jpnn.com - Penampilan pabrik yang seadanya tidak lantas membuat Gong Home berkelas amatiran. Alat musik tradisional yang dibuat di pabrik berusia 230 tahun itu pun telah terjual ke berbagai negara sejak zaman penjajahan.
Laporan Agus Wirawan, Bogor
BACA JUGA: Bahkan Ada yang Berteriak, Hidup Malaysia!
DENGAN tertatih-tatih Haji Sukarna, 87, menyeberangi Jalan Raya Pancasan, Bogor, yang saat itu sedang ramai. Pria tua tersebut menuju pabrik gong miliknya tepat di depan rumahnya. Biasanya dia mulai beraktivitas pukul 08.00, tapi hari itu baru bisa masuk pukul 11.00. Dia sedang tidak enak badan.
”Lagi meriang beberapa hari ini,” ujar pria kelahiran Bogor, 1 Februari 1928, tersebut saat ditemui Senin (30/3).
BACA JUGA: Jeck Kurniawan Siompo Pui, Koreografer Papua yang Mendunia
Sekilas tidak tampak aktivitas di bangunan tua yang terimpit ruko dan rumah-rumah penduduk itu. Hanya ada tulisan Gong Factory bercat merah yang mulai mengelupas di tembok. Masyarakat sekitar lebih sering menyebut pabrik itu sebagai Gong Home karena bangunannya yang seukuran rumah warga di situ.
Tidak ada pintu di depan untuk melihat aktivitas di dalam home industry tersebut. Untuk masuk, pengunjung harus melalui gang kecil yang berada di samping kanan bangunan. Di tembok samping masih terlihat batako yang belum tertutup semen. ”Sudah puluhan tahun belum direnovasi. Percuma, asapnya sering bikin hitam tembok,” kata Sukarna.
BACA JUGA: Kisah Perempuan Bertahan Hidup dengan Satu Paru-paru
Di dalam bengkel tersebut hampir setiap hari arang dibakar untuk menghasilkan bara api yang sangat panas –lebih dari 400 derajat Celsius– untuk membakar campuran timah dan tembaga sebagai bahan baku peralatan musik gamelan itu.
”Proses ini tidak boleh asal-asalan. Campurannya harus pas karena akan memengaruhi kekuatan dan suara gong atau alat yang lain,” jelas dia.
Ketika diminta menerangkan secara detail campuran yang pas untuk memperoleh suara yang pas tersebut, Sukarna menolak. Dia berdalih, itu adalah rahasia setiap pembuat gamelan. ”Anak saya saja sampai sekarang belum terlalu bisa. Nggak bisa sembarangan,” katanya.
Sejak tiga bulan ini Sukarna memang mulai mendorong anak tertuanya, Krisna Hidayat, 35, untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin pabrik itu. Sarjana ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu mulai diminta mengawasi kegiatan pabrik yang sekarang menjadi salah satu tujuan wisata rekomendasi Pemkot Bogor tersebut.
”Dia kadang ada kadang nggak, maklum anak muda. Apalagi, di pabrik kan ngebul (asapnya, Red),” ujarnya.
Krisna dipilih karena anak laki-laki satu-satunya, dua adiknya perempuan. Sukarna berharap suatu saat Krisna bisa meneruskan bisnis keluarga itu jika dirinya telah tiada. ”Dia nanti menjadi generasi penerus ketujuh pabrik ini,” ungkapnya.
Sukarna berjanji sampai kapan pun akan mempertahankan pabrik gong tersebut. Apa pun kesulitannya akan dilalui dengan senang hati. Bagi dia, tetap memproduksi alat musik tradisional seperti gong berarti turut melestarikan budaya bangsa.
”Membuat gong ini bukan hanya sebuah pekerjaan, bisnis, atau mencari keutungan semata. Tapi, juga pengabdian kepada leluhur,” katanya.
Sukarna tidak main-main dengan perkataannya. Sebab, pabrik gong itu sudah berusia 230 tahun atau berdiri sejak 1785. Dia mengaku tidak memiliki cerita yang lengkap tentang awal mula beroperasinya pabrik gamelan tersebut. Namun, menurut cerita kakeknya, gong buatan pabriknya pernah dibeli orang Belanda. ”Waktu masih zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie),” tuturnya.
VOC merupakan perusahaan dagang Belanda yang berkuasa di Indonesia pada abad ke-17 sampai 18. Berdasar sejarah, VOC akhirnya dibubarkan pada 1 Januari 1800, setelah Belanda kalah perang melawan Prancis.
”Cerita kakek saya, waktu itu ada yang membeli lima gong dibawa ke Belanda. Itu awal mula pabrik ini berdiri sampai sekarang sudah generasi ketujuh,” terangnya.
Sukarna baru memegang kendali pabrik 40 tahun yang lalu, setelah orang tuanya meninggal dunia. Namun, sejak kecil dia mendapat pelajaran secara langsung dengan bekerja di pabrik.
”Dari kecil saya biasa membolak-balik besi 23 kilogram, dipanaskan, terus ditempa, terus diserut. Kalau nggak biasa nyerut, bisa 2–3 jam baru selesai. Saya cuma setengah jam,” lanjutnya.
Selama memimpin usaha itu, berkali-kali pabrik tersebut dikunjungi pejabat negara, baik dari dalam maupun luar negeri. Hampir seluruh menteri perindustrian pernah mengunjungi pabrik tua tersebut.
”Pabrik gong di Jawa Barat cuma tinggal di sini. Dulu ada tujuh pabrik, tapi saat orang tuanya meninggal, anaknya malas melanjutkan, akhirnya tutup,” terangnya.
Sukarna mengakui, di Solo, Jawa Tengah, ada pabrik gong yang usianya juga ratusan tahun. Tapi, aktivitas pabrik tersebut tidak seaktif Gong Home miliknya. ”Saya nggak tahu siapa yang lebih tua. Tapi, waktu saya ke Solo lima tahun lalu, mereka banyak menganggur. Kadang produksi kadang nggak karena di sana banyak pabrik baru yang berdiri,” tuturnya.
Gong Home selain tua, juga masih produktif. Terbukti, setiap hari 16 pegawainya bekerja membuat gong pesanan dari berbagai daerah dan luar negeri. Selain membuat gong, pabrik tersebut membuat kempul, bonang, saron, dan perangkat gamelan lain yang terbuat dari logam.
”Tahun 2012 Ibu Negara Cekoslovakia Livia Klausova datang dan beli gong di sini,” ungkapnya. Beberapa orang penting dari Kerajaan Brunei Darussalam dan Malaysia juga pernah membeli seperangkat alat gamelan dari pabriknya. Bahkan, puluhan tahun yang lalu sejumlah jenderal dari Amerika Serikat datang ke Gong Home hanya untuk melihat proses produksi pembuatan gong di pabrik itu. ”Saya tahunya kok pabrik saya dijaga banyak orang, ternyata ada jenderal dari Amerika yang mampir,” ujarnya.
Hingga saat ini Sukarna menjaga tradisi pembuatan gong dengan alat-alat tradisional. Meski pernah mendapat bantuan mesin modern dari pemerintah, semua hanya ditaruh di gudang.
”Pernah coba pakai gerinda bantuan pemerintah, tapi malah susah membuat suara yang pas. Akhirnya balik lagi pakai serutan, sedikit-sedikit dibuat tebal tipisnya sampai suara pas,” sambungnya.
Demikian juga media untuk memanaskan besi, masih menggunakan arang yang disembur dengan alat tradisional. Padahal, saat itu pemerintah memberikan bantuan alat bakar modern berbahan gas. ”Kalau memanaskan tidak boleh terlalu merah, malah gampang pecah. Menempanya kalau terlalu keras juga bisa bolong,” tuturnya.
Sementara itu, Krisna sebagai penerus generasi ketujuh menyatakan siap melanjutkan usaha keluarga tersebut. Dia yakin pasar alat musik tradisional akan tetap ada selama Indonesia masih ada. Saat ini dia sedang menyelesaikan pembuatan gamelan untuk pembeli dari Lampung dan Makassar dengan harga rata-rata Rp 70 juta per set.
”Kami siap membuat sesuai permintaan karena masing-masing daerah jumlah setnya berbeda-beda,” jelasnya. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menilik Kehidupan Suku Dayak yang Masih Suka Simpan Tengkorak
Redaktur : Tim Redaksi