GKR Mangkubumi juga Akan Bergelar Sultan Hamengku Buwono?

Kamis, 04 April 2019 – 04:35 WIB
GKR Pembayun (kiri). Foto: Guntur Aga Tirtana/Radar Jogja/JPG

jpnn.com, JOGJA - Sekretaris Pawiyatan Pamong Fajar Sudarwo memberikan sinyal peluang Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sebagai penerus takhta Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat semakin kuat.

Meskipun sebenarnya pernyataan Fajar Sudarwo yang menyebut penobatan GKR Mangkubumi menjadi penerus takhta kasultanan tinggal menungu waktu, bukanlah hal baru.

BACA JUGA: GKR Mangkubumi Berpeluang Besar jadi Penerus Takhta

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ummahat KH Abdul Muhaimin juga mengatakan, jumenengan itu hanya tinggal menunggu momentum yang tepat.

“Prediksi kami sejak awal jauh-jauh hari yang lalu, cepat atau lambat GKR Pembayun akan tetap dijumenengke,” ungkap KH Abdul Muhaimin di kediamannya, seperti diberitakan Radar Jogja (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Sebaiknya Media Pakai Nama Hamengku Buwono X, Bukan HB Ka 10

BACA JUGA: GKR Mangkubumi Berpeluang Besar jadi Penerus Takhta

Muhaimin dalam kesempatan itu enggan menyebut nama Mangkubumi. Alasannya, pihaknya bersama sejumlah elemen Penegak Paugeran menolak Sabdaraja 30 April 2015. Isinya tentang pergantian nama Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Juga menolak Dawuhraja 5 Mei 2015 tentang nama GKR Pembayun diganti menjadi GKR Mangkubumi.

BACA JUGA: Temui Sultan HB X, Kiai Maruf Salat Sunat di Masjid Keraton

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) itu juga tercatat menjadi pihak yang melakukan perlawanan atas gugatan pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ di Mahkamah Konstitusi (MK). Muhaimin menolak dihapuskannya syarat pengajuan biodata istri yang harus diajukan calon gubernur DIJ.

Kembali soal kans Pembayun menjadi raja, Muhaimin memprediksi akan tetap menggunakan gelar Sultan Hamengku Buwono berikut gelarnya, sesuai bunyi pasal 1 angka 4 UUK. Dengan demikian, nantinya akan muncul dalam sejarah adanya Sultan Hamengku Buwono, tapi dijabat perempuan.

“Itu persis seperti pandangan hukum penasihat hukum keraton Andi Irmanputra Sidin,” ulasnya.

Sebagaimana diketahui, saat berbicara di depan para pejabat Pemprov DIJ beberapa waktu lalu, Irman menyebut sebutan Hamengku Buwono merupakan nomenklatur jabatan. Alasannya sudah masuk dalam UUK.

Hamengku Buwono tak mengenal jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Karena itu, bisa saja Sultan Hamengku Buwono dijabat perempuan bernama Pembayun atau Mangkubumi.

Muhaimin meyakini opini yang disampaikan Irman akan menjadi dalih bagi mereka yang mendukung gugatan pasal 18 ayat (1) huruf m UUK. “Jumenengan itu hanya soal waktu saja,” ungkapnya.

Muhaimin mengingatkan jika itu tetap dilakukan akan muncul banyak risiko yang harus ditanggung keraton dan masyarakat DIJ. Penobatan itu akan menimbulkan kerusakan kultural, mitologis dan yuridis bagi keistimewaan DIJ. “Kalau mau rusak, silakan ditabrak,” sindirnya.

Di samping itu, jika nantinya Pembayun hendak diarahkan menjadi gubernur, maka ada beberapa ganjalan. Putusan MK, kata dia, tidak cukup dapat meloloskan dengan mudah. Sebab, ada 22 pasal lain di UUK yang dapat menjadi ganjalan. “Prosesnya tidak mudah,” tegasnya.

Muhaimin mengakui, menyikapi ontran-ontran di keraton tidak cukup masyarakat yang bersuara. Dia meminta para putra-putri dalem HB IX mestinya juga mengambil langkah nyata dalam merespons setiap dinamika yang terjadi.

Dukungan masyarakat akan lebih terasa dasyat jika putra-putri dalem HB IX juga mengambil langkah penyelamatan dan paugeran keraton. “Tanpa itu jalan terjal yang mengadang,” ujarnya.

Sampai saat ini kekuatan yang mengawal tegaknya paugeran adat keraton tetap solid. Mereka secara periodik menggalang pertemuan. Kekuatan itu, antara lain, paguyuban dukuh, lurah dan elemen masyarakat lainnya. “Kami masih solid,” ungkap pria yang tinggal di Prenggan, Kotagede ini.

Terpisah, Pengamat Budaya Jawa Dr Purwadi MHum mengatakan, ungkapan laku, lakon dan lampah sebagai prasyarat calon pewaris takhta merupakan tafsir baru. Sebab, dalam sejarah suksesi Kerajaan Mataram prasyarat semacam itu belum pernah terjadi.

“Jadi bisa sangat lentur bergantung pada yang menafsirkan dan cara menafsirkan,”katanya.

Dia pun tak bisa berkomentar lebih jauh menanggapi sinyal yang disampaikan Jarwo. Menurut dia, sebagai sekretaris Pawiyatan Pamong, Jarwo punya kebebasan menyampaikan dan menafsirkan makna laku, lakon dan lampah. (kus)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerebeg Besar untuk Rakyat Jogja


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler