terang
“Air pasang itu tidak berbahaya di Sumsel. Kalau pun mengganggu, paling kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan,” ujar Staf Observasi dan Informasi BMKG Kenten Palembang, Dara Kasihairani, tadi malam (30/1).
Dia menyangkal kerawanan rob atau banjir air laut karena naiknya permukaan air laut (pasang, red).
BACA JUGA: Gerhana Bulan dan Supermoon Berbahaya bagi Ibu Hamil?
“Kalau datarannya rendah, seperti Jakarta Utara dan Semarang memang rawan banjir rob. Tapi Sumsel kan tidak, datarannya tinggi,” sebutnya.
Berikut juga terkait potensi gempa, menurut Dara, sampai saat ini gempa itu tak dapat diprediksi.
BACA JUGA: Gerhana Bulan Total Berpotensi Ganggu Petani Garam
Air pasang juga tak berhubungan dengan gelombang (ombak) di laut. “Gelombang itu bukan karena gerhana,” lanjutnya. Di Provinsi Sumsel khususnya perairan Bangka ketinggian gelombang sekitar 1,5 meter. “Jadi memang masih aman,” ujarnya lagi.
Berbeda di Perairan Selatan Indonesia yang gelombangnya tinggi mencapai 4 meter, karena ada sistem tekanan rendah dari Australia. “Masalah gelombang tinggi ada wilayah-wilayahnya,” tuturnya.
Kepala Kantor Kesyahbandran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Palembang, Adang Rodiana mengakui ketinggian air pasang sebenarnya tidak memicu masalah terutama di laut. Kalau di sungai paling arus balik saja yang perlu diwaspadai dari darat ke laut.
Menurutnya, pelayaran di laut itu akan terganggu jika ombak tinggi. Tapi air pasang tidak memicu ombak. “Ombak dipicu oleh angin,” tuturnya. Sejauh ini ketinggian gelombang di laut Bangka masih aman untuk berlayar antara 1,5-2 meter.
“Kita update terus informasi dari BMKG termasuk besok (hari ini, red) saat momen gerhana. Kalau ada informasi gelombang tinggi, kami langsung berikan peringatan (warning),” cetusnya. Biasanya warning diberikan saat ketinggian ombak minimal 3 meter.
Sementara, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin gerhana dan purnama justru berpotensi sebagai pemicu gempa. “Bukan sebagai penyebab gempa,” katanya di Jakarta kemarin (30/1).
Thomas mengatakan sampai saat ini tidak ada satupun metode yang mampu memprediksi kapan terjadi gempa dan lokasinya di mana. “Kalau ada yang mengaitkan (gempa, red) dengan gerhana, memang punya potensi sebagai pemicu,” tutur guru besar riset di bidang astronomi itu.
Dia menuturkan gerhana dan purnama dapat memicu pelepasan energi pergeseran lempeng bumi. Pada saat terjadi gempa yang memicu terjadinya tsunami di Aceh 2004 lalu juga tidak jauh-jauh dengan adanya fenomena bulan purnama.
Thomas menerangkan, ketika purnama dan gerhana bulan terjadi dalam waktu bersamaan, saat itulah terjadi puncak pasang air laut. Daya grativitasi bulan saat terjadi purnama dan gerhana bulan jauh lebih besar dibandingkan purnama biasanya.
Ketika di suatu perairan mengalami pasang akibat gaya gravitasi bulan, ada perairan laut lain yang mengalami surut maksimal. Nah ketika terjadi kondisi air surut maksimal itu, beban yang selama ini “dipikul” lempeng bumi menjadi lebih ringan.
Saat beban itu lebih ringan, maka lempeng bumi berpotensi terangkat. Kemudian lempeng yang selama ini menghujam bisa semakin menancap.
Namun Thomas menegaskan gerhana dan purnama bukan penyebab gempa. “Tetapi berpotensi jadi pemicu,” jelasnya.
Sehingga dia tak bisa menyimpulkan terjadinya gerhana dan bulan purnama nanti malam akan disusul terjadinya gempa bumi. “(Gempa bumi, red) tidak bisa diperkirakan,” tandasnya.
Terkait fenomena gerhana bulannya sendiri, Thomas mengatakan aman untuk diamati langsung. Dia mengatakan untuk mengamati gerhana bulan tidak perlu menggunakan kaca mata gelap seperti pengamatan gerhana matahari.
Thomas juga menjelaskan tentang penamaan gerhana super blue blood moon. “Tidak ada kaitannya dengan warna biru,” tegasnya.
Dia mengatakan disebut blue moon karena purnama kedua di bulan Januari. Kemudian dikatakan super moon karena saat purnama posisinya dalam titik terdekat ke bumi.
Nah, fenomena yang terjadi malam ini adalah gabungan antara purnama kedua di bulan Januari dan posisinya terdekat dengan bumi plus gerhana bulan total. Maka publik menyebutnya dengan istilah super blue blood moon.
“Kalau secara astronomis itu biasa,” katanya. (cj11/uni/wan/ttg/fad/ce1)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Perintah Anies Antisipasi Dampak Gerhana Bulan Total
Redaktur & Reporter : Budi