jpnn.com, JAKARTA - Peneliti 7 (Seven) Strategic Sudies, Girindra Sandino mengingatkan penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pihak keamanan dan masyarakat untuk mengantisipasi dua belas titik kerawanan pada Pemilu 2019 mendatang. Hal tersebut disampaikan Gerindra Sandino yang juga Wakil Sekjen KIPP Indonesia di Jakarta, kemarin (28/1).
Menurut Gerindra, proses pemilu yang berkualitas, beradab, bermartabat, bersih sangat menentukan untuk menghasilkan pemimpin yang sesuai harapan rakyat Indonesia.
BACA JUGA: Hambat Peredaran Indonesia Barokah, Polri Gandeng PT Pos
Berikut ini 12 poin kerawanan yang berpotensi terjadi pada Pemilu 2019:
Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan instrumen paling mendasar dari penyelenggaraan pemilu. Saat ini masih ada sekitar 5,38 juta penduduk Indonesia belum melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP). Belum lagi, masih saja ditemukan permasalahan DPT di berbagai daerah.
BACA JUGA: Survei CPCS: Ini 5 Partai Pilihan Generasi Milenial
Oleh karena itu, potensi rawan jika DPT tidak akurat sehingga ada penambahan logistik yang berpotensi disalahgunakan untuk kecurangan. Karena DPT tentu yang paling krusial adalah pemenuhan hak konstitusional warga negara, juga berpengaruh pada proses produksi dan distribusi logistik.
Kedua, proses produksi dan distribusi logistik juga merupakan titik rawan yang harus segera diantisipasi. Misalnya, apakah sudah tepat jumlah mengingingat DPT terus berubah atau dalam proses perbaikan, walau ada tambahan 2,5 persen per TPS. Apakah distribusi logistik tepat sasaran atau lokasi.
BACA JUGA: Jurus Caleg Rocker PDI Perjuangan Jokowikan Penjaringan
Ketiga, Potensi mobilisasi pemilih fiktif dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). DPK adalah warga yang punya hak pilih namun belum terdata dalam DPT. Pemilih kategori ini bisa menggunakan hak pilihnya cukup dengan membawa e-KTP di TPS terdekat sesuai alamat pada e-KTP. Ini juga yang menjadi titik rawan yang bisa dijadikan lahan untuk pemilih siluman.
Keempat, potensi surat suara tertukar, menurut pengalaman Pemilu 2014 banyak surat suara tertukar. Tertukar antar-daerah pemilihan (dapil) dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Artinya, dalam hal ini tidak ada kesalahan dari pihak perusahaan. Dugaan kuat kesalahan dari pihak KPU Kab/Kota pada saat menyortir surat suara. Kedua, tertukar antar dapil beda kab/kota. Ini kesalahan perusahaan dalam hal pengiriman dan juga kesalahan KPU Kab/Kota yang tidak mengecek lagi surat suara yang sudah sampai; Ketiga, juga ada perusahaan yang surat suaranya salah cetak.
Sebagai contoh seharusnya di dapil tersebut ada 5 calon, namun pada kertas surat suara ada 6. Keempat, Ada juga salah cetak yang model seharusnya dia caleg DPR RI, akan tetapi ternyata tercantum di surat suara DPRD provinsi. Hal ini bisa meenciptakan situasi yang tidak kondusif pada hari H pemilihan suara.
Kelima, independensi penyelenggara dari pusat hingga kab/kota harus di awasi. Institusi maupun komisioner KPU serta jajaran sekretariat KPU selama masa jabatannya harus tidak berada dalam rentang kendali (span of control) politik para konstentan pemilu maupun pendukungnya serta pihak mana pun yang mempunyai kepentingan politik dalam pemilukada, pemilu legislatif, serta pemilu Presiden. Kerap kali ada saja penyelenggara “nakal”. Oleh karena itu KPU RI harus terus focus mensupervisi jajaran bahwannya
Keenam, masa kampanye yang sat ini sudah mulai ramai juga merupakan titik rawan, harus diantisipasi dan dipantau apakah mereka kontestan pemilu menggunakan fasilitas negara atau tidak. Juga politik uang pasti tidak dapat dihindari di tahapan kampanye.
Hingga masa tenang, pengalaman kami di pemantauan pilkada dan pemilu 2014 di beberapa daerah, politik uang paling banyak ditemukan pada masa tenang. Misal, serangan fajar, semua tim operasi politik uang berkumpul di tempat korlapnya. Menjelang pagi mereka mengetuk satu persatu pintu warga untuk membagikan uang. Ironinya, pelakunya itu-itu juga yang sudah terbiasa lihai menangani jual beli suara
Ketujuh, Kemudian pengalaman saya sewaktu koordinator lapangan KIPP Indonesia dalam pemantauan pilkada kadang di kelurahan ada penimbunan formulir C6 (surat undangan untuk pemilih dan lokasi TPS), yang belum diberikan kepada pemilih.
Penimbunan surat undangan pemilih atau formulir C6. Modus ini sangat banyak ditemukan pada masa-masa tenang Pilkada dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi di pemilu 2019. Tujuannya adalah untuk membingungkan pemilih lokasi dimana tempat memilih, membuat pemilih kehilangan hak pilihnya, dan membuka peluang masuknya “pemilih siluman”.
BACA JUGA: Hasil Survei Jelang Pemilu 2019 Ini Sungguh Mengejutkan
Kedelapan, potensi pelanggaran pada masa tenang menurut pengalaman kami adalah banyak oknum baik dari Timses maupun pendukungnya (Baca: orang suruhan) bergerak memasuki kantong-kantong suara untuk membagikan sembako,sejumlah uang atau perangkat ibadah yang tertempel gambar paslon. Modus ini cukup efektif merubah pilihan pemilih dalam waktu semalam pemilih dapat berubah pikiran, walau sudah mentapkan pilihan jauh-jauh hari.
Di masa tenang juga harus diantisipasi mobilisasi pemilih yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada masa tenang menurut pengalaman Pemilu maupun Pilkada lalu, ada saja ASN dengan dalih kegiatan tertentu mengajak warga kumpul untuk mengarahkan pemilih memilih palon tertentu, bahkan sedikit mengintimidasi. Yang paling rawan adalah di tingkat kelurahan atau nama lainnya.
Kesembilan, di hari H, rekapitulasi suara oleh PPS di tingkat desa dan kelurahan. pengalaman pada Pemilu Orde Baru, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004,2009, 2014, selalu ada mobilisasi kekuatan politik yang dilakukan di tingkat desa dan kelurahan sebagai sebuah entitas politik dan belum ada kajian serta solusi untuk mengeliminir potensi kecurangan itu agar tidak terjadi pada pemilu 2019. Saat pemilu 2014 banyak petugas penyelengara seperti PPS yang melakukan ancaman pengunduran diri massal di tingkat PPS karena alasan yang beragam, seperti honor yang rendah namun tanggung jawab yang besar, ditambah sanksi pidana dan denda jika melakukan kelalaian. Bukan hanya di tingkat PPS saja, namun di tingkat kecamatan, kabupaten hingga pusat juga rawan. Hal ini tentu akan berpeluang menimbulkan konflik, celah kecurangan semakin menganga dengan politik uang untuk penyelenggara jajaran bawah.
Kesepuluh, ketidakpahaman dan kelalaian penyelenggara tingkat bawah, yakni KPPS, ketika ada pemilih yang memenuhi syarat memilih akan tetapi tidak dapat memilih, seperti pemilih yang belum terdaftar di DPT namun memiliki E-KTP, atau pindah domisili, dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan potensi konflik di wilayah tersebut.
Kesebelas, intimidasi berbentuk hasutan kebencian atau SARA diprediksi akan terjadi dalam Pemilu serentak kali ini. Coblos missal yang terjadi di Pemilu 2014 jangan sampai terulang lagi, seperti di Pemilu 2014 lalu, di Ketapang Barat, Sampang, Madura telah ditemukan kejanggalan di 17 TPS, dimana suara dari salah satu pasangan capres dan cawapres nihil. Hal ini jelas menjadi pertanyaan besar publik yang mengundang kecurigaan.
Keduabelas, berita-berita hoaks akan terus bergulir, dan puncaknya diprediksi akan masif menjelang dan di masa tenang, hingga hari pemungutan suara.
“Ini harus diantisipasi oleh semua pihak. Khususnya pihak keamanan harus betul-betul merespons cepat jika ada berita yang berpotensi mengganggu jalannya proses penyelenggaraan pemilu, khususnya di hari H dan tahapan rekapitulasi,” katanya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Misbakhun Gembleng Tekun demi Menangkan Jokowi di Tapal Kuda
Redaktur & Reporter : Friederich