jpnn.com, JAKARTA - Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.17 Tahun 2017 dinilai bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.71 Tahun 2014.
Hal tersebut berpotensi menimbulkan kemelut sehingga dianggap layak untuk dibatalkan.
BACA JUGA: Sekjen ASEACC Sebut Batam Masih Seksi di Mata Singapura
Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 45a PP 71/2014 disebutkan, izin usaha dan/atau kegiatan untuk memanfaatkan ekosistem gambut pada fungsi lindung ekosistem gambut yang telah terbit sebelum peraturan pemerintah ini berlaku dan sudah beroperasi dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir.
Sedangkan dalam Pasal 8 Permen LHK P.17/2017 menyebut tanaman pokok terletak pada fungsi lindung ekosistem gambut, setelah dipanen tidak boleh ditanam kembali dan dilakukan pemulihan.
BACA JUGA: Batam Ini Maunya Apa? Apakah Mau Jadi seperti Jawa? Hatanto: Tinggal Pilih...
Ketua Bidang Pertanian, Kehutanan dan Pertambangan Gabungan Perusahaan Eksport-Import (GPEI) Robiyanto Koestomo mengatakan, PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut harus didukung, tetapi implementasinya harus lebih diperhatikan.
“Persoalannya bukan pada PP-nya tetapi lebih pada implementasinya. Permen P.17 tahun 2017 ini bertentangan dengan PP 71 tahun 2014. Jadi, Permen ini menjadi penyebab dari segala kemelut yang terjadi saat ini,” ungkap Robi dalam keterangan tertulis yang diterima JPNN, Senin (22/5).
BACA JUGA: Status Batam Mau Diubah, 2 PMA asal Jerman Ini Tetap Tertarik Berinvestasi
Sebelumnya, pengusaha mendapat izin secara legal dan investasinya terlindungi karena dipayungi oleh PP. 71 tahun 2014.
Setelah itu, muncul PP 57 tahun 2016 dan aturan operasionalnya dalam Permen LHK
“Jadi, mereka bergerak legal, dibenarkan sama PP 71 sampai habis masa izin. Jadi kalau misalnya izinnya masih 10, 20, 30 tahun, itu masih tetap berlaku. Namun, di dalam Permen 17 itu berhenti di satu daur, panen setop tidak boleh tanam lagi,” ujarnya
“Akibat daripada ini, kan, pabrik harus berhenti usaha. Berhenti usaha berarti PHK. Usaha mau rakyat mau pengusaha besar, semua pakai uang bank. Banknya siapa? Bank pemerintah. Lalu siapa yang menanggung kerugian? Bank negara kena, semua masyarakat kena,” pungkas Robi. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KEK Pilihan Utama Masa Depan Batam
Redaktur & Reporter : Ragil