jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mengkritik keras Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diajukan pemerintah.
Salah satu bagian yang disoroti GMNI adalah pasal tentang Tindak Pidana Ideologi Negara.
BACA JUGA: DPR RI Sudah Tak Bahas RKUHP, Cuma Waktu Pengesahan Masih Tanda Tanya
Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi menyatakan logika hukum yang dibangun pemerintah dalam menyusun materi hukum pasal tersebut patut dipertanyakan.
"Berdasarkan pendapat Jan Remmelink, Hukum Pidana memiliki karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah. Perintah dan larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana," ujar Imanuel.
BACA JUGA: Sikap Pemerintah soal RKUHP: Penghina Presiden hingga DPR Bisa Dipidana
Namun, pasal 188 ayat (1) dalam RKUHP tentang Tindak Pidana Ideologi Negara justru menimbulkan absurditas dalam kerangka berpikir secara akademik.
Di dalam pasal tersebut tidak pernah ada suatu perintah dan larangan yang tegas.
BACA JUGA: Dasco Berharap RKUHP Dirampungkan pada 2022Â
"Lalu apa yang dimaksud dengan 'lain-lain'? Lalu apa yang dimaksud dengan benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila? Hal-hal ini, menimbulkan kekacauan sistematika hukum positif Indonesia karena akan sulit mendakwa dan membuktikan sebuah tuntutan yang sangat abstrak dan bersifat tafsir," tegas Imanuel.
Konsekuensi logis dari adanya pasal tersebut, adalah pemahaman teks Pancasila secara sistematis harus bersifat tunggal, pasti, dan mutlak. Artinya, setiap rezim yang berkuasa pasti akan memberi tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Imanuel pun mengungkapkan, secara historis, pengaturan kejahatan ini terkait erat dengan lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Artinya, tegas Imanuel, dalam RKUHP ini masih kental nuansa otoritarianisme ala Orde Baru. RKUHP yang disodorkan pemerintah saat ini isinya justru mengingkari semangat awal revisi KUHP peninggalan kolonial, yang katanya untuk dekolonisasi.
Namun, pasal demi pasal yang terkandung didalamnya, justru semakin mendegradasi praktik demokrasi di Indonesia karena sarat nuansa otoritarianisme.
"Pasal 188 tentang Tindak Pidana Ideologi Pancasila, Pasal 218 tentang Kritik Terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang Kritik Terhadap Pemerintah, pasal 273 tentang demonstrasi, dan masih banyak lagi, semakin menguatkan asumsi bahwa RKUHP ini menjadi instrumen penguatan negara otoritarian yang represif terhadap warga negaranya sendiri, khususnya yang dianggap bertentangan dengan sikap penguasa," tegas Imanuel.
Maka, DPP GMNI pun menilai, RKUHP yang diajukan pemerintah tak bermaslahat untuk rakyat. RKUHP yang sarat nuansa otoritarianisme ini merupakan alat dari oligarki penguasa politik dan ekonomi dalam melanggengkan kekuasaan.
Imanuel menyatakan ketika pemerintah sedang gencar mengundang investasi asing masuk ke Indonesia saat ini, yang salah satu syaratnya adalah stabilitas politik maka pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP harus dilihat sebagai salah satu upaya kelompok oligarki memelihara kapitalisme di Indonesia.
"Meminjam istilah salah satu filsuf terkemuka Perancis Louis Althusser, aparatus ini ada dua, represif dan ideologis. Dan pasal-pasal kontroversial di RKUHP ini adalah instrumen aparatus represif guna membentengi proses-proses ideologisasi oleh oligarki yang otoriter," papar Imanuel.
Imanuel memaparkan, otoritarianisme bernuansa nasionalisme simbolik sebagaimana tampak pada pasal 188 dan pasal lainnya yang serupa, serta sektarianisme yang muncul di Pasal 415 merupakan wujud represifitas oligarki guna memperlancar masuknya investasi melalui pembungkaman dan pemecah-belahan rakyat.
"Maka, GMNI menilai RKUHP ini hanya alat oligarki untuk 'membunuh' demokrasi rakyat di negeri ini," tegasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif