jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor menilai, kondisi politik nasional kembali 'gaduh'.
Setelah hiruk pikuk Pilkada DKI 2017, maraknya radikalisme agama, hingga tuntutan pembubaran ormas anti-Pancasila, kini isu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) memanas.
BACA JUGA: Sumut Segera Punya Pembangkit Listrik 300 Megawatt
"Banyak pihak, termasuk politikus memberikan pernyataan yang tendensius, cenderung ngawur soal isu kenaikan TDL ini terhadap pemerintah. Saya menyayangkan. Harusnya sebelum bicara lihat data dulu biar komprehensif," kata salah satu Ketua PP GP Ansor yang membidangi Departemen Ekonomi Sumantri Suwarno, Jumat (17/6).
Hal itu, sambung Sumantri, bisa dilihat dari pernyataan beberapa politikus yang mulai memanas dengan melakukan penyerangan terhadap pemerintah.
BACA JUGA: Tenang, Pasokan Listrik selama Lebaran Tetap Aman
Beberapa politikus menyebut rezim saat ini tidak prorakyat karena menaikkan tarif listrik dan mencabut subsidi listrik bagi rakyat tidak mampu.
Beberapa pihak bahkan meminta Menteri BUMN Ignasius Jonan dipecat karena
BACA JUGA: Kabar Gembira Bagi Pelanggan 900 VA yang Ingin Dapat Subsidi
dianggap bertanggung jawab terhadap kenaikan tarif listrik.
Menurut Sumantri, berdasarkan kajian dan pantauan GP Ansor soal tarif listrik dapat disimpulkan beberapa poin.
Pertama, tarif listrik untuk 27 juta rakyat tidak mampu tak naik. Mereka terdiri dari pelanggan 450 VA.
Mereka tetap mendapat subsidi dan tarif listriknya tetap. Jumlahnya mencapai 23,16 juta rumah tangga.
Dari 19 juta pelanggan 900VA, sekitar 4,5 juta pelanggan rumah tangga 900 VA masih menerima subsidi dari pemerintah.
"Artinya, subsidi hanya diberikan kepada mereka yang berhak menerima," ujar Sumantris.
Kedua, lanjut Sumantri, sesuai pasal 34 ayat 1 UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, pencabutan subsidi harus mendapat persetujuan DPR RI.
Oleh karena itu, keputusan penerapan subsidi tepat sasaran dan pencabutan subsidi untuk rumah tangga mampu pelanggan 900VA diputuskan pemerintah dan DPR.
"Dana dari pencabutan subsidi bagi pelanggan rumah tangga mampu 900 VA ini digunakan untuk menaikkan rasio elektrifikasi di daerah terpencil. Sehingga pasokan listrik lebih merata di seluruh tanah air. Karena faktanya masih ada sekitar 2.500 desa di Indonesia yang belum berlistrik sama sekali, sekitar 10 ribu desa lainnya belum memiliki akses listrik yang mencukupi," jelasnya.
Sumantri juga keberanian pemerintah untuk melakukan realokasi subsidi listrik dari kelompok mampu dan digunakan untuk memberikan pelayanan listrik kepada kelompok tidak mampu dan daerah yang belum terlayani.
Menurutnya, hal itu sangat berguna bagi pemerataan ekonomi serta penyehatan anggaran negara di masa mendatang.
Selain itu, subsidi energi yang terlalu besar, apalagi karena sebagian besar pembangkit listrik dijalankan dengan energi fosil dapat membahayakan ketahanan energi di masa mendatang.
Menurut dia, sudah banyak contoh negara lain mengalami gejolak sosial ketika pemerintah kewalahan menanggung beban subsidi energi.
Akibatnya, negara terpaksa mencabut secara mendadak demi keuangan negara yang sehat.
"Seharusnya elite politik mendukung kebijakan ini karena membawa kemaslahatan jangka panjang bagi bangsa Indonesia, dan bukan sebaliknya justru melakukan penolakan demi kepentingan politik sesaat semata," tegas Sumantri. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gandeng Kemensos, GP Ansor Gelar Tadarus Kebangsaan Antinarkoba
Redaktur & Reporter : Ragil