Guaido - Maduro Rebutan Kekuasaan, Rakyat Venezuela Jadi Korban

Minggu, 27 Januari 2019 – 11:17 WIB
Seorang pria dibakar hidup-hidup karena ditudih mencuri di tengah demonstrasi menentang Presiden Nicolas Maduro. Foto: Marco Bello/Reuters

jpnn.com, KARAKAS - Di bawah kendali Hugo Chavez, Venezuela bertahan sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Namun, kemakmuran tersebut ikut lenyap setelah Chavez wafat pada 5 Maret 2013. Penerus Chavez, Nicola Maduro terbukti gagal.

Enam tahun menjabat, pemimpin 56 tahun tersebut justru membawa Venezuela ke dalam krisis. Hiperinflasi melanda negara itu. Harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi.

BACA JUGA: Negara-Negara Besar Ikut Campur Urusan Venezuela, Bagaimana Sikap Indonesia?

Krisis tersebut memicu kericuhan di mana-mana. "Kata mereka, sosialisme pasti baik. Tapi, ternyata korupsi merajalela," ujar Josue Hidalgo, desertir militer Venezuela, kepada New York Times.

Meski gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Maduro menang lagi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2018. Awal bulan ini, dia resmi menjadi presiden lagi.

BACA JUGA: Inggris dan Turki Ikut Campur, Venezuela Kian Kacau

Tapi, parlemen tidak lagi di bawah kendalinya. Oposisi sukses menggusur dominasi kubu Maduro. Dan, oposisi yang menolak kemenangan Maduro dalam pilpres sarat kecurangan itu tidak mau berpangku tangan. Mereka memberontak. Juan Guaido didapuk jadi presiden bayangan alias presiden sementara.

Perseteruan Maduro dan Guaido menjadi semakin seru setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia ikut-ikutan. Presiden Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap Guaido.

BACA JUGA: Besar Kepala, Presiden Oposisi Venezuela Tawarkan Pengampunan ke Maduro

Maduro yang berang lantas mengusir semua diplomat AS dari Karakas dan menarik pulang seluruh diplomat Venezuela dari Washington. Bersamaan dengan itu, Rusia berkubu kepada Maduro. Moskow juga memperingatkan AS agar tidak kelewat batas dalam dukungannya terhadap Guaido.

Kemarin, Sabtu (26/1) Dewan Keamanan (DK) PBB membahas kekacauan politik Venezuela. Atas prakarsa AS, DK PBB membahas rancangan resolusi untuk mendukung Guaido.

"Karena kondisi Venezuela yang memburuk, DK akan memberikan dukungan terhadap parlemen," demikian bunyi pernyataan resmi draf resolusi tersebut. Tapi, draf itu pasti akan dicegat Rusia dan Tiongkok lewat veto.

"Resolusi tersebut tidak akan lolos," ujar Dubes Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia kepada Reuters.

Sementara itu, di dalam negeri, saat pengaruh Guaido semakin luas, Maduro berusaha menyikapinya dengan bijak. Dia mengajak rival politiknya tersebut berunding. Meksiko dan Rusia pun mengaku siap jadi penengah. Tapi, Guaido bergeming. Dia mengabaikan ajakan berunding itu.

Sejauh ini Maduro masih lebih kuat dari lawannya. Sebab, dia masih memegang kendali atas militer Venezuela. Guaido boleh mendapatkan simpati rakyat dan negara-negara sekutu AS. Namun, dia tetap tidak akan berkutik tanpa dukungan militer.

Para petinggi militer tetap solid mendukung Maduro karena menerima banyak fasilitas dari negara. "Berpisah dengan Maduro adalah jalan cepat menuju penjara," ujar Brian Fonseca, pakar hubungan luar negeri Florida International University, kepada Washington Post.

Para petinggi militer, menurut dia, tidak akan pernah meninggalkan Maduro. Demikian juga kaum elite politik.

Namun, itu bukan berarti militer akan terus-terusan membela Maduro. Para personel militer yang ikut merasakan dampak krisis berpotensi berubah haluan. Apalagi, Guaido menawarkan amnesti bagi siapa pun yang siap membantunya melakukan transisi pemerintah.

Memang, Guaido tidak sepopuler Maduro. Politikus 35 tahun tersebut juga belum banyak dikenal di luar negeri. Reputasi Guaido sebagai pemimpin pun masih menjadi tanda tanya.

Menurut CNN, jejak politik suami Fabiana Rosales itu masih samar. Sulit dilacak. Namanya baru mencuat setelah resmi menjadi ketua parlemen sekitar tiga pekan lalu.

Namun, pria yang punya gelar insinyur industrial tersebut memiliki mentor yang terkenal. Yakni, Ketua Partai Popular Will Leopoldo Lopez. Pada 2009 lalu, Guaido memang masuk dalam daftar pendiri partai itu.

Saat Lopez menjadi tahanan rumah, Guaido pun mendapatkan banyak arahan dari sang mentor. Sampai akhirnya, dia berani menyatakan dirinya sebagai presiden.

’’Ada yang berkata dia delusional. Namun, menurut saya, dia hanyalah orang yang berani maju mewakili rakyat,’’ ujar Fabiana Sofia Perera, peneliti pada William J. Perry Center for Hemispheric Defense Studies and Subject Matter Expert. (bil/c22/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Dampak Restu Trump kepada Presiden Oposisi Venezuela


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler