jpnn.com - JAKARTA - Meski Partai Golkar masuk dalam koalisi Merah Putih kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, namun sejumlah politisi senior dari partai ini ternyata mulai menyatakan sikap untuk tetap bergabung dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Hal itu dilakukan, jika pasangan nomor dua ini memenangi penghitungan manual atau real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli nanti.
BACA JUGA: Klaim Kurangi Pemudik Motor
Pernyataan yang dikemukakan oleh Agung Laksono itupun ditangapi sinis oleh sejumlah pengamat politik. Bagi Direktur Sigma Indonesia Said Salahudin, meski terkesan ada konflik internal, namun Golkar tetap memainkan peranan politik dua kaki atau akan mengambil untung siapapun pemenang pilpres mendatang.
“Tak dipungkiri memang ada konflik internal. Tetapi politik ‘dua kaki’ oleh partai itu tetap dijalankan. Artinya meski ke Prabowo, namun jika Jokowi yang menang, partai beringin ini tetap akan berkoalisi. Hal itu demi penyelamatan diri mereka masuk dalam kabinet pemerintahan baru,” kata Said, kepada INDOPOS, kemarin (12/7).
BACA JUGA: Biaya Naik, Paspor Jamaah Haji Tetap Digratiskan
Said pun mengungkapkan perjalanan partai ini di era reformasi selalu gagal di Pilpres.
"Sejak sistem pemilihan presiden dipilih secara langsung, pada tahun 2004 dan 2009, calon presiden dari Partai Golkar selalu kalah tapi selalu untung. Pasalnya, Partai Golkar tetap mendapat jatah kekuasaan di pemerintahan meskipun kalah di pilpres," ungkapnya.
BACA JUGA: THR Bisa Berupa Parsel Lebaran
Ia menjelaskan hal itu bisa terjadi karena Golkar tanpa rasa malu membuat deal politik dengan dengan pemenang pilpres. Celakanya, pemenang pilpres pun biasanya tak punya nyali untuk menolak hasrat dan syahwat politik Golkar. Bahkan Golkar kerap memainkan peranan baik di pemerintahan maupun dinamika politik di parlemen.
"Ini semua terjadi karena kekuatan Golkar memang masih kuat dalam realitas politik di negeri ini," tuturnya.
Karenanya, lanjut Said, dalam sejarah politik Indonesia, tak jarang, Partai Golkar kerap menjadi bandul politik yang menjadi penentu lahirnya kebijakan. "Itulah hebatnya Partai Golkar dalam menyusun strategi pertarungan politik dalam perebutan kekuasaan," ucapnya.
Seperti diketahui, hasil pilpres 2004, pasangan capres Golkar Wiranto-Salahudin Wahid kalah oleh pasangan SBY-JK. Bahkan capres Golkar hanya berada di posisi ketiga, di bawah cares dari PDIP Megawati-Hasyim Muzadi yang berada di posisi kedua.
Begitupun di pilpres 2009, pasangan capres Golkar kembali keok dikalahkan oleh pasangan SBY-Boediono yang diusung Demokrat. Golkar kembali di posisi ketiga, di bawah capres Megawati-Prabowo. Waktu itu Golkar mengusung ketumnya JK berpasangan dengan Wiranto.
“Intinya, Golkar itu partai cerdik dan tak tahu malu. Walau kalah di Pilpres tetap saja mau berkoalisi demi duduk di pemerintahan,” pungkasnya menambahkan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat politik M Qodari yang mengatakan, munculnya gejolak di internal Golkar semakin menarik karena waktunya berdekatan dengan Pilpres. Namun Golkar diyakini tetap akan mengikuti siapa pun yang menjadi pemenang.
"Menurut saya, Golkar itu kan beringin yang bergerak kemana arah angin kekuasaan bertiup," ujar Qodari di Jakarta. (dli)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPI Dijadwalkan Panggil Direksi RRI Hari Ini
Redaktur : Tim Redaksi