Golkar Kopeg

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 20 Oktober 2022 – 17:25 WIB
Ilustrasi Partai Golkar. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Partai Golkar hari ini (20/10) berulang tahun ke-58. 

Golkar menjadi partai penyintas yang berhasil melewati episode krusial reformasi 1998 yang menggulingkan Soeharto dan rezim Orde Baru.

BACA JUGA: Capres KIB Dideklarasikan September 2023, Begini Permintaan Airlangga Kepada Kader Golkar

Golkar yang menjadi anak kandung dan sekaligus mesin politik Orde Baru selama 32 tahun, bisa lolos dari serangan publik dan bermetamorfosis secara cepat menjadi pemain baru yang lihai di era reformasi.

Bahkan, dalam pemilu demokratis pertama di era reformasi pada 2004, Golkar bisa bounce back, memantul kembali, dan menjadi partai pemenang dengan perolehan suara 21,57 persen. 

BACA JUGA: Prananda Surya Paloh Pamer NasDem Jadi Pelopor Mengusung Figur Capres

Perolehan ini hanya turun 1 persen dari perolehan pemilu 1999 sebesar 22, 43 persen. 

Setelah itu, Golkar selalu menjadi partai runner up di bawah PDIP yang menjadi pemenang dalam dua kontestasi pemilu terakhir.

BACA JUGA: NasDem Buka Peluang, Anies-Ganjar di Pilpres 2024 Bisa, nih?

Menjadi penyintas Orde Baru dan tetap bisa bertahan pada 3 besar menunjukkan Golkar sebagai partai ‘’kopeg’’, artinya bandel dan keras kepala, sehingga bisa melewati badai reformasi 1998 dan bertahan sampai sekarang. 

Kata kopeg berasal dari bahasa Belanda ‘’koppig’’, yang artinya keras kepala, bandel, atau dalam bahasa Jawa disebut ‘’ndablek’’.  

Golkar bisa disebut sebagai partai yang benar-benar kopeg.

Setelah melewati kepemimpinan banyak ketua umum, sampai sekarang Golkar mempunyai problem yang bisa menjadi persoalan laten. 

Golkar mengalami kesulitan bersaing dengan PDIP antara lain karena tidak memiliki ikon dan tokoh sentral yang layak jual. 

Dalam hal ini PDIP mempunyai Megawati Soekarnoputri, Gerindra mempunyai Prabowo Subianto, Partai Nasdem punya Surya Paloh, dan Partai Demokrat punya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Karakteristik politik Indonesia sekarang ini masih diwarnai secara kental oleh patronase, parpol harus memiliki tokoh sentral sehingga mempermudah pemilih untuk mengidentifikasi partai tersebut. 

Hal ini karena umumnya partai politik di Indonesia tidak mempunyai garis ideologi yang tegas yang bisa membedakan satu partai dengan lainnya.

Seorang pengamat politik menyebut parpol di Indonesia serbaabstrak. 

Partai abstrak, platform partai abstrak, visi misi partai juga abstrak. 

Karena itu, parpol membutuhkan ikon dan simbol yang bisa menjadi identitas partai. 

Dalam sistem kepartaian modern fenomena di Indonesia ini menunjukkan level yang belum profesional. 

Kebergantungan yang tinggi terhadap patronase membuat parpol belum bisa berjalan di atas sistem yang profesional. 

Di negara demokrasi maju seperti Amerika dan Inggris, partai politik dikenal karena ideologinya bukan karena ketua partainya. 

Partai Demokrat di Amerika beraliran liberal dan Partai Republik berideologi konservatif. 

Di Inggris Partai Buruh berhaluan kiri liberal dan Partai Konservatif berhaluan kanan.

Partai-partai politik di Indonesia rata-rata masih mengandalkan karisma ketua umum sebagai daya tarik, dan sekaligus sebagai calon yang diajukan sebagai presiden dari pemilu ke pemilu. 

Kelangkaan tokoh ikonik di parpol itulah yang membuat konstelasi politik menjelang Pilpres 2024 nanti berada pada posisi ‘’political stalemate’’ atau kebuntuan politik.

Posisi stalemate terjadi ketika berbagai kekuatan yang bersaing berada pada keadaan seimbang, dan merasa tidak mampu mengatasi lawan dengan melakuka serangan. 

Karena itu, semua pihak memutuskan untuk diam pagsif dan tidak melakukan serangan.

Stalemate politik ini sekaran dialami oleh Golkar bersama dua teman koalisinya dalam KIB (Koalisi Indonesia Bersatu), yaitu PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). 

Sama dengan Golkar, PAN dan PPP sama-sama tidak punya jago untuk dimajukan pada Pilpres 2024.

Karena kelangkaan jago itulah ketiga parpol ini diduga melakukan koalisi untuk menjadi sekoci penyelamat untuk menampung Ganjar Pranowo, gubernur Jateng yang dipersiapkan oleh Presiden Jokowi sebagai suksesor. 

Golkar dan dua teman koalisinya ini menjadi partai Kopeg alias Koalisi Pendukung Ganjar.

Ketiga partai itu mencuri start sebagai koalisi pertama yang akan bergabung dalam kontestasi Pilpres 2024. 

Gabungan tiga partai itu sudah memenuhi syarat perolehan kursi 20 persen untuk mengusung calon presiden, seperti yang disyaratkan oleh undang-undang.

Biasanya, pembentukan koalisi selalu disertai dengan dimunculkannya calon presiden yang hendak didukung. 

Akan tetapi, KIB ini memang beda dari kelaziman pada umumnya, karena tidak mempunyai calon presiden yang akan didukung. 

Biasanya, masing-masing ketua partai diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. 

Akan tetapi, tiga partai anggota KIB sama-sama tidak berani mencalonkan ketua umumnya untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.

Sampai sekarang KIB tetap mengambang tidak punya calon  presiden yang diusung. 

Tiga ketua umum dari tiga partai anggota KIB itu tidak layak menjadi calon presiden, karena namanya tidak pernah muncul secara signifikan dalam berbagai survei. 

Di antara 3 ketua umum, hanya ketua umum Golkar Airlangga Hartarto yang disodorkan oleh partainya sebagai calon presiden.

Nama Airlangga Hartarto sudah dimunculkan dalam berbagai kesempatan. 

Berbagai upaya untuk memasarkan Airlangga sudah dilakukan. 

Baliho sudah dipasang di berbagai sudut kota besar di seluruh Indonesia. 

Akan tetapi, hasilnya tidak terlalu signifikan. 

Nama Airlangga tetap berada pada klasemen bawah survei calon presiden dan elektabilitasnya tidak pernah bisa menembus 2 persen.

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mendorong tingkat keterpilihan Airlangga Hartarto, tetapi hasilnya tidak signifikan. 

Karena itu, langkah paling realistis dari KIB adalah menjadi Kopeg, menyiapkan sekoci untuk Ganjar jika sewaktu-waktu dia harus maju tanpa mempergunakan kendaraan dari PDIP.

Ganjar Pranowo sendiri sudah mulai berani membuka front. 

Kalau biasanya dia selalu menghindar ketika ditanya mengenai kesiapannya menjadi capres, kali ini dia mengatakan kesiapannya maju sebagai calon presiden.

Berbagai spekulasi bermunculan. Dengan pernyataan yang eksplisit ini berarti Ganjar sudah mendapatkan lampu hijau untuk mulai berjalan.

Lampu hijau itu mungkin saja berasal dari Jokowi. 

Kendaraan yang dipakai adalah Partai Kopeg. Kompensasinya, Airlangga Hartarto akan menjadi running mate, calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo.

Kemungkinan berikutnya adalah PDIP akhirnya insaf, dan harus ikhlas mencalonkan Ganjar Pranowo, karena PDIP tidak punya jago yang layak tanding. 

Memaksakan Puan Maharani menjadi calon presiden membawa risiko besar, karena sampai sekarang elektabilitas Puan berada di urutan buncit dan tidak beranjak dari angka satu koma.

Kalau akhirnya Megawati Soekarnoputri harus mengikhlaskan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP, berarti sudah 3 kali berturut-turut Mega menjadi korban kudeta senyap anak buahnya sendiri. 

Kali ini, Ganjar Pranowo sukses melakukan kudeta senyap dengan menempatkan Mega pada posisi dilematis; mencalonkan Puan akan kalah, atau mencalonkan Ganjar dengan risiko Mega gagal membawa trah Sukarno menjadi presiden. 

Kalau Mega memilih alternatif kedua, Golkar akan dengan senang hati menjadi Kopeg, alias Koalisi Pengusung Ganjar. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler