jpnn.com, JAKARTA - GSK menggelar pertemuan RespiVerse tahunan ketiga di Bangkok, Thailand pada 13 dan 14 Desember 2024 lalu.
Acara tersebut mempertemukan para pakar internasional ternama dan tenaga kesehatan dari 17 negara untuk membahas tantangan global yang mendesak dalam penyakit pernapasan, dengan fokus pada solusi inovatif dan strategi kolaboratif untuk memajukan kesehatan pernapasan di seluruh dunia.
BACA JUGA: Coway Donasikan Water Purifier ke 35 Masjid di Jabodetabek
GSK bekerja sama dengan dokter spesialis dan ahli dari seluruh dunia untuk menciptakan program unggulan yang bertujuan meningkatkan kualitas perawatan klinis dan hasil pengobatan baru bagi jutaan pasien dengan penyakit pernapasan.
Pihak terkait meneliti dan mengembangkan vaksin, produk biologis, dan obat inhalasi untuk mengatasi penyakit pernapasan seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan Respiratory Syncytial Virus (RSV).
BACA JUGA: Sebegini Donasi MSIG Life untuk Makanan Bergizi & Pendidikan Anak Pra-Sejahtera
"GSK memanfaatkan teknologi terbaru untuk mengatasi penyebab utama penyakit ini dan mencegah perburukan, sehingga pasien mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih sehat,” ungkap Dr. Gur Levy, Regional Medical Lead of Biologics Emerging Market GSK dalam keterangan resmi.
Pertemuan RespiVerse tahun itu menghadirkan pembicara dan peserta internasional terkemuka dari berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, Amerika Latin, Amerika Tengah, dan lainnya.
BACA JUGA: 10 Minuman yang Bantu Anda Mudah Tidur Nyenyak Setiap Malam
Acara tersebut mengintegrasikan sains, teknologi, dan keahlian untuk mengidentifikasi tantangan klinis utama di bidang pernapasan.
Tujuannya untuk mengembangkan konten ilmiah dalam rangka memperluas pengetahuan serta meningkatkan praktik profesional dokter paru di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.
Panel ahli membahas empat patologi pernapasan utama: asma sedang, asma berat, PPOK, dan RSV.
Dr. Arnas Berzanskis, VP & Regional Medical Affairs Head - Vaccines di GSK mengatakan pencegahan adalah kunci dalam kesehatan masyarakat, terutama untuk mengatasi penyakit pernapasan seperti RSV, yang lebih sering terjadi dan berbahaya dibandingkan flu.
Adapun GSK berkomitmen untuk mengembangkan inovasi vaksin guna melindungi kelompok rentan, terutama lansia dan mereka yang memiliki kondisi medis seperti asma, PPOK, diabetes, dan penyakit jantung, dari risiko kesehatan serius akibat RSV.
"Dengan memprioritaskan pencegahan, kami bertujuan untuk mengurangi beban RSV dan mendukung terciptanya komunitas yang lebih sehat di seluruh dunia, khususnya dalam menghadapi populasi global yang semakin menua,” jelas Dr. Arnas Berzanskis.
Para pakar kesehatan masyarakat menyatakan kekhawatiran terhadap risiko serius RSV pada populasi lanjut usia (lansia) dan individu dengan penyakit penyerta.
Di Indonesia, jumlah lansia terus meningkat seiring bertambahnya usia harapan hidup, dengan prediksi mencapai 14,6 persen dari total populasi pada tahun 2030.
Saat ini, sekitar 20,7 persen lansia menderita penyakit penyerta yang memperburuk kerentanan terhadap infeksi berat RSV.
Kondisi tersebut diperparah oleh sistem imun lansia yang melemah akibat penuaan, meningkatkan risiko komplikasi serius dan beban kesehatan masyarakat.
RSV adalah virus pernapasan yang tersebar luas namun kurang dikenal, yang menular melalui inhalasi atau kontak dengan sekresi pernapasan dari mereka yang terinfeksi. Biasanya virus ini menunjukkan gejala-gejala termasuk hidung tersumbat, batuk, mengi, dan demam ringan.
Menegakkan diagnosis infeksi RSV sulit dikarenakan gejalanya yang mirip dengan infeksi pernapasan lain seperti flu biasa, termasuk batuk, pilek, dan demam.
Proses diagnosis membutuhkan tes khusus yang sering kali mahal, memakan waktu, dan tidak mudah diakses secara luas.
Lansia dan individu dengan penyakit penyerta sering kali tidak menyadari bahwa gejala mereka disebabkan oleh RSV, sehingga meningkatkan risiko komplikasi serius atau bahkan komplikasi fatal.
Lebih lanjut, hingga saat ini belum tersedia pengobatan khusus untuk mengatasi RSV pada orang dewasa, yang menambah tantangan penanganannya.
Meskipun RSV dapat menginfeksi individu kapan saja sepanjang tahun, penyebarannya lebih intensif selama bulan-bulan musim hujan dari September hingga Februari, dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan yang lebih dingin di Oktober dan Desember.
Virus menular ini menyebar dengan mudah di dalam rumah tangga, satu orang yang terinfeksi biasanya menginfeksi tiga orang lainnya, dan meskipun sebagian besar individu yang terinfeksi dapat menularkan dalam jangka waktu 3-8 hari, lansia yang terinfeksi dapat menularkan virus untuk jangka waktu yang lebih lama.
RSV sering digambarkan sebagai penyakit anak-anak di media sosial karena anak-anak, seperti lansia, memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, sehingga mereka rentan. Namun, RSV menimbulkan beban yang lebih besar pada lansia.
Penelitian telah menunjukkan bahwa insiden rawat inap dan kematian akibat RSV jauh lebih tinggi pada lansia dibandingkan pada anak-anak.
Lansia dengan kondisi tertentu seperti pneumonia, gagal jantung kongestif (CHF), asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki risiko rawat inap yang lebih tinggi ketika terinfeksi RSV.
Selain itu, RSV dapat menyebabkan berbagai komplikasi pernapasan yang berat pada lansia, termasuk henti napas dan gagal napas, gangguan pernapasan, dan emfisema Lebih jauh lagi, sekitar 30 persen orang dewasa yang lebih tua mungkin mengalami komplikasi jantung ketika dirawat di rumah sakit karena RSV.
Satu dari empat pasien RSV (24,5 persen) mungkin memerlukan perawatan profesional di rumah setelah keluar dari rumah sakit.
Selain itu, satu dari empat (26,6 persen) pasien tersebut dirawat kembali dalam waktu tiga bulan setelah keluar dari rumah sakit, dan yang lebih memprihatinkan lagi, tiga dari sepuluh (33 persen) dapat meninggal karena komplikasi yang terkait dengan RSV dalam waktu satu tahun sejak waktu hospitalisasi.
Prediksi kejadian infeksi akibat RSV dalam 3 tahun di Asia Tenggara mencapai 15,2 juta kasus dan di Indonesia, prediksi kejadian infeksi akibat RSV dalam tiga tahun bisa mencapai 6,1 juta kasus.
dr. Fariz Nurwidya, SpP(K), PhD menyampaikan bahwa pihaknya mencatat peningkatan tingkat positif kejadian RSV di antara subjek yang diuji pada 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Temuan ini menunjukkan beban infeksi RSV yang signifikan, yang menggambarkan 'fenomena gunung es', jumlah kasus terdeteksi hanya sebagian kecil dari keseluruhan kasus yang sebenarnya terjadi di populasi," bebernya.
Dengan populasi lansia Indonesia yang terus meningkat, potensi beban kesehatan dan ekonomi akibat RSV pada orang dewasa perlu menjadi perhatian serius.
Seiring dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan angka harapan hidup rata-rata masyarakat Indonesia, pencegahan RSV melalui vaksinasi dan edukasi menjadi langkah penting untuk mengurangi dampaknya, terutama pada kelompok berisiko tinggi.
Pertemuan RespiVerse itu menegaskan komitmen GSK dalam menghadirkan solusi inovatif untuk tantangan kesehatan pernapasan global.
Melalui kolaborasi internasional, pemanfaatan teknologi canggih, dan fokus pada pencegahan, GSK berupaya memberikan dampak nyata dalam meningkatkan kualitas hidup pasien di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Dengan mendukung edukasi dan inovasi, GSK berharap dapat berkontribusi pada terciptanya komunitas yang lebih sehat dan berkelanjutan di tengah tantangan kesehatan global yang terus berkembang.
(ded/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi