jpnn.com, JAKARTA - Industri film nasional kini sedang tumbuh subur. Hal itu terlihat dari animo masyarakat terhadap film nasional yang cukup tinggi. Bahkan, pertumbuhan setiap tahunnya terus meningkat. Per tahun produksi film juga terus meningkat.
Sayang, pertumbuhan itu tidak sebanding dengan layar bioskop saat ini. Data yang ada di Gabungan Pengelola Bioskop Indonesia (GPBSI), saat ini ada 1.685 layar.
BACA JUGA: KCM Jatiasih Akan Prioritaskan Film Nasional
Sedangkan dengan minat penonton dan produksi film yang terus meningkat idealnya Indonesia paling tidak membutuhkan 3.000 layar. “Yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini adalah bioskop independen,” ungkap Ketua GPBSI Djonny Syafruddin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/3).
Bioskop independen yang dimaksud adalah bioskop yang dikelola oleh individu swasta di luar bioskop berjaringan seperti XXI atau CGV. Kebutuhan akan penambahan bioskop independen harus segera terpenuhi untuk menjaga agar pertumbuhan industri film nasional tetap kondusif.
BACA JUGA: Joko Anwar: Remake Itu Sepanjang Masa
“Bioskop-bioskop independen itu bukan di ibukota provinsi, tetapi di wilayah tingkat II, kabupaten dan kota, serta kecamatan,” kata Djonny Syafruddin yang memiliki bioskop independen bernama Dakota di Cilacap, Kroya, Jawa Tengah, dan di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Alasan ini dikemukakan Djonny Syafruddin karena penonton film nasional terkosentrasi di wilayah tersebut. “Pengalaman saya mengelola bioskop di beberapa daerah, film nasional yang relatif bagus penontonnya banyak di kabupaten dan kecamatan. Kantong-kantong penonton film nasional terbesar adanya di wilayah itu,” jelasnya.
BACA JUGA: Daur Ulang, Jurus Baru Industri Film Indonesia
Dalam hal pendirian bioskop itu, Djonny mengimbau agar pemerintah memberikan perhatian dalam beberpa hal. “Sebaiknya pemerintah memberikan kredit lunak yang sama untuk usaha UMKM. Jangan disamakan dengan kredit perbankan. Biaya untuk pembuatan bioskop lengkap sekitar dua setengah miliar. Kami sebagai pengelola bioskop tidak minta kredit keseluruhan paling tidak separuh dari biaya itu diberi kredit,” jelas Djonny.
Biaya terbesar untuk membangun bioskop adalah alat projector digital dan sound system. Sisanya perlengkapan kursi, layar, dan pendingin. Pada satu area gedung bioskop dibutuhkan minimal 3-4 layar bioskop. Untuk pembiayaan tersebut, kata Djonny, pemerintah dalam hal ini presiden bisa saja membuat Kepres atau inpres yang diteruskan kebijakan tersebut melalui Kementerian Keuangan, Kemendikbud, dan Bekraf.
”Lebih realistis dengan mengeluarkan kebijakan tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan mendapatkan akses lebih luas untuk mendapatkan hiburan melalui film,” tutur Djonny.
Selain itu, tarif listrik yang dikenakan untuk bioskop juga sangat tinggi, karena disamakan dengan tarif industri. ”Kami sebagai pengelola bioskop meminta kepada pemerintah agar tarif listrik disamakan dengan hotel. Sangat memberatkan kami bila disamakan dengan industri,” harap Djonny yang meminta agar pemerintah untuk menyeragamkan pajak tontonan, yakni 5 -10 persen.(mg7/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh