jpnn.com - Di dunia seni tari kontemporer Indonesia, nama Jeck Kurniawan Siompo Pui atau yang lebih dikenal dengan Jecko Siompo termasuk salah satu yang disegani. Koreografi animal pop miliknya menjadi salah satu tetenger yang unik.
Laporan Diar Candra, Jakarta
BACA JUGA: Kisah Perempuan Bertahan Hidup dengan Satu Paru-paru
GEMURUH tepuk tangan membahana setelah pertunjukan bertajuk Tabib dari Timur di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan bulan lalu selesai. Menggabungkan teater, tari, dan komedi, pertunjukan yang disutradarai Agus Noor itu sukses menghibur penonton.
Kisah Tabib dari Timur menceritakan seorang pemuda asal Papua yang merantau ke Jawa. Dengan bekal batu bertuah milik nenek moyangnya, setiba dia di Jakarta, banyak yang menginginkan batu pemuda itu. Termasuk penguasa setempat yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
BACA JUGA: Menilik Kehidupan Suku Dayak yang Masih Suka Simpan Tengkorak
Dalam pentas berdurasi 2,5 jam tersebut, banyak sindiran yang diberikan atas ketimpangan pembangunan di Indonesia. Papua yang seharusnya menjadi salah satu daerah maju karena kaya akan sumber daya alam, faktanya, malah tertinggal bila dibandingkan dengan Jawa.
”Ketika itu saya menyetor cerita ke Mas Agus (Agus Noor, Red) soal bagaimana Papua kurang maju sampai sekarang. Selain pembangunan, juga pendidikan. Mungkin yang belajar tari seperti saya tak banyak,” kata Jecko soal ide awal pementasan itu.
BACA JUGA: Mayor Heri Haryadi, ââ¬ÅPemberi Nyawaââ¬Â Kendaraan-Kendaraan Bersejarah
Selain Jecko, tim kreatif pementasan tari diisi nama-nama seperti Djaduk Ferianto dan Butet Kartaredjasa. Masuknya Jecko membuat pertunjukan tersebut lebih ”hidup” dengan menyuguhkan banyak tarian kontemporer.
Di Tabib dari Timur, para penari asuhan Jecko yang tergabung dalam sanggar tari animal pop berhasil mengejawantahkan banyak makna. Mulai sikap kekhawatiran masyarakat Papua, glamornya ibu kota, sampai masyarakat yang selalu latah dengan tren.
”Saya mencoba menyampaikan apa yang saya lihat. Saya buat gerakan penuh semangat, sedih, atau lainnya sesuai dengan yang dirasakan. Jadi, tak ada yang lahir dengan paksaan dalam bergerak,” ucap Jecko.
Nah, Jecko mempelajari seni tari ketika pindah ke Jakarta pada 1994. Sebelumnya dia belajar menari di sanggar tari Rawori Dok 8 Bawah, Jayapura. Ketertarikannya pada dunia tari dilatari kegiatan tari yang menjadi napas kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Selama belajar di Institut Kesenia Jakarta (IKJ), Jecko mempelajari banyak tarian dari Indonesia. Misalnya, tari Jawa, tari Sumatera, tari Bali, dan tari Kalimantan. Dibandingkan dengan negara mana pun di dunia, menurut penggemar nasi goreng itu, kekayaan tari Indonesia tak ada duanya.
Setiap tari di Indonesia mempunyai kekhasan dan akar budaya masyarakat yang sangat kuat. Misalnya, tari Jawa yang lembut dan anggun. Juga, tari Papua yang gerakannya eksplosif dan meledak-ledak.
”Jangan dikira menari dalam gerakan lambat itu tak capek, ya. Saya sudah menjalani semua itu. Gerakan mendhak (menekuk lutut dalam tari Jawa, Red) 10 menit itu sama capeknya kalau melonjak-lonjak ala tari Papua,” sebut Jecko.
Kepiawaian menari mengantarkan Jecko mendapat beasiswa belajar tari di Amerika Serikat (AS). Selama enam bulan, sejak Mei–Oktober, Jecko bergaul dengan banyak penari jalanan Portland, AS. Dari situlah, kemudian lahir animal pop yang jadi trademark penari asal Jayapura tersebut.
”Pada awalnya saya menamainya animal dance. Karena memang saya banyak berguru kepada binatang. Lalu, sepulang dari AS di 1999 itu, saya gabungkan dengan seni tari pop AS, yakni breakdance. Jadilah animal pop seperti sekarang ini,” tutur Jecko.
Dalam kacamata Jecko, animal pop adalah penggabungan dua jenis budaya. Ada yang mengatakan pertemuan tari Barat dan Timur. Namun, Jecko mengungkapkan, animal pop adalah paduan gerakan primitif yang diwakili binatang serta modernisasi yang dilambangkan dengan budaya pop.
Selama sekitar 19 tahun, Jecko yang lahir dan besar di Jayapura mengamati banyak hewan yang ada di sekelilingnya. Salah satu yang paling unik adalah kanguru Papua. Yakni, laolao. Demikian warga Papua menyebut kanguru di daerahnya itu. Laolao, menurut Jecko, tidak sebesar kanguru Australia.
Ada beberapa gerakan dasar dari animal pop yang menurut Jecko punya kekuatan yang tak dipunyai tari kontemporer lain. Yakni, tangan menekuk, bahu ke belakang, dagu ke depan, dada ke depan, kaki diangkat, kaki ke depan, lalu tendang ke belakang.
Undangan bagi Jecko untuk menampilkan animal pop pun tak pernah surut. Dalam setahun, pria yang masih single itu mengatakan bisa empat sampai lima kali ke luar negeri. Hasilnya, dari satu festival ke festival lain, aplaus selalu didapatkan animal pop.
”Saya menjadi duta bangsa untuk menari ini rasanya tak pernah terbayangkan. Saya membawa identitas saya sebagai orang Indonesia dan Papua. Saya tak pernah capek menyebarkan pesan, Indonesia itu ada,” tegas Jecko.
Menyinggung soal seni tari dunia saat ini, Jecko menyebutkan, Gangnam Style adalah salah satu yang paling populer. Meski pada dasarnya itu adalah sebuah lagu, karena cara menarikan Psy yang unik, jadilah Gangnam Style mewabah.
”Silakan dicek, Gangnam Style itu sebenarnya adalah varian tari yang kalau kita perhatikan lagi seperti tarian rakyat Jawa, kuda lumping. Gerakan Psy seolah-olah memegang kendali kuda sambil mencambuk kudanya,” beber Jecko.
Karena itulah, Jecko sebenarnya yakin, kalau animal pop diberi panggung lebih oleh pemerintah, kepopulerannya bisa melebihi Gangnam Style. Dukungan pemerintah Korsel terlihat ketika menjadikan Gangnam Style sebagai salah satu penampil di opening Asian Games XVII/2014 di Incheon lalu.
Dengan geliat itu, Jecko berharap, jika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games XVIII/2018, animal pop bisa dijadikan salah satu tari pementas. Jika seandainya dijadikan tari pembuka, Jecko merasa yakin animal pop bisa diterima.
Di sisi lain, Jecko tak hanya suka pencilakan dengan animal pop. Beberapa kali Jecko membantu maestro tari Indonesia lain, Sardono W. Kusumo, tampil. Jecko yang juga meguasai tari Jawa itu merasa beruntung punya guru dan sahabat seperti Sardono.
Sementara itu, Butet Kartaredjasa menyebut Jecko sebagai seniman tari multitalenta. Dengan dasar tarian kontemporer, Butet melihat animal pop bisa kian populer setelah melihat penampilannya di Tabib dari Timur.
”Saya kira tak banyak putra Papua yang punya concern tinggi pada dunia tari seperti Jecko. Animal pop ini adalah salah satu sisi energik, bertenaga, dan kegembiraan yang dibawa Jecko dari Papua,” ujar Butet. (*/c10/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 12 Tahun Keliling Dunia, Reza Budi Sumali Banting Setir Jadi Dosen di Singapura
Redaktur : Tim Redaksi