jpnn.com, JAKARTA - Kabar kurang sedap kembali berembus di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Kali ini berasal dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Jember.
Penelusuran Indonesian Club, lembaga pemantau pemasyarakatan, menemukan bahwa oknum pejabat lapas setempat terindikasi melakukan praktik rasuah dan penyalahgunaan jabatan. Salah satunya memberikan perlakuan khusus kepada beberapa narapidana (napi).
BACA JUGA: Pak Wali Kota Didakwa Suap Penyidik KPK Sebesar Rp 1,6 Miliar
Indikasi itu terungkap dari terbitnya Surat Keputusan (SK) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang memberikan perlakuan khusus kepada napi berinisial ASM dengan istilah Asimilasi Insidentil.
Atas dasar itu, napi tersebut mendapat kelonggaran keluar masuk lapas setiap saat. Data yang diterima Indonesian Club, napi ASM terekam keluar lapas pada 30 Januari, 11 Februari, 4 Maret, 16 Maret, 19 Maret dan 11 April 2021.
BACA JUGA: P3S Minta Kemenkumham Usut Kasus Dugaan Penganiayaan WNA Oleh Napi di Lapas Sekayu
“Di dalam lapas Jember ada sekitar 800 napi, dan belum ada yang mendapatkan asimilasi insidentil, kecuali ASM,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesian Club Gigih Guntoro melalui siaran pers, Selasa (13/7).
Gigih melanjutkan prosedur pemberian asimilasi itu agak janggal lantaran napi ASM belum menjalani 2/3 masa hukuman. ASM divonis 6 tahun penjara dan tercatat masuk tahanan pada 15 Juli tahun lalu.
BACA JUGA: Polda Riau & Lapas Bangkinang Gagalkan Penyelundupan 108 Kg Sabu-Sabu dari Malaysia
Gigih menduga perlakuan khusus untuk napi ASM beririsan dengan barter kepentingan antara ASM dan para pejabat Lapas Kelas II Jember. Itu menyusul adanya indikasi bahwa ASM diminta untuk menanggung beban biaya pembangunan renovasi aula dan dapur lapas tahun ini.
"Sementara nota pembelian material dilaporkan dan dicairkan ke PPK (pejabat pembuat komitmen, Red) dan dana pencairan diberikan oknum pejabat lapas," bebernya.
Selain itu, Indonesian Club juga menemukan indikasi penyimpangan dalam pengelolaan kantin yang dikelola pihak ketiga. Pengelolaan itu sarat konflik kepentingan. Sebab pimpinan pengelola kantin tercatat memiliki relasi kekeluargaan dengan salah satu pejabat lapas.
“Modusnya (pengelola kantin) adalah setiap napi wajib deposit berkisar antara Rp 500.000 - Rp 1 juta, digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari," terangnya.
Bukan hanya itu, Indonesian Club juga menemukan dugaan pungutan liar (pungli) dalam program sarana asimilasi dan edukasi.
Napi berinisial HAM yang menjadi korban pungli harus mengeluarkan uang Rp 25 juta agar bisa ditempatkan di lapas terbuka sebagai program asimilasi Covid-19.
“Di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, praktik pungli semacam ini sangat memprihatinkan,” imbuhnya.
Gigih meminta Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM untuk turun langsung menelusuri data dan fakta yang ditemukan di lapas Jember itu.
Dia berharap Kemenkumham bisa melakukan investigasi menyeluruh guna membongkar dugaan praktik korup di tengah masa pandemi Covid-19.
“Tanpa penegakan hukum yang memiliki efek jera maka praktik korup semacam ini tidak akan pernah hilang dari lapas," ujar Gigih.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich