jpnn.com - KUPANG - Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden telah usai. Pleno rekapitulasi perolehan suara di tingkat provinsi, Jumat (18/7) juga sudah final. Sayangnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2014 justru mengalami penurunan dibanding dengan pemilihan legislatif (pileg).
Catatan KPU NTT pada pleno rekapitulasi suara menunjukkan bahwa pemilih yang terdaftar, baik dalam DPT, DPTb, DPK dan DPKTb sebesar 3.237,432 pemilih di 21 kabupaten/kota. Sedangkan yang berpartisipasi untuk memilih hanya sebesar 2.274,079 pemilih. Dengan demikian, sebanyak 963,353 pemilih tidak menggunakan hak pilih. Angka ini tentu belum termasuk dengan mereka yang tidak terdaftar sama sekali.
BACA JUGA: Tiga Kawanan Jambret Jebol Tahanan Polisi
Ketua KPU NTT, John Depa telah mengakui hal ini usai pleno rekapitulasi suara.
"Partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2014 menurun, dimana hanya mencapai 70,2 persen. Sedangkan partisipasi masyarakat pada pileg lalu mencapai 76,9 persen," ujar John.
BACA JUGA: Puncak Arus Mudik Diprediksi Terjadi 25 Juli
Kendati demikian, dia meminta semua elemen masyarakat untuk mawas diri karena persoalan yang ada tidak semata-mata dikarenakan kurangnya sosialisasi dari KPU selaku penyelenggara.
Terkait fakta ini, pakar Hukum Tata Negara Undana, John Tuba Helan mengetengahkan beberapa alasan yang mendasari masyarakat untuk tidak berpartisipasi dalam Pilpres 2014. Faktor pertama yang paling sederhana yakni Pilpres dilaksanakan bertepatan dengan masa liburan dan masa pendaftaran untuk sekolah atau kuliah.
BACA JUGA: Pemudik Motor Mulai Lintasi Jalur Pantura Cirebon
"Akibatnya ada yang berlibur sehingga banyak yang tidak menggunakan hak pilih karena tidak mengurus A5. Dan orang merasa bahwa kepentingan studi harus diutamakan bukan mengikuti pilpres," katanya.
Faktor kedua, kata John, yakni masyarakat sudah terbiasa dengan politik uang. Pada pileg lalu, semua caleg berusaha meraih kursi legislatif. Akibatnya mereka mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang dan barang. Kenyataan ini justru berbanding terbalik dengan Pilpres yang dalam kenyataannya cukup bersih dari politik uang.
"Yang terima uang atau barang pasti menggunakan hak pilih. Dan ketika Pilpres hampir tidak ada politik uang, maka masyarakat merasa bahwa mereka tidak diberi apa-apa sehingga mereka tidak perlu menggunakan hak pilih," ujarnya.
Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah merupakan faktor yang paling mendasari masyarakat tidak menggunakan hak pilih. Menurut John, korupsi yang marak di dalam pemerintahan tak jarang membuat masyarakat merasa pemilu tidak memiliki arti dan perubahan yang bermakna. Pemilu hanyalah kesia-siaan belaka yang tetap menghasilkan pemimpin yang tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
"Dan memang orang sudah jenuh karena pemilu terlalu banyak dilakukan. Contohnya, tahun 2012 ada pemilihan walikota, tahun 2013 ada pemilihan gubernur. Di tahun 2014 ini bahkan ada pileg dan pilpres. Lama-kelamaan partisipasi pemilih bisa di bawah angka 50 persen dan jangan heran demokrasi kita hancur. Ini yang perlu disikapi dan evaluasi mengingat pemilu menghabiskan biaya yang tidak sedikit,"pungkasnya. (mg-19/sam/boy)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Partisipasi Pemilih di Sultra Anjlok
Redaktur : Tim Redaksi