Kepedulian yang besar terhadap keselamatan pasien kedokteran nuklir di tanah air, membuat wanita asal Kota Jogjakarta ini dua kali menampik kesempatan melanjutkan studi S-3 ke luar negeri. Satu dari pakar fisikawan kedokteran nuklir yang masih langka di Indonesia ini bertekad akan mendorong terciptanya pengobatan terapi nuklir berbasis dosis individu.


Nur Rahmah Hidayati, Peneliti di Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi radiasi - Badan Tenaga Atom Nasional (PTKMR-BATAN) didepan mesin Gamma Camera BATAN.

BACA JUGA: Sultan Yogya Ajak Australia Memperkuat Perdagangan Maritim


Pemanfaatan teknologi nuklir didunia kedokteran baik untuk  mengobati maupun mendiagnosis penyakit kini mulai intensif digunakan di Indonesia. Terapi kedokteran nuklir banyak digunakan untuk penyakit kronis seperti jantung, ginjal, tumor dan yang paling umum adalah untuk pengobatan kanker.   Pengobatan dengan teknologi nuklir memanfaatkan materi radioaktif yang memancarkan radiasi untuk mendeteksi sel-sel kanker di dalam  tubuh.  Dan karena memiliki daya tembus yang tinggi,  obat yang dibuat dari zat nuklir atau radiofarmaka dapat membunuh semua sel kanker secara terarah tanpa mengganggu atau merusak sel/organ tubuh yang sehat.  Pemanfaatan teknologi kedokteran nuklir diagnostik dan terapi di Indonesia saat ini masih menghadapi sejumlah kendala, diantaranya pelayanannya masih terbatas di beberapa rumah sakit saja di Indonesia. Dan tenaga dokter yang mampu melakukan pengobatan ini hanya kurang dari 50 orang dokter saja. Namun menurut peneliti fisikawan medis dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Nur Rahmah Hidayati, kendala di sektor kedokteran nuklir tidak hanya seputar sarana dan prasarana saja. “Tahun 2012, Saya lulus dari Universitas Wollongong, NSW dan meraih gelar master di Pusat Fisika Radiasi Medis. Ketika saya kembali ke Jakarta dan mau menerapkan ilmu yang saya dapatkan di sana, ternyata Saya mendapati kalau pengkajian dosimetri internal radiasi di bidang kedokteran nuklir belum pernah dikerjakan di Indonesia.”  “Kedokteran nuklir sendiri memang sudah ada di Indonesia tapi khusus untuk masalah dosimetri atau ilmu mengukur dosis, mengkaji, mengevaluasi dan  memprediksi dosis dari radiofarmaka yang disuntikan ke tubuh pasien itu belum ada yang mengerjakan.” Menurut Nur Rahmah Hidayati (46),  ketiadaan kajian dosimetri membuat pengobatan radiofarmaka di Indonesia tidak didasarkan pada dosis per individu pasien tapi hanya mengacu pada dosis standard internasional. ”Jadi prakteknya selama ini para dokter hanya mengikuti panduan medis dari internasional, dari himpunan bukan berbasis dosis sesuai kebutuhan pasien”.  “Misal anda mau memeriksa diagnosis ginjal, dosis standarnya 10 milikuri (satuan radiasi) ya sudah segitu saja, padahal pasien kan masing-masing punya fisiologi yang berbeda. Misal pasien sama-sama berusia 20 tahun dengan berat badan 45kg,  tapi apakah kondisi ginjal mereka sama? apakah kanker di tubuh mereka itu sama? Kan berbeda-beda,” Kondisi ini juga menurut Nur Rahmah menyalahi prinsip keselamatan pengobatan radiasi. Selain itu pengobatan yang dilakukan juga tidak efektif.  “Prinsip keselamatan radiasi itu kita tidak boleh memberikan dosis yang tidak diperlukan pasien, dan dosis hanya diberikan ketika benar-benar asas manfaat itu lebih besar daripada dampaknya. "Jadi kalau tubuh saya sebenarnya membutuhkan 5 tapi dikasih 6 jadi yang lebih satu untuk apa. sebaliknya jika tubuh saya butuh 6 tapi diberi 5, maka pengobatan yang dilakukan tidak efektif,” 


Nur Rahmah BATAN dan mentornya Prof. Dale Bailey dari RS Royal North Shore, Sydney (jas) dan rekannya, Dr. Price Jackson dalam workshop dosimetri internal di Bandung Agustus lalu.


Prihatin dengan kondisi ini Ia pun berusaha untuk mengatasinya, namun sayang tidak ada pakar di Indonesia yang bisa dijadikan guru untuk memperdalam kajian dosimetri internal radiasi ini.

BACA JUGA: Semakin Banyak Pengungsi Etnis Karen Menetap di Pedalaman Australia

Nur Rahmah Akhirnya kembali melanjutkan studinya ke Australia dan berguru langsung dengan salah satu ahli dalam bidang kedokteran nuklir di Australia dan dunia, yaitu Prof. Dale Bailey dari Royal North Shore Hospital, Sydney.  Nur Rahmah belajar dengan Profesor Dale Bailey mengenai dosimetri radiasi internal selama setahun pada tahun 2013. Sekembalinya dari menimba ilmu dari pakar dosimetri radiasi internal, Nur Rahmah mulai membangun jejaring dengan rumah sakit dan praktisi kedokteran nuklir maupun produsen radiofarmaka untuk mengkampanyekan pentingnya dosimetri yang tepat untuk keselamatan pasien dan keefektifan pengobatan pasien radiofarmaka. Dua tahun terakhir jejaring yang dibangunnya berhasil mengangkat kesadaran dan kepedulian praktisi kedokteran nuklir. Jejaring ini juga berhasil membangun komunikasi yang lebih besar dikalangan dikalangan dokter dan fisikawan medis dan produsen radiofarmaka yang sebelumnya tidak ada. Dan sebagai satu-satunya peneliti yang menekuni bidang dosimetri maka Nur Rahmah banyak dimintai pendapat dan mengajarkan para dokter mengenai dosimetri yang tepat untuk masing-masing pasien. Beberapa waktu lalu, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), instansi tempat Nur Rahmah bekerja saat ini mengundang Profesor Dale Bailey dalam acara workshop pengkajian dosimetri internal di Bandung dengan mengundang rumah sakit di seluruh Indonesia  yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir.   Acara itu disambut antusias, 60 orang praktisi kedokteran nuklir dari berbagai rumah sakit di Indonesia menghadiri acara tersebut  dari hanya 40 orang yang ditargetkan. Para peserta workshop belajar langsung mengenai dosimetri internal dari pakar kedokteran nuklir di Australia itu yang ditemani rekannya Dr. Price Jackson dari Peter Mac Callum Center di Melbourne. Nur Rahmah Hidayati berharap kesadaran ini akan terus terbangun dan mengawali lahirnya protokol resmi pengobatan radiofarmaka  dengan dosimetri berbasis individu pasien. Ia berharap suatu saat kedokteran nuklir di Indonesia akan semaju di Australia. “Di Australia, karena aplikasi dosimetri internal radiasinya berbasis dosis individu maka terapi radiasi nuklir yang dilakukan menjadi lebih efeketif  dan jaringan yang sehat tidak terganggu. Akibatnya banyak pasien kanker yang kembali bisa sembuh dan hidup normal dan angka harapan hidup pasien tercapai,” Karena perannya dalam mengkampanyekan dosimetri internal radiasi ini, Nur Rahmah Hidayati mengaku telah dua kali menerima tawaran dari sejumlah lembaga untuk melanjutkan studi fisika kedokterannya ke jenjang S-3 di luar negeri. Namun Ia memilih untuk melanjutkan proyeknya mengkampanye dosimetri radias internalnya yang sudah dibangunnya dari nol dan kini sudah mulai memunculkan dampak positif bagi pasien terapi kedokteran nuklir. “Karena peneliti fisika kedokteran nuklir seperti saya di Indonesia ini masih sangat sedikit dan langka, saya khawatir kalau saya tinggalkan melanjutkan studi S-3  ke luar negeri maka upaya mengembangkan kedokteran nuklir yang lebih terstruktur di Indonesia yang sudah saya usahakan selama ini akan terbengkalai,” Nur Rahmah berharap ke depan semakin banyak generasi muda yang menekuni bidang fisika kedokteran nuklir seperti dirinya, karena tren pengobatan dengan terapi kedokteran nuklir di Indonesia akan terus berkembang dan dari hari ke hari semakin banyakorang yang beralih memanfaatkan teknologi nuklir kedokteranuntuk mengobati penyakit mereka. “Fisika kedokteran saat ini semakin berkembang, tapi masih sedikit sekali yang menekuninya di Indonesia. “ “Kedepan kasus-kasus kesehatan yang membutuhkan terapi pengobatan kedokteran nuklir semakin bertambah, seperti kanker. Tren kedokteran nuklir juga terus meningkat,” harapnya. 

BACA JUGA: Warganya Dideportasi dari Australia, Perdana Menteri Selandia Baru Kesal

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Akan Impor 200 Ribu Sapi untuk Kuartal IV, Peternak Australia Senang

Berita Terkait